Alloh subhanahu wata’ala mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk membimibng umat manusia agar senantiasa dalam fitrahnya yaitu mentauhidkan Alloh subhanahu wata’ala. Ajaran-ajaran yang disampaikan para nabi seluruhnya berasal dari Alloh subhanahu wata’ala. Dia-lah yang berkuasa menetapkan dan merubah rincian hukum yang harus dijalankan hamba-hamba-Nya.
Ajaran agama Islam yang diusung para nabi, ada yang sama dan adapula yang berbeda. Ajaran yang sama dan tidak berbeda yaitu terkait prinsip-prinsip dasar akidah, sedangkan ajaran yang berbeda yaitu terkait rincian praktek ibadah kepada Alloh subhanahu wata’ala yaitu dalam masalah syariat-Nya.[1]
Ditinjau dari segi bahasa, akidah berasal dari kata al-Aqd (العقد) yang berarti ikatan, memintal, menetapkan, menguatkan, mengikat dengan kuat, berpegang teguh, yang dikuatkan, meneguhkan, dan yakin. Adapun makna akidah secara umum, mencakup di dalamnya akidah Islam dan akidah di luar Islam yang menyimpang yaitu hal-hal yang wajib dibenarkan oleh hati, dan jiwa merasa tentram kepadanya, sehingga menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan.[2]
Makna akidah di atas mencakup segala bentuk akidah yang diyakini oleh umat manusia. Termasuk di antaranya praktek-praktek kesyirikan seperti pesugihan, sesajen, tumbal, ruwatan, ngalap berkah kotoran kerbau Kiayi Slamet dan praktek kesyirikan lainnya. Para pelaku kesyirikan tersebut didorong oleh keyakinan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat dan menangkal mudharat.
Adapun yang dimaksud dengan akidah islamiyah yang dianut dan didakwahkan oleh Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam adalah:
الإيمان الجازم بالله تعالى -وما يجب له من التوحيد والطاعة- و بملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر وسائر ماثبت من أمور الغيب والأخبار والقطعيات عملية كانت أو علمية
“Keyakinan kuat kapada Alloh subhanahu wata’ala dan apa-apa yang mewajibkan kepada-Nya dari tauhid dan ketaatan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir dan perkara-pekara ghaib lainnya, serta kabar-kabar qath’i, baik amaliyah maupun ilmiyah.” [3]
Definisi ini, memberikan gambaran bahwa inti materi akidah adalah tauhid, dan ini merupakan prinsip dasar akidah yang didakwahkan oleh para Nabi dan Rasul. Jadi, prinsp-prinsip dasar keyakinan umat Islam di setiap zamannya tidak ada perubahan sedikitpun.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Kami tidaklah mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. al-Anbiya [21]: 25)
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu bahwa jika kamu mempersekutukan Alloh, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-Zumar [39]: 65-66)
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Katakanlah: Kemarilah kalian kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. al-An’am [6]: 151)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: Beribadahlah kalian kepada Alloh saja, dan jauhilah oleh kalian Thaghut.” (QS. Al-Nahl [16]: 36)
Persamaan seruan prinsip dasar akidah para nabi kepada setiap umatnya menunjukan bahwa akidah merupakan pondasi dasar agama Islam. Semua bentuk praktek keagamaan dibangun di atas dasar kebenaran akidah. Akidah juga merupakan hak Alloh subhanahu wata’ala atas hamba-Nya yang harus ditunaikan. Sehingga, misi penyelamatan akidah diusung oleh para utusan Alloh subhanahu wata’ala di setiap zaman.[4]
Di dalam al-Qur’an juga, Alloh subhanahu wata’ala mengabadikan seruan beberapa para nabi yang mereka dakwahkan kepada umatnya.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, “Wahai kaumku beribadahlah kalian kepada Alloh, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya.” Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS. Al-A’raf [7]: 59)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Kami telah mengutus kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku beribadahlah kalian kepada Alloh, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya” Maka mengapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A’raf [7]: 65)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata, “Wahai kaumku beribadahlah kalian kepada Alloh, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya.” (QS. Al-A’raf [7]: 73)
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Kami telah mengutus kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Wahai kaumku beribadahlah kalian kepada Alloh, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya.” (QS. Al-A’raf [7]: 65)
Dengan demikian, maka tidak diragukan lagi akan akidah yang dianut dan didakwahkan oleh para Nabi dan Rasul. Mereka menyerukan kepada umatnya untuk memurnikan tauhid dan menjauhi syirik. Sehingga, jika ada suatu kaum yang mengaku pengikut salah satu dari utusan Alloh namun dia berbuat kesyirikan maka bukanlah pengikut Nabi tersebut.
Adapun, perbedaan ajaran Islam para nabi dan rasul hanya terkait dengan rincian aturan pelaksanaan ibadah yang disebut dengan syariat. Perbedaan tersebut atas kehendak dan hikmah Alloh subhanahu wata’ala. Salah satu hikmah perbedaan syariat adalah untuk menguji kejujuran akidah seseorang dalam menjalani ketaatan kepada Alloh subhanahu wata’ala.
Syariah berasal dari kata bahasa arab (الشريعة) yang berarti jalan yang dilewati untuk menuju sumber air. Dalam kamus Mu’jam al-Wasith dijelaskan bahwa Syariah adalah apa-apa yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya dari perkara keyakinan-keyakinan, hukum-hukum dan metodenya.
Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-Arab menjelaskan:
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
“as-Syari’ah dan as-Syir’ah adalah aturan-aturan agama yang telah Alloh tetapkan dan memerintahkan aturan tersebut untuk dilaksanakan seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan amalam-amalan kebaikan lainnya.”
Muhammad ibn Ali al-Syaukani mengatakan, “Makna asal syir’ah dan syari’ah adalah jalan yang jelas yang dapat mengantarkan ke tempat air. Kemudian, kalimat syari’ah digunakan untuk perkara-perkara agama yang Alloh syari’atkan untuk hamba-hamba-Nya.”[5]
Wahbah ibn Musthafa Az-Zuhaili berkata:
والشريعة: كل ماشرع الله تعالى لعباده من الأحكام، سواء بالقرآن، أم بالسنة، وسواء ما تعلق منها بكيفية الاعتقاد، ويختص بها علم الكلام أو علم التوحيد، أو بكيفية العمل، ويختص بها علم الفقه.
“Syariah adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala untuk hamba-hamba-Nya, baik penetapannya dengan al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik terkait dengan keyakinan-keyakinan yang secara khusus dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhud, atau terkait dengan amal yang secara khusus dibahas dalam ilmu fiqih.”[6]
Manna al-Qathan mendefinisikan istilah syariah dalam kitab Tarikh Tasyri’ al-Islami dengan mengatakan, “Semua aturan yang Alloh turunkan untuk para hamba-Nya, baik terkait masalah akidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak. Baik terkait hubungan makhluk dengan Alloh, maupun hubungan antar-sesama makhluk.”
Sebelum diutusnya Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam, maka setiap nabi yang diutus Alloh subhanahu wata’ala kepada umatnya memiliki syariat masing-masing. Bahkan Alloh subhanahu wata’ala pun telah menurunkan beberapa kitab seperti Taurat, injil dan kitab lainnya sebagai panduan syariat nabi tersebut.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. al-Maidah [5]: 48)
Imam Qatadah menafsirkan ayat mulia ini dengan mengatakan, “Syariat (setiap nabi) berbeda-beda, yaitu di dalam Taurat ada syariat tersendiri dan di dalam Injil ada syariat tersendiri, begitu pula di dalam al-Qur’an juga ada syariat tersendiri.”[7]
Ibnu Katsir mengatakan, “Adapun syariat-syariat para nabi maka berbeda dalam hal perintah-perintah dan larangan-larangan. Terkadang dalam syari’at ini haram dan dihalalkan dalam syari’at yang lain, dan juga sebaliknya.”[8]
Muhammad ibn Ali al-Syaukani berkata, “Makna ayat ini adalah bahwa Alloh menjadikan taurat sebagai syariat bagi pemeluknya, menjadikan injil sebagai syariat bagi pemeluknya, dan menjadikan al-Qur’an sebagai syariat bagi pemeluknya, ini sebelum dihapusnya syariat-syariat terdahulu dengan al-Qur’an. Adapun, setelah adanya nasakh maka tidak ada syariat dan minhaj kecuali apa-apa yang datang dari Muhammad sholallohu’alaihi wasallam.”[9]
Abdurrahman ibn Nasir al-Sa’di menjelaskan, “Rincian syariat yang Alloh subhanahu wata’ala turunkan, berbeda-beda antara satu umat dengan umat lainnya, disesuaikan dengan perbedaan waktu dan keadaan masing-masing umat. Dan semua syariat ini adalah adil ketika dia diturunkan. Meskipun demikian, bagian prinsip dalam syariat, tidak berbeda antara satu umat satu nabi dengan umat nabi lainnya.[10]
Di antara sekian banyaknya syariat seluruh para nabi dan Rasul, ada beberapa syariat yang juga diwajibkan pada umat Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam yaitu shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi, rincian pelaksanaan ibadah tersebut tidak dijelaskan secara detail akan tata caranya, tapi ibadah tersebut memang ada pada umat terdahulu sebelum Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِينَ. وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
“Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah. Masing-masing Kami jadikan sebagai orang-orang yang shaleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami lah mereka selalu beribadah.” (QS. al-Anbiya [21]: 72-73)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ismail yang tersebut di dalam al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Ia menyuruh pengikutnya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (QS. Maryam [19]: 54-55)
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا. وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Berkata Isa ‘Sesungguhnya aku ini hamba Alloh, Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia mewasiatkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam [19]: 30-31)
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)[11]
Demikianlah beberapa contoh perbedaan syariat di antara para nabi. Sekalipun syariat para nabi ada beberapa persamaan, akan tetapi rincian praktek syariat shalat dan zakat tersebut tidak diketahui apakah sama persis seperti syariat yang diterapkan oleh umat Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam ataukah berbeda. Hal ini disebabkan pengetahuan kita tentang syariat umat terdahulu tergantung pada dalil. Jika ada dalil, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah maka kita mengetahuinya dan jika tidak maka kita tidak mengetahuinya.
Contoh syariat lain yang dibolehkan pada nabi lain dan tidak boleh nabi yang lainnya adalah menikahi saudara kandung. Di zaman Nabi Adam alaihissalam dibolehkan menikahi saudara kandung, sedangkan syariat agama Islam sekarang yang dibawa Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam tidak dibolehkan.
Setelah diutusnya Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam maka yang diberlakukan adalah syariat beliau. Seluruh syariat nabi-nabi terdahulu dihapus dengan syariat Islam sekarang. Mengimani Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam adalah bukti keimanan seseorang kepada Alloh subhanahu wata’ala. Siapapun yang mengimani nabi terdahulu seperti dari kalangan Yahudi dan Nashrani namun tidak mengimani Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam dan tidak menerapkan syariatnya maka dia bukanlah orang yang beriman kepada Alloh subhanahu wata’ala.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap semua perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa [4]: 65)
Imam al-Syinqiti dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat ini bahwa Alloh subhnahu wata’ala bersumpah dalam ayat ini dengan diri-Nya sendiri yang Maha Mulia lagi Maha Suci bahwasannya seseorang tidaklah beriman hingga dia menjadikan Rasulnya sholallohu’alaihi wasallam sebagai yang menetapkan hukum di seluruh perkara. Kemudian dia-pun tunduk terhadap hukum tersebut lahir batin, dan menyerahkan dengan sepenuhnya tanpa penolakan dan berlawanan.
Rosululloh sholallohu’alaihi wasllam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Rabb Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, siapa pun juga dari umat ini, baik Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentang aku, kemudian mati dengan tidak mengimani apa-apa yang aku diutus dengannya, maka dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim No.218 dan Ahmad No. 7856)
Hadits ini, secara tegas menyatakan kufurnya seseorang yang tidak mengimani risalah Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam, termasuk umat Yahudi dan umat Nashrani yang mengimani Nabi mereka, jika mereka tidak mengimani Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam maka dianggap kafir karena risalah Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam untuk seluruh umat manusia.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba: 28)
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepada kalian semua.” (QS. Al-A’raf: 158)
Setelah diutusnya Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam maka syariat yang wajib diikuti dan diterapkan adalah syariat yang disampaikan oleh Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam.
FOOTNOTE:
[1] Syekh Shalih ibn Fauzan al-Fauzan membagi syariat menjadi dua yaitu: I’tiqadiyyah dan amaliyah. I’tidiyyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti kepercayaan terhadap rububiyah Alloh dan kewajiban beribadah kepada-Nya, serta keyakinan terhadap hukum-hukum iman lainnnya. Hal ini disebut pokok agama. Sedangkan amaliyah adalah segala yang berhubungan dengan tata cara amal, seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. (Aqidah al-Tauhid)
Pembagian Syekh al-Fauzan tidak bertentangan dengan apa yang dimaksudkan dalam pembahasan bab ini bahwa agama terdiri dari aqidah dan syariat. Hal ini karena maksud i’tiqadiyah adalah masalah aqidah dan amaliyah adalah syariat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini. Allahu a’lam
[2] Lihat, Abdullah ibn Abdil Hamid al-Atsari, Panduan Aqidah Lengkap, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama, 2005, hlm. 27-28.
[3] Nasir ibn Abdul Karim al-Aql, Mujmal Ushul Ahlussunnah wa al-Jama’ah fi al-Aqidah, Cetakan Khusus Markaz al-Jazirah al-Arabiyyah Li al-Dirasah wa al-Buhuts, hlm. 5.
[4] Syekh kami Dr. Ali ibn Muhammad Maqbul al-Ahdal hafidzahullah, menyebutkan beberapa urgensi mempelajari akidah, di antaranya: Pertama, Aqidah adalah tugas utama para nabi dan rasul, Kedua, aqidah merupakan hak Alloh yang Dia wajibkan kepada hamba-Nya, Ketiga, Akidah adalah jalan keselamatan dari Neraka, Keempat, Akidah adalah perkara pertama yang harus didakwahkan, Kelima, Alloh subhanahu wata’ala mengharamkan penyelisihan terhadap aqidah, dan Keenam, Kondisi umat ini tidak akan baik jika tidak mengikuti jejak pendahulunya yaitu kemurnian aqidah. (Lihat, Ali ibn Muhammad Maqbul al-Ahdal dan Abdulhakim ibn Abdullatif, Adwa Ala al-Tsaqafah al-Islamiyah, Shan’a Yaman: Dar al-Quds, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 26-27.)
[5] Muhamad ibn Ali as-Syaukani, Fath al-Qadir, Riyadh: Maktabah ar-Rusd, Cetakan Kelima, 2007, Jilid 1, hlm. 530.
[6] Wahbah ibn