Dalam kajian terhadap Hadits Nabi [saw], setidaknya ditemukan tiga diskursus yang mengemuka, yaitu (1) bahwa seluruh Hadits yang ada adalah asli atau shohih semua; (2) meyakini semua Hadits yang ada adalah palsu semua; dan (3) tidak meyakini kedua diskursus tersebut, bahkan harus dilakukan verifikasi (cek dan ricek) terhadap Hadits. *
Akar Filosofis Kajian Orientalis
Pendapat ketiga adalah pendapat yang diyakini oleh kaum Muslimin, spesifiknya oleh para ulama ahlul Hadits sebagai pihak yang paling berkompeten dan kredibel dalam mengkaji Hadits, dan ini adalah pendapat yang benar, bahkan sangat “rasional” secara epistemologis.
Sedangkan pendapat pertama dan kedua, adalah pendapat yang murni berasal dari orang bodoh dan tidak berilmu. Orientalis cenderung kepada pendapat kedua (wholesale rejection), bahwa semua Hadits adalah palsu, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi . Para Orientalis bahkan lancang menyandarkan pendapat pertama – bahwa semua Hadits adalah shohih – kepada umat Islam yang dituduh mereka menerima semua Hadits.[1]
Selain memiliki banyak tujuan dan agenda, seperti untuk penelitian, faktor agama, kolonialisme dan lainnya,tujuan dan agenda Orientalis yang harus diwaspadai antara lain menebar keraguan terhadap kebenaran misi Nabi Muhammad [saw] dan mengklaim bahwa Hadits hanyalah bualan kaum Muslimin di tiga kurun pertama. Proyek utama mereka tiada lain sebagai upaya untuk memerangi (muhārabah) as-Sunnah (Hadits yang telah terverifikasi dan diamalkan) agar tidak di implementasikan oleh kaum Muslimin sehingga mereka kehilangan contoh ideal dan teladan hakiki dalam merealisasikan ajaran Islam, akhirnya mereka pun kehilangan pilar utama dalam berislam.[2]
Kajian Orientalis, lebih tepatnya serangan atau tikaman mereka terhadap Hadits terjadi setelah lama mereka mengkritik dan menyerang al-Qur’an namun kurang membuahkan pengaruh positif di kalangan kaum Muslimin, akhirnya mereka pun mengalihkan sasarannya kepada sumber Islam kedua, yaitu Hadits.[3] Hal ini kemudian bahkan diwariskan oleh pihak kolonial secara turun-temurun sebagai sebuah konspirasi menghancurkan Hadits, termasuk di bumi Indonesia.[4]
Pijakan Orientalis Dalam Mengkaji Hadits
Inilah yang menjadi landasan dan akar filosofis dari marak dan merebaknya diskursus Orientalis terhadap Hadits Nabi.
Berikut beberapa pendapat Orientalis tentang Hadits Nabi [saw] yang menjadi landasan epistemologis mereka dalam mengkajinya, antara lain:
H.A.R.Gibb, Orientalis Misionaris berkata: “Islam secara epistemologis lebih banyak berlandaskan kepada Hadits daripada kepada al-Qur’an. Karena itu, bila Hadits-hadits yang dusta tersebut kita tiadakan (kritik habis), maka tidak akan tersisa ajaran Islam sedikitpun!”[5]
Dengan menukil pendapat Orientalis terkemuka Ignaz Goldzhiher, Prof. Dr. Sa’duddin al-Sayyid Sholih mendeskripsikan bahwa ketika mengkaji diskursus Hadits, maka Orientalis memandangnya sebagai kabar berita palsu (maudhū’ah) yang ditulis oleh tangan kotor Sahabat dan Tabi’in.[6] Menurutnya (Goldzhiher), hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.[7]
Lebih lanjut, secara epistemologis biasanya ada tiga hal yang sering dipaparkan dan dibentangkan Orientalis dalam pengkajian mereka terhadap al-Hadis, yaitu:
1) Aspek kepribadian Nabi Muhammad [saw] .
Orientalis mengklasifikasi status Nabi [saw] menjadi tiga; sebagai Rosul, kepala negara dan pribadi biasa sepertiorang pada umumnya. Menurut mereka, Hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad [saw] perlu direkontruksi ulang. Karena yang dimaksud Hadits haruslah berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, jika tidak maka hal itu tidak layak untuk disebut dengan Hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
2) Aspek perawi atau sanad Hadits.
Orientalis seringkali mempertanyakan para perawi yang banyak meriwayatkan Hadits dari Rosululloh [saw] yang mereka anggap sebagai “Sahabat-sahabat junior”, maksudnya sebagai orang-orang “baru” dalam kehidupan Rosululloh [saw] .
3) Aspek pengkodifikasian Hadits.
Orientalis mengkritik sejarah penulisan Hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad [saw] wafat. Hal itu, menurut mereka membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian Hadits secara verbal.
Untuk menyokong epsitemologi tersebut, Orientalis membuat sejumlah metode, antara lain:
-
Mendistorsi teks-teks sejarah.
Misalnya Goldziher yang menuduh Imam Ibnu Syihab al-Zuhri [rahimahu] telah melakukan pemalsuan Hadits, dengan mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
-
Membuat teori-teorirekayasa.
Untuk menguatkan tuduhan yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad [saw] , melainkan hanya “buatan” para ulama abad pertama dan kedua. Orientalis Joseph Schacht membuat teori tentang “rekonstruksi” terjadinya sanad Hadits yang kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang) yang jelas-jelas tidak ilmiah dan mengada-ada.
-
Ketiga melecehkan ulama Hadits.
Untuk mendukung teorinya, paara Orientalis biasanya gemar dan bahkan getol sekali melecehkan kredibilitas ulama Hadits, bahkan tak segan untuk menuduh mereka sebagai pemalsu Hadits. Di antara ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan adalah Sahabat Abu Huroiroh, Imam Ibnu Syihab al-Zuhri dan Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhori.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para Orientalis dikarenakan ketiganya menempati posisi yang strategis dalam diskursus ilmu Hadits; Abu Huroiroh adalah Sahabat yang tercatat perawi yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad; al-Zuhri sering disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits; dan al-Bukhori adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qur’an, Shohīh al-Bukhorī.[8]
Dampak Kajian Orientalis Terhadap Hadits
Kritik dan gugatan lebih tepatnya tikaman dan serangan – Orientalis yang kemudian menyebar dan dibaca luas berhasil meracuni pemikiran sebagian kalangan Muslimin memunculkan gerakan anti Hadits atau Sunnah kontemporer (Munkirū as-Sunnah hadītsan), spesifiknya dimulai melalui eksodus tentara Salibis yang merampas tanah kaum Muslimin sebagai wilayah kolonialisasinya. Kemudian dilanjutkan oleh gerakan Orientalisme yang banyak memfokuskan kajiannya kepada diskursus Arab dan Islam (Arabic and Islamic Studies). Dan sangat disayangkan, sebagian kalangan kaum Muslimin sendiri dengan rela hati kemudian menjadi para murid Orientalis, antara lain memunculkan gerakan yang hanya komitmen kepada al-Qur’an saja, tidak kepada Hadits, karena diklaim bersifat prasangka (zhann), belum terkodifikasi (lam tudawwan) dan dianggap telah terkontaminasi oleh kepalsuan, khususnya Hadits Ahad[9], ini merupakan klaim inkārus Sunnah yang menjadi murid dan antek Orientalis.
Gerakan dan propaganda anti Hadits tersebut pertamakali muncul di Mesir, India, Pakistan dan beberapa wilayah lainnya, baik pengingkaran terhadap seluruh hadits (melahirkan gerakan Munkirū as-Sunnah atau Munkirū al-Hadīts, mereka sendiri mempopulerkannya sebagai ahli al-Qur’an atau al-Qur’āniyyūn) dan yang paling utama adalah pengingkaran terhadap sebagian Hadits yang diklaim bertentangan dengan akal sehat atau ilmu pengetahuan, tentunya berdasarkan prasangka mereka.
Tokoh dan propagandis gerakan tersebut di Mesir antara lain Muhammad ’Abduh, Ahmad Amin, Isma’il Adham, Husain Ahmad Amin, Mahmud Abu Royyah, Sayyid Sholih Abu Bakar, dan Ahmad Zaki Abu Syadzi. Di India-Pakistan antara lain Ghulam Ahmad al-Qodiyani, Sayyid Ahmad Khon, Syiragh ’Ali, ’Abdulloh Chakrawali dan Ghulam Ahmad Barwes. Sedangkan di antara penulis produktif yang terkadang menolak Hadits tanpa didukung oleh kredibilitas ilmu Hadits yang mumpuni antara lain Sayyid Abu al-A’la al-Maududi, Amin Ahsan al-Ishlahi, Muhammad al-Ghozali dan Sa’id Hawa.[10]
Gaung anti Hadits pun sampai ke Indonesia dan Malaysia, bahkan hingga kini masih nyata dan eksis gerakannya. Terlebih di kampus-kampus PT. Islam, baik negeri maupun swasta, setelah maraknya ajaran “relativisme kebenaran” dan masifnya “pemikiran Liberal Islam”, kini malah muncul ide kajian hermeneutika Hadits[11] setelah masifnya diskursus tentang hermeneutika al-Qur‘an yang sekarang diistilahkan sebagai tafsir kritis hermeneutika.
Seharusnya hadits Nabi [saw] atau Sunnah oleh mayoritas kaum Muslimin diyakini sebagai wahyu Ilahi yang berarti kembaran al-Qur’an[12]; dan mereka pun telah sepakat (ittifāq) untuk menjadikannya sebagai dalil (hujjah). Hal ini berarti bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua yang otoritatif kedua dalam Islam.[13]
Karena demikian sentral dan vitalnya keberadaan Hadits, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti untuk kemudian mengkritik Hadits dengan satu tujuan; untuk meragukan otoritas dan validitas hadits sebagai dalil atau dasar beragama, atau untuk meragukan otentisitasnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad [saw].
Di sisi lain, memperhatikan “geliat” Orientalis dalam mengkaji Hadits, dengan tetap memberikan warning dan kewaspadaan tingkat tinggi, sebagai kaum Muslimin kita semua layak untuk memberikan “apresiasi” kepada mereka yang telah ikut serta dan bahkan bersusah payah mengkaji Hadits tersebut; di samping kita semua juga harus mendapatkan “inspirasi”, bahwa kitalah sebenarnya yang paling berhak untuk mengkaji Hadits, memverifikasinya, mengamalkan dan mengaktualisasikannya serta konsisten dan istiqomah dalam memperjuangkannya, khususnya dalam menangkis dan menjawab syubhat-syubhat Orientalis[14].
Semoga demikian adanya, karena selanjutnya berpulang kepada kita semua.
* Lihat Muhammad ibn Shālih al-’Utsaimīn, Rasā‘il fī al-Ushūl (Mushthalah al-Hadīts), Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, t.t., hlm. 179. Dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa seseorang yang menjadikan Hadits sebagai dalil, maka ia membutuhkan dua perangkat penelitian sekaligus, yaitu(1) penelitian tentang orisinalitas dan validitas Hadits(nazhar fī tsubūtihā ’an al-Nabī ), apakah benar berasal dari Nabi ataukah tidak, karena tidak setiap Hadits yang disandarkan kepadanya benar berasal darinya; dan (2) penelitian tentang hukum yang dikandung oleh teks Hadits tersebut (nazhar fī dalālah al-nash ’alā al-hukm).
[1] Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 27; dan “Gugatan Orientalis Terhadap Hadits Nabi dan Gaungnya di Dunia Islam”, dalam al-Insan Jurnal Kajian Islam No. 2, vol. 1, 2005, hlm. 9.
[2] Lihat al-Nadwah al-‘Ālamiyyah li al-Syabāb al-Islāmī, al-Mausū’ah al-Muyassarah fī al-Adyān wa al-Madzāhib wa al-Ahzāb al-Mu’āshirah, ed. Māni’ ibn Hammād al-Juhnī, Riyadh: Dār al-Nadwah al-‘Ālamiyyah, 1418 H, vol. 2, hlm. 701.
[3] Lihat Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Usamah Press, 2003, hlm. 170.
[4] Lihat Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Bandung: Syaamil, 2003, hlm. 5-7.
[5] Manshūr ‘Abd al-‘Azīz al-Khirrījī, al-Ghazw al-Fikrī li al-Ummah al-Islāmiyyah: Mādhīhi wa Hādhirihi, Riyadh: Dār al-Shamai’ī, 1420 H, hlm. 133.
[6] Lihat Sa’d al-Dīn al-Sayyid Shālih, Ihdzarū al-Asālīb al-Hadītsah fī Muwājahah al-Islām, Uni Emirat Arab: Dār al-Shahābah dan Kairo: Maktabah al-Tābi’īn, 1998, hlm. 92.
[7] Lihat Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 29.
[8] Lebih lanjut, lihat Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 28-44; Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hlm. 8-23; dan Nuruddin, Ulumul Qur’an, Bandung : Rosdakarya, 1997, hlm. 267-291.
[9] Lihat Shalāh al-Dīn Maqbūl Ahmad, Zawābi’ fī Wajh al-Sunnah Qadīman wa Hadītsan, Kuwait: Dār Ibn al-Atsīr, 1994, hlm. 69-70.
[10] Lihat Ibid., hlm. 71-275.
[11] Lihat Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadits: Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2003, hlm. 84-87.
[12] Muhammad Muhammad Abū Zahw, al-Hadīts wa al-Muhadditsūn au ‘Ināyah al-Ummah al-Islāmiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984, hlm. 11.
[13] Lihat ‘Abd al-Ghanī ‘Abd al-Khāliq, Difā’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqīn wa al-Kuttāb al-Mu’āshirīn wa Bayān al-Syubah al-Wāridah ‘alā al-Sunnah Qadīman wa Hadītsan wa Radduhā Raddan ‘Ilmiyyah Shahīhan, Beirut: Dār al-Jīl, 1991, hlm. 11-17.
[14] Lihat lebih lanjut ‘Abd al-Razzāq ‘Afīfī, Syubuhāt haula al-Sunnah, Saudi Arabia: Mu’assasah Sulaimān ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Rājihī al-Khairiyyah, 1426 H.
(Red-HASMI)