Membongkar Kesesatan Pluralisme Beragama

Dinamika pluralisme beragama di negara yang berasaskan Bhineka Tunggal Ika ini semakin kuat semenjak Indonesia dipenuhi  dengan jaringan Islam liberal. Isu-isu tentang pluralisme begitu dahsyat menggelontor terutama dikalangan akademis. Akhirnya akademi dan kampus Islampun menjadi ajang empuk pluralisme oleh para doktor lulusan Barat. Bahkan ketika kematian Gus Dur, presiden Indonesia dalam pidato pemakaman Gus Dur memberikan gelar kepadanya sebagai bapak pluralisme untuk bangsa Indonesia. Sebenarnya gelar ini telah diwacanakan sejak tahun 2006 ketika peluncuran buku karya Gus Dur dan diberikan kata pengantar oleh Dr. Syafi’i Anwar ‘Islamku,  Islam Anda,  Islam Kita, (Agama Masyarakat Negara Demokrasi)’. Sebuah buku yang mengusung paham pluralisme beragama di Indonesia sekaligus menentang arus pemikiran Islam yang murni. Tidak puas dengan gelar tersebut Wimar Witoelar menambahkan bahwa Gusdur sebetulnya juga tokoh Pluralisme dunia mengingat bahwa dunia saat ini mengalami krisis tokoh pluralisme.

Sebenarnya sejak tahun 2005 MUI telah mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme beragama. Namun fatwa tersebut hanyalah bersifat himbauan. Sama sekali tak ada kekuatan hukum dan belum mampu membendung laju arus pluralisme beragama di Indonesia. Bahkan seorang aktivis dan tokoh liberal, Zuhairi Misrawi dalam tulisannya (Kompas.com, 4/1/2010) mengatakan bahwa dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh Presiden Yudhoyono, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman terhadap pluralisme.  Sungguh sangat aneh sekali kicauan mereka. Lembut kelihatannya, namun begitu menohok sekaligus mementahkan lembaga umat yang begitu besar sekelas MUI.

Makna dan Hakikat Pluralisme

 Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan Pluralisme sebagai suatu keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politiknya) atau berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.[1] Namun kalau kita cermati pluralisme dalam konteks kekinian telah menjadi sebuah paham. Sebagaimana yang dijelaskan oleh MUI dalam fatwanya bahwa Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatife; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.

Hakikat paham pluralisme adalah paham kekufuran yang sangat bertentangan dengan konsepsi Islam. Dalam pandangan pengusung pluralisme tidak ada lagi istilah mukmin dan kafir. al-haq dan al-batilpun tidak juga ada batas yang jelas. Bahkan kebatilan bisa jadi kebenaran karena memang standar penilaian kebenaran bukan dengan wahyu namun menurut hawa nafsu masing-masing orang. Paham ini jelas sesat karena mementahkan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.  Dalam perspektif pluralisme Islam bukan lagi agama yang paling benar, al-Qur’an tidak lagi kitab yang paling suci bahkan nabi Muhammad [saw] bukan lagi nabi terakhir dan akhir zaman.  Orang Islam yang awam dan tak pernah kuliahpun paham kalau akidah seperti itu sesat dan salah kaprah. Lantas kenapa justru paham kufur itu disebarkan para “Intelek” yang bertahun-tahun kuliah bahkan meraih gelar Doktor dan Profesor?!

Konsepsi Pluralitas dalam Islam

Islam sebenarnya juga mengenal konsep pluralitas atau kemajemukan. Namun konteks pluralitas dalam Islam bukan pada pluralitas akidah atau beragama. Alloh [swt]  menggambarkan konsep pluralitas kehidupan manusia dalam firman-Nya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kaliandisisi Alloh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”   (QS. al Hujurot [49]: 13)

Inilah pluralitas yang sebenarnya menjadi pondasi dasar ilmu sosiologi manusia modern. Pluralitas di sini sama sekali bukan pluralitas akidah sebagaimana yang diusung kelompok liberal. Karena jelas sekali di dalam akhir ayat Alloh [saw] memberikan timbangan syar’i yaitu ketakwaan. Islam mengakui dan menghargai kemajemukan dan keberanekaragaman baik suku, bangsa, budaya maupun bahasa. Dari kemajemukan inilah kita bisa saling interaksi dan berbagi wawasan. Ada sisi muamalah dalam agama ini yang memang fleksibel dan selaras dengan perkembangan zaman. Namun ada juga sisi akidah yang permanen dan tak bisa di otak-atik oleh siapapun dan sampai kapanpun. Jangan dicampuradukkan karena semua ada batasannya.

Para penggiat pluralisme berdalil dengan potongan ayat “Laa ikroha fiddin/ tidak ada paksaan dalam agama” (lihat QS. Al-Baqoroh [2]: 256). Oleh karena itu, agama apa saja adalah pilihan manusia dan kita wajib meyakini kebenarannya kata mereka. Padahal kalau kita simak argumen mereka termentahkan sendiri dengan kelanjutan ayatnya.  Yaitu Alloh [swt] menjelaskan barangsiapa yang kafir pada thoghut dan beriman kepada Alloh [swt] maka ia telah berpegang dengan tali agama yang sangat kuat. Bagaimana seseorang akan kafir kepada thogut dan beriman kepada Alloh [swt], jika meyakini semua agama sama padahal Alloh [swt] sendiri telah membedakannya? Sekali lagi aneh memang argumen mereka.

Bahaya Pluralisme bagi Akidah Umat

Sekilas seolah tampak indah kehidupan pluralisme beragama. Namun agama ini bukan pelangi atau gado-gado. Kalau kita mau mencermati dan menganalisis dengan hati nurani yang jernih dan jujur, maka akan kita dapati banyak poin tentang bahaya pluralisme.  Di antara poin utama bahaya pluralisme beragama adalah:

  1. Paham Pluralisme menolak konsep Islam yang murni bahwa hanya Islamlah agama satu-satunya yang diridhai Alloh [swt].
  2. Paham pluralisme mementahkan konsep nafyu wal itsbat (penetapan dan penafian) dalam rukun kalimat syahadat yang menjadikan seorang menjadi Muslim  seorang muwahid sejati
  3. Paham Pluralisme meruntuhkan akidah al-wala’ dan al-baro’ dalam Islam kepada kaum kafir, zindiq dan munafik.
  4. Paham Pluralisme memandulkan aktivitas dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar bahkan jihad fisabilillah yang merupakan syi’ar Islam dan puncak tertinggi Islam.

Wajah Baru Pluralisme.

Fatwa MUI tentang keharaman (baca: kesesatan)  pluralisme beragama tidak menjadikan para pengusung pluralisme surut langkah. Meskipun istilah pluralisme tampak redup namun kini pluralisme telah menjelma dengan wajah baru yang dikenal dengan istilah Multikulturalisme. Hakikat dan substansi antara pluralisme dan multikuturalisme adalah sama. Yaitu sama-sama meyakini bahwa semua ajaran agama adalah sama dan benar.

Namun ironinya sejak tahun 2010 Kemenag justru menerbitkan buku yang sarat dengan muatan pluralisme yaitu “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK.” Kesimpulan yang bisa kita tarik yaitu adanya kesengajaan penyebaran multikulturalisme dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, umat harus waspada karena ini adalah langkah awal pemandulan konsep Islam yang murni kepada generasi penerus Islam yang akan datang.

Sebagai seorang Muslim wajib mengatakan “Tidak” untuk Pluralisme beragama. Selanjutnya katakana kepada mereka “lakum dinukum waliyadin.” Wallohu a’lam bishowab.


[1]  Kamus Besar  Bahasa Indonesia, PT.  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm.1086.

(Red-HASMI)

Check Also

ADA SEBUAH KONSPIRASI

Saat kita menyaksikan sebuah kejadian besar perpolitikan atau sosial kemasyarakatan, sering kita dengar sebuah ungkapan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *