Dari sekian banyak materi kajian dan pembahasanSirah Nabawiyyah yang banyak menghiasi berbagai kitab, sesungguhnya ada 6 (enam) epik rekaman penting Sirah Nabawiyyah yang harus mendapatkan ‘ināyah (perhatian) ekstra dan harus difahami dengan sebenar-benarnya. Karenanya kita akan dapat memahami ajaran para nabi dan rasulyang harus diikuti, dan agar kitapun mengetahui ajaran kesyirikan yang harusdijauhi dan tinggalkan. Terutama bagi para dā’i ilallah yang tengah menitiupaya menegakkan kembali ‘izz al-Islām wa al-muslimīn. Itulah yangdiistilahkan oleh Syaykh Muhammad al-Tamīmiy dengan Sittah al-Mawadhī’ min as-Sīrah an-Nabawiyyah. Episode penting tersebut adalah:
Pertama; kisah turunnya wahyu, dimana diterangkan bahwa pertama kali Rasul diutus telah mendapat perintah untuk memberi peringatan. Sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!” [QS. al-Muddatstsir (74): 1-2]
Pada masa itu kondisi masyarakat tengah dilanda kezhaliman dan permusuhan. aktifitas peribadatan yang dilakukan pada saat itu bisa mendekatkan diri kepada Allah [swt]. Aktifitas ibadah tersebut seperti haji umrah, shadaqah kepada fakir miskin, dan sebagainya. Namun kenyataannya, meskipun mereka telah melakukan bentuk peribadatan yang mampu mendekatkan diri mereka kepada Allah [swt], perilaku syirik tetap lekat pada diri mereka. Penyebabnya tidak lain karena mereka masih melakukan jenis ibadah yang dikira bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Allah [swt]. Perbuatan tersebut adalah menjadikan makhluk sebagai tandingan di sisi Allah [swt]. Allah [swt] pun menggambarkan perbuatan mereka:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” [QS. az-Zumar (39): 3]
Kedua; Ketika Nabi [saw] memperingatkan mereka untuk meninggalkan perbuatan syirik dan memerintahkan mereka untuk berpegang kepada Tauhid. Maka, mereka pun mengumandangkan permusuhan kepada Nabi [saw] dan kepada para shahabat. Mereka berpaling dengan penuh kesombongan. Kata mereka : ”Apakah para ulama kami ini bodoh ? Atau ajaran agama kami ini tercela ? Atau tuhan-tuhan kami ini jelek ?” Padahal sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Nabi saw tidak pernah menjelek-jelekan Isa as dan Ibunya. Dan tidak pula mencela dan menghina para malaikat dan orang-orang shaleh mereka. Seruan dari Nabi [saw] untuk meninggalkan peribadatan kepada malaikat dan orang–orang shaleh karena tidak memberikan manfaat maupun madharat, ditafsiri oleh mereka
sebagai perbuatan mencela dan menghina sesembahan mereka itu.
Ketiga; kisah tentang Nabi [saw] ketika membaca surat An-Najm di hadapan kaum musyrikin. Ketika Nabi [saw] membacakan hingga ayat:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Mana yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)” [QS. an-Najm (53): 19-20]
Maka setanpun melempar keraguan ke dalam bacaannya. Lalu kaum musyrikin menyangka bahwa Rasulullah [saw] telah membacanya. Mereka pun lantas bergembira. Mereka berkata: “Inilah yang kami inginkan. Kami tahu bahwa Allah lah yang memberi manfaat dan madharat, yang Esa dan tak ada syarikat bagi-Nya. Tetapi mereka mampu memberi syafa’at kepada kami di samping Allah.” Ketika sampai pada keharusan bersujud, Rasul sujud. Mereka pun turut pula sujud bersama beliau. Kemudian berita ini tersebar bahwa kaum musyrikin telah cenderung kepada kebenaran. Dan berita inipun akhirnya menyebar kepada kalangan kaum muhajirin di Habsyi yang menyebabkan mereka ingin kembali ke Mekah. Maka tatkala Nabi [saw] membantah tentang berita itu, kaum musyrikin pun lantas kembali kepada kebusukan dan kejahatannya sebagaimana yang dulu pernah mereka lakukan. Kemudian kaum musyrikin itu berkata kepada Nabi [saw] dengan kata-kata : “Sesungguhnya engkau telah mengatakan hal itu.” Maka beliau pun merasa sangat takut kepada Allah [swt]. Hingga Allah [swt] menurunkan ayat :
