Melacak Problematika Wacana Kesetaraan Gender

Melacak Problematika  Wacana Kesetaraan Gender

Terma atau istilah gender (atau jender) dalam bahasa Indonesia berarti jenis kelamin.* Kata gender  sendiri adalah kata serapan yang berasal dari terma bahasa Inggris yang memang berarti seperti itu, yaitu berarti jenis kelamin.**

Problem Istilah dan Wacana

Sebagian kalangan, khususnya kaum Liberalis menilai kurang tepat bila gender  diartikan sebagi “jenis kelamin”, karena berarti sinonim dengan terma sex. Menurut mereka, bila gender berarti sex, maka itu digunakan hanya untuk membeda-kan pria dan wanita dari segi anato-mi biologisnya semata. Sedangkan gender seharusnya dipergunakan untuk membedakan pria dan wanita dari sudut pandang sosial budaya, maksud-nya pria dan wanita dibedakan berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang disosialisasikan melalui proses yang panjang sehing-ga kemudian nilai tersebut melekat pada keduanya dan bahkan akhirnya dianggap sebagai sebuah kudrat.[1]

Ambigusitas term dan makna gender  serta “perjuangan kolosal” para peng-giat gender tersebut di kalangan Femi-nis sendiri diakui secara langsung sebagai hal problematik yang terka-dang menyulitkan identifikasi[2], kare-na terjadi perbedaan interpretasi dan mengalami pergeseran “nilai perjuangan”.

Sedangkan wacana atau studi gender (gender studies) sering diarti-kulasikan sebagai studi perempuan karena bertujuan untuk menguji dinamika pengalaman dan identitas perempuan dan laki-laki[3], dimana pada saat ini gender studies dianggap sebagai analisa yang dipergunakan untuk menempatkan atau mendudukkan posisi setara (equal) antara laki-laki dan perempuan, yang sering diklaim sebagai upaya untuk mewujudkan realitas dan tatanan sosial masyarakat yang lebih egaliter dan tidak termar-ginalkan sehingga mampu berperan dalam berbagai segmen kehidupan.

Kini, kajian tentang gender, feminisme dan emansipasi serta hal-hal yang terkait dengannya dalam Islam sering dipaksakan dengan pel-bagai istilah yang sangat rancu dan tak berdasar sama sekali, antara lain istilah “Islam Anti Bias Gender”, “Islam Kesetaraan Gender”, “Islam Pengarusutamaan Gender, “Islam Feminis” atau “Islam Emansipatoris”.

Genealogi Wacana

Diakui oleh banyak pihak, kesa-daran adanya perbedaan gender bukan-lah disebabkan oleh adanya perbedaan seks, namun terjadi karena ketidakadilan gender, yang meliputi (1) marginalisasi (penyingkiran) kaum wanita baik di bidang pekerjaan, kehidupan keluarga, dan keagamaan; (2) subordinasi (merendahkan) kaum wanita, seperti anggapan bahwa wanita memiliki intelegensia yang lebih rendah dari pria sehingga muncul kesan bahwa wanita merupakan sosok yang kurang keberadaannya; (3) stereotif (penan-daan) yang negatif seperti wanita diidentikkan sebagai sosok pesolek yang mencari perhatian dan meman-cing daya tarik pria; (4) violence  (kekerasan) seperti perkosaan, pemu-kulan, penyiksaan, pelacuran, porno-grafi, pemaksaan KB dan pelecehan seksual; dan (5) beban kerja yang terlalu berat, seperti menganggap wanita bertanggung jawab terhadap segala pekerjaan domestik.[4] Hal ini memang bisa saja terjadi, namun yang marak adalah di dunia Barat (Eropa) yang dilandasi oleh paham sekular-liberal, bukan di dunia Islam!

Ketidakadilan tersebut di atas ke-mudian mendorong sebagian kaum wanita untuk melakukan gerakan pem-belaan terhadap hak-hak mereka, karena telah diperlakukan tidak adil, ditindas dan dieksploitasi[5], sehingga tidak salah bila dinyatakan bahwa wacana kesetaraan gender berasal dari paham “kebencian” dan “kecurigaan”[6], yang telah akut melanda Barat dan sekali lagi bukan di dunia Islam!

Wacana dan diskursus gender terse-but berasal dari gerakan feminis di Barat[7], terjadi secara bergelombang yang bah-kan seringkali berseberangan ide[8], dimulai sejak abad ke-15 atau terdeteksi kuat arusnya pada tahun 1895.[9]

Di dunia Islam, wacana ini di-tengarai pertama kali digulirkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dari Mesir[10], atau oleh tokoh Mesir lain sebelumnya, bernama Rifa’ah al-Thahthowi (1801-1873)[11]. Atau menurut klaim penggiat “Muslim Feminis”, gerakan perempuan tersebut kemudian memunculkan tiga generasi Muslim feminis, yaitu Rifa’ah Rafi’ al-Thah-thowi, Muhammad Abduh dan Qosim Amin.[12]

Sedangkan di Indonesia, wacana kesetaraan gender yang menjadi salah satu mainstream dari wacana Islam liberal Indonesia, ditengarai ramai dibicarakan di kalangan publik adalah sejak tahun 1990-an yang melahirkan tokoh feminis seperti Nasaruddin Umar, Budi Munawar Rachman, Wardah Hafidz, Husein Muhammad, Ruhaimi Dzuhayatain, Mansour Fakih, Lies Marcoes Natsir dan Ciciek Farkha[13], serta banyak tokoh lainnya yang kemudian ikut-ikutan mempropagandakannya.

Islam Justru Memuliakan Wanita

Salah satu tuduhan terbesar kaum feminis dan aktivis kesetaraan gender, bahwa ajaran Islam terlalu bias gender atau memandang “sebelah mata” perempuan (misogyny) dan ter-lalu menonjolkan maskulinitas kaum pria (patriarki). Ini jelas klaim dusta!

Hal ini terjadi dikarenakan mun-culnya beberapa fenomena ketidak-adilan gender di sebagian kaum Muslimin, yang diperparah dengan keterbelakangan cara berfikir dan ketidaktahuan kaum feminis tersebut terhadap ajaran Islam; baik sumbernya yang otentik maupun pemahamannya yang valid.

Karena itu, pertanyaan yang patut dilontarkan kepada para aktivis feminisme tersebut adalah, benarkah perjuangan mereka ditujukan untuk mengangkat harkat wanita dan me-muliakan mereka?

Ataukah mereka sebenarnya adalah orang-orang yang terbius oleh ke-sesatan berfikir, sementara mereka menyangka “nyaman” berada di atas kebenaran?

Ataukah mereka hanyalah orang-orang yang sedang menjajakan “produk asing” dan mempropagandakan “jeritan pihak lain” yang terzholimi oleh aga-manya sendiri, bukan oleh Islam namun tuduhannya disematkan kepada Islam?

Sangat boleh jadi, mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebut oleh Alloh [swt] dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi per-buatannya?. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi [18]: 103-104)

Dan apakah wanita Muslimah memang membutuhkan pembebasan, emansipasi dan kesetaraan gender? Ataukah kaum wanita Baratlah yang justru membutuhkan dan menanti “pembebasan” dan “penyetaraan” secara Islami? Inilah sejatinya yang justru sangat dibutuhkan!![14]


* Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 439 & 577.

** Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm. 265.

[1] M. Nashirudin dan Sidik Hasan, Poros-Poros Ilahiyah: Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim Tradisional Versus Liberal, Surabaya: Jaring Pena, 2009, hlm. 13-14.

[2] Lihat Sarah Gamble, et.al., Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, hlm. 69-81.

[3] Ibid., hlm. 309.

[4] Lihat Nashirudin dan Hasan, Poros-Poros Ilahiyah, hlm. 14-15.

[5] Ibid., hlm. 15.

[6] Lihat Adian Husaini, “Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam”, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam  Islamia, vol. III, No. 5, hlm. 13-14.

[7]Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 105-109.

[8] Lihat Gamble, et.al., Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme. Lihat pula Dinar Dewi Kania, “Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam  Islamia, vol. III, No. 5, hlm. 26-35.

[9] Nashirudin dan Hasan, Poros-Poros Ilahiyah, hlm. 16.

[10] Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 109.

[11] Lihat Nashirudin dan Hasan, Poros-Poros Ilahiyah, hlm. 24-31.

[12] Lihat Mohamad Guntur Romli, Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. 155-237.

[13] Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 220-221.

[14] Uraian menarik dan faktual, bukan sekadar dialektika apologetik, lihat Sa’d al-Dīn al-Sayyid Shālih, Ihdzarū al-Asālīb al-Hadītsah fī Muwājahah al-Islām, Uni Emirat Arab: Dār al-Shahābah dan Kairo: Maktabah al-Tābi’īn, 1998, hlm. 217-220.

(Red-HASMI/IH/Rahendra Maya, S.Th.I., M.Pd.I.)

Check Also

ADA SEBUAH KONSPIRASI

Saat kita menyaksikan sebuah kejadian besar perpolitikan atau sosial kemasyarakatan, sering kita dengar sebuah ungkapan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *