Fiqih Menyusui

25 Mar 2014Redaksi Fiqih Muslimah

Fiqih Menyusui

Menyusui merupakan saat yang membahagiakan bagi seorang ibu setelah menjalani kehamilan yang amat lelah dan semakin bertambah. Namun demikian, seolah kepayahan di waktu hamil tersebut terbayarkan ketika sang buah hati hadir dalam pelukan dan disusui.

Fase menyusui merupakan fase yang sangat berarti bagi seorang ibu terlebih bagi bayi. Oleh karena itu, di dalam Islam seorang ibu diperintahkan untuk menyusui anaknya.

Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Alloh dan ketahuilah bahwa Alloh Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.”  (QS. al-Baqoroh [2]: 233)

Dalam menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata: “Ini merupakan petunjuk dari Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan penyusuan yang sempurna yaitu 2 tahun, maka tidak dianggap sebagai ‘menyusu’ jika lebih dari itu.

Oleh karena itu, Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berfirman dalam ayat tersebut:

(( لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ))

Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”

Dan kebanyakan para imam berpendapat bahwa persusuan tidaklah menjadikan mahrom kecuali jika usia yang disusui masih di bawah dua tahun, sehingga jika seorang anak menyusu sedangkan umurnya sudah lebih dari dua tahun, maka hal itu tidak menjadikannya mahrom.” 

Pada hakikatnya waktu dua tahun untuk penyusuan bukan waktu wajib melainkan waktu ideal yang harus diberikan orang tua pada anak. Tidaklah mengapa sebelum dua tahun disapih jika kondisi mengharuskan hal tersebut. Namun demikian orang tua harus paham usia emas bagi sang bayi adalah saat menyusui. Begitu juga jika kondisi bayi lebih dari dua tahun masih menyusu dan itu sangat dibutuhkan, maka perkara ini dibolehkan.

Mencarikan Ibu Susuan Lebih Baik  daripada Menyusui Anak dengan Susu Kambing atau Sapi.

Agungnya syari’at Islam dalam menjaga bayi, maka diperintahkan bagi sang ibu untuk memberi ASI. Jika terjadi kondisi tertentu seperti air susu ibu tidak keluar, sang bayi ditinggal mati oleh ibunya  atau kesulitan menyusui lainnya, maka upaya pertama adalah mencarikan ibu susuan buat bayi.

Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berfirman:

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. ath-Tholaq [65]: 6)

Berkaitan dengan ini Ibnu Katsir raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata: “Yakni: jika seorang laki-laki berselisih dengan seorang wanita (istri yang dicerai yang sudah melahirkan bayi), lalu wanita itu meminta upah penyusuan yang banyak dan laki-laki itu tidak setuju dengan itu, atau laki-laki tersebut hanya mau mengeluarkan sedikit upah dan wanita tersebut tidak setuju dengannya, maka hendaknya laki-laki tersebut mencari wanita lain yang mau menyusui bayinya selain wanita tadi. Seandainya ibu bayi tersebut telah ridho (untuk menyusui anaknya) dengan besar upah yang diberikan kepada wanita lain itu, maka ia lebih berhak terhadap anaknya.”

Ayat ini merupakan perintah kepada suami untuk memberikan nafkah bagi wanita yang menyusui dalam keadaan dicerai. Kemudian jika sang ibu kandung enggan menyusui karena suatu hal, maka diperintahkan untuk disusui oleh orang lain.

Perkara menyusui ini sangatlah besar sampai suatu hari Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) didatangi wanita dari suku Ghomidiyah yang berzina dan minta dirajam. Pada saat itu Nabi  pun menolaknya dan menyuruh menyusui anaknya hingga disapih baru dirajam.

Al-Imam an-Nawawi raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata dalam Syarh Shohih Muslim: “Dan Ketahuilah! Bahwa Madzhab asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan yang masyhur dari Madzhab Maliki: “Bahwa seorang wanita boleh tidak dirajam sampai didapatkan orang lain yang menyusui bayinya, dan jika tidak didapatkan, maka wanita itu sendiri yang menyusuinya sampai disapih, baru kemudian dirajam.”

Dari keterangan di atas sama sekali tidak disinggung alternatif memberikan kepada bayi air susu kambing atau sapi walaupun sebenarnya boleh saja. Memang tidak ada makanan terbaik bagi bayi di bawah 2 tahun kecuali ASI. Ini semua merupakan kebijakan syari’at untuk melindungi bayi agar tumbuh sehat dan tidak hilang hak-haknya.

Yang perlu diperhatikan dalam mencarikan ibu susuan yang menyusui bayi adalah diusahakan dari orang yang sholihah dan sehat. Sebab penyusuan berpengaruh pada tabiat. Oleh karena itu, berkaitan dengan penyusuan Alloh  menjaga Nabi Muhammad   dari susuan wanita yang jahat. Begitu juga Nabi Musa 'alayhi'l-salām (peace be upon him) terjaga dari susuan wanita-wanita buruk di zamannya. Ibnu Qoyyim  berkata dalam kitab beliau Tuhfatul Maudud: “Proses yang paling berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak dalam fase ini adalah proses penyusuan.” Para ahli pendidikan mengungkapkan, bahwa anak kecil sangat terpengaruh akhlaknya dengan ASI wanita yang menyusuinya melalui air susu yang diminumnya. Oleh karena itu, dalam menyusui semestinya memilih wanita yang baik akhlaknya, dari komunitas yang baik.

Ibnu Qudamah raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mengatakan: “Abu Abdillah (Imam Ahmad ) tidak menyenangi penyusuan anak dari wanita jahat dan musyrik”.

Umar bin Abdil Aziz berkata, “ASI sangat berperan kuat. Maka janganlah engkau menyusui anakmu kepada wanita Yahudi, Nashoro, atau wanita tunasusila…”

Persusuan yang Menjadikan Seseorang Menjadi Mahrom

Di perkampungan seringkali ibu rumah tangga menitipkan bayinya kepada tetangga yang mempunyai bayi juga. Terkadang ketika bayi lapar dan rewel kemudian disusui oleh orang yang dititipinya tanpa sadar bahwa hal tersebut bisa menjadikan mahrom bagi anaknya. Dalam hadits ‘Aisyah  dijelaskan. Ketika Rosululloh ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) berada di rumahnya, ia (‘Aisyah ) mendengar suara laki-laki minta izin (untuk masuk) di rumah Hafshoh raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him). ‘Aisyah raḍyAllāhu 'anha (may Allāh be pleased with her) berkata: lalu aku katakan: “Wahai Rosululloh, laki-laki ini minta izin di rumahmu” Nabi   berkata: “Aku melihat ia adalah si Fulan, paman susunya Hafshoh” ‘Aisyah berkata: “Seandainya si Fulan masih hidup (paman susunya ‘Aisyah ) ia boleh masuk menemuiku?” Rosululloh ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) berkata: “Ya, persusuan menjadikan mahrom sebagaimana seseorang menjadi mahrom karena sebab kelahiran.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Persusuan yang menjadikan bayi mahrom adalah persusuan di bawah dua tahun dan bayi disusui kerena lapar berdasarkan hadits ‘Aisyah raḍyAllāhu 'anha (may Allāh be pleased with her), bahwasanya Rosululloh ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) bersabda:

(( فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ ))

“Sesungguhnya persusuan (itu menjadikan seseorang mahrom) terjadi karena lapar.”  (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Kemudian jumlah susuan yang menjadikan mahrom adalah lima kali susuan berdasarkan juga keterangan dari hadits ‘Aisyah raḍyAllāhu 'anha (may Allāh be pleased with her), bahwasanya beliau berkata:

Dahulu dalam al-Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahrom ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rosululloh  wafat, dan ayat-ayat al-Qur`an masih tetap di baca seperti itu.”  (HR. Muslim)

Di jelaskan pula oleh para ulama bahwa seorang bayi dianggap sekali menyusu jika bayi tersebut menyusu kemudian setelah kenyang dilepas menurut kemauannya. Apabila setelah seling satu atau dua jam misalnya ia menyusu lagi seperti tersebut, maka dihitung dua kali susuan. Begitu seterusnya sampai lima kali. Kemudian terjadi juga perbedaan pendapat tentang cara penyusuan apakah harus lewat puting susu langsung ataukah ASI yang di taruh di botol susu dan diminum bayi juga termasuk? Pendapat mayoritas ulama bahwa hal tersebut termasuk kategori menyusui juga. Oleh karena itu, hendaknya seorang Muslim tidak mengambil susu dari Bank ASI. Selain kekhawatiran masalah percampuran nasab yang tidak jelas, Bank ASI sangat berpotensi besar bagi penyebaran penyakit. Lagi pula kita tidak bisa menjamin apakah ASI tersebut berasal dari orang Muslim atau kafir? Dan jika ASI orang Muslim kita pun masih tidak aman karena status pendonor yang tidak diketahui identitasnya.

 (Red-HASMI)