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat” [QS. al-Hajj (22): 55]
Keempat; kisah Abu Talib. Barang siapa memahami kisah ini dengan pemahaman yang benar, maka ia akan memperhatikan keyakinannya tentang tauhid, menganjurkan kepada semua manusia, menganggap bodoh terhadap pemikiran-pemikiran orang musyrik dari menyukai orang-orang yang telah Islam serta melepaskan diri dari segala bentuk perbuatan syirik. Kemudian memberikan segenap harta, usianya, anak-anaknya, dan keluarganya dalam membela Rasulullah [saw] hingga titik darah terakhir. Dan ia akan tetap bersabar di kala menghadapi penderitaan yang mencekam. Namun bila ia tidak masuk ke dalam ahlu tauhid, dan tidak mau melepaskan diri dari seluruh ajaran jahiliyah, dengan alasan masih terikat dengan ajaran nenek moyangnya. Maka ia belumlah termasuk ke dalam golongan Islam. Oleh karena itu diharamkan baginya untuk didoakan agar diampuni dosa-dosanya. Sebagaiman kisah yang terjadi pada masa Rasulullah [saw]. Ketika paman beliau yang bernama Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah [saw] memintakan ampun kepada Allah bagi pamannya. Namun karena paman beliau [saw] masih berasa dalam kemusyrikan hingga matinya, maka Allah pun menegur perbuatan Rasulullah [saw]. Hal itu sebagaimana diterangkan dalam surat (At-Taubah:113) :
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam” [QS. at-Tawbah (9): 113]
Kelima; Kisah hijrah. Di dalamnya terkandung banyak pelajaran yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Kami bermaksud menyoroti satu segi permasalahan yang terkandung dari makna hijrah tersebut. Yaitu, bahwa sebagian para sahabat Rasulullah [saw]tanpa melakukan hijrah. Dan merekapun tak ada sedikit pun keraguan tentang Islam. Mereka, terhadap ajaran kaum musyrikin tidak menyukai. Adapun yang menyebabkan mereka tidak turut berhijrah hanya semata alasannya karena mencintai keluarga, harta, dan kampung halamannya. Tatkala terjadi peperangan Badar, mereka dengan terpaksa mengikuti ajakan kaum musyrikin untuk berperang melawan kaum muslimin. Maka sebagian dari mereka ada yang terbunuh. Dan tatkala kaum muslimin mendengar kabar tentang terbunuhnya saudara-saudara mereka di peperangan Badar, mereka sangat terkejut. Kata mereka (kaum muslimin): “Kita telah membunuh saudara-saudara kita?” Maka Allah lantas menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” [QS. an-Nisā’ (4): 97-99]
Keenam; Kisah murtadnya manusia setelah kewafatan Nabi [saw]. Barang siapa yang telah mendengarnya, niscaya tidak akan ada sisa keraguan sebesar dzarrah pun didalam hati ulama. Sehingga ia mengeluarkan ucapan, “Barang siapa yang telah mengatakan Laa Illaha Illallah, maka ia tak akan kafir. Meskipun dirinya berbuat syirik.” Padahal kalau kita mau menengok sejarah, maka akan didapatkan kisah orang-orang Arab Badui yang dinyatakan tidak memiliki keIslaman. Meskipun mereka telah mengatakan kalimat laa Ilaaha illallah. Dengan lafadz itu menurutnya telah cukup untuk dianggap sebagai orang Islam, dimana harta dan darahnya diharamkan. Padahal mereka meyakini, bahwa mereka telah meninggalkan ajaran Islam. Berdasarkan ilmu yang mereka pahami, mereka telah mengingkari hari berbangkit dan bersikap mengolok-olok kepada orang-orang yang meyakininya. Merekapun merasa bangga dengan berbagai peninggalan dan beragam ajaran nenek moyangnya yang bertentangan dengan ajaran Nabi [saw].
Berdasarkan hal itu,setan-setan yang bodoh dan murtad itu menghendaki tertanamnya keyakinan, bahwa orang-orang Arab Badui itu telah Islam dan tetap dalam keislaman. Alasannya hanya lantaran orang-orang Arab Badui itu pernah mengucapkan laaIlaaha Illallah. Meskipun sifat-sifat kekafiran tampak nyata pada mereka.
(Red-HASMI)