Alloh Subhanahu wata’ala mengutus setiap Rosul-Nya untuk membimbing dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, yaitu dari peribadahan kepada hamba menuju peribadahan kepada Alloh Subhanahu wata’ala semata, tak terkecuali rosul-Nya yang terakhir yaitu Muhammad Sholollohu ‘alaihiwasallam. Kehadiran beliau di muka bumi ini ibarat pelita di tengah kegelapan, dan kita dapat melihat hasil serta perubahan yang sangat drastis terjadi di dunia khususnya masyarakat ‘Arab antara sebelum dan sesudah diutusnya beliau, maka dari itu kita perlu mengetahui kondisi bangsa ‘Arab sebelum diutusnya Rosululloh Sholollohu ‘alaihiwasallam, baik dari aspek politik, agama, dan sosial budaya.
Kondisi politik dan pemerintahan.
Pada masa itu, para pemegang kekuasaan di jazirah ‘Arab bisa dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok para raja, seperti di Yaman, Syam, Ghossan, dan Hiroh. Kemudian kelompok kedua adalah para pemimpin kabilah yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaa para raja, hanya saja batas kekuasaan mereka tidak seluas kekuasaan para raja. Kabilah-kabilah tersebut berada di bawah kekuasaan raja, mereka yang berdekatan dengan Hiroh tunduk kepada raja Arab di Hiroh, dan kabilah yang tinggal di pedalaman Syam tunduk kepada raja Ghossan. Hanya saja ketundukan mereka ini hanya sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah pedalaman dan perbatasan jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak, mereka menjadikan rakyatnya sebagai pekerja yang selalu mendatangkan hasil untuk dipersembahkan kepada pemerintah, yang kemudian mereka memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang dan melampiaskan hawa nafsu. Sementara rakyat tenggelam dalam hidup yang tidak menentu, dan saat kedzoliman menimpa mereka, tak seorang pun di antara mereka yang berani mengadu, mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kedzoliman dan beraneka macam siksaan.
Kondisi Agama.
Mayoritas bangsa ‘Arab pada awalnya adalah mengikuti dakwah Nabi Ismail ‘alaihissalam yaitu mentauhidkan Alloh Subhanahu wata’ala. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, maka mulailah terjadi penyimpangan dari tauhid yang lurus, dimana penyimpangan ini dimulai ketika Amr bin Luhay melakukan perjalanan ke Syam. Di sana ia melihat banyaknya masyarakat yang menyembah berhala, dan ia menganggap bahwa hal itu adalah baik dan benar, sebab Syam merupakan tempat para Rosul diutus. Maka iapun pulang dari Syam dengan membawa berhala yang bernama Hubal dan berhala tersebut ia letakan di Ka’bah. Maka setelah itu iapun mengajak masyarakat Makkah untuk menyekutukan Alloh subhanahu wata’ala, dan ajakannya tersebut ternyata disambut baik, hal ini disebabkan karena Amr bin Luhay adalah seorang yang dermawan dan suka berbuat kebajikan, sehingga banyak orang yang menyukainya dan akhirnya mengikuti ajakannya. Seiring berjalannya waktu, kemusyrikan yang dilakukan orang-orang Makkah pun akhirnya diikuti oleh penduduk Hijaz yang menganggap baik perbuatan tersebut, sebab mereka menganggap bahwa orang-orang Makkah adalah pengawas ka’bah dan penduduk tanah suci.
Semakin lama akhirnya kemusyrikan pun tersebar luas, sehingga di setiap kabilah dan setiap rumah hampir dipastikan terdapat berhala. Bahkan merekapun memenuhi Ka’bah dengan berbagai macam patung dan berhala, mereka juga melakukan bentuk-bentuk per-ibadatan dan upacara syirik, yang kesemuanya diciptakan oleh Amr bin Luhay, seperti meminta tolong saat terjadi kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, menunaikan thawaf di sekeliling berhala, ruku’ dan sujud di hadapan berhala dan lain sebagainya. Bangsa Arab ber-buat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Alloh Subhanahu wata’ala, menghubungkan mereka kepada-Nya serta meminta syafa’at kepada-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an :
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az-Zumar [39] : 3).
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut al-azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, dukun (para-normal) dan ahli nujum.
Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya masyarakat ‘Arab ketika itupun tidak kalah memprihatinkan, misalnya saja dalam hal pernikahan, mereka sangat menggemari pernikahan poliandri (intinya perzinaan). Pernikahan ini adalah kebalikan dari poligami, dimana beberapa orang laki-laki dapat menikahi seorang wanita. Selain itu seorang lelakipun dapat berkata kepada istrinya yang baru suci haid, “Temuilah fulan dan berkumpulah bersamanya!”. Perbuatan semacam ini mereka lakukan bertujuan untuk menghendaki kelahiran seorang anak yang baik dan pintar. Selain itu tindakan perzinaan pun mewarnai setiap lapisan masyarakat, dan menurut persepsi mereka perzinaan bukanlah hal aib, kecuali hanya bagi segelintir orang yang masih memiliki keagungan jiwa. Ada pula di antara mereka yang menganggap aib jika memiliki anak perempuan, sehingga mereka mengubur hidup-hidup putrinya tersebut, atau membunuh anak laki-laki karena takut miskin dan lapar.
Itulah di antara kondisi masyarakat ‘Arab sebelum diutusnya Nabi, dan dapat kita bayangkan betapa berat perjuangan beliau untuk merubah keadaan seperti itu, maka tak heran jika dalam kisah perjalanan dakwahnya, beliau senantiasa mengalami penentangan dan cemoohan dari kaumnya, namun dari sinilah kita dapat melihat kemuliaan dan kesabaran beliau Sholollohu ‘alaihiwasallam. Hal itu patut dijadikan tauladan oleh para da’i dalam mengemban misi dakwahnya, dimana medan dakwah saat ini masih belum seberapa beratnya dibandingkan tantangan dakwah yang terjadi di masa beliau Sholollohu ‘alaihiwasallam.
(Referensi: Rohikul Makhtum, Al-Mubarokfuri, Syofiyurrahman.)
Subhanallah begitu berat nya perjuangan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
Mmskasi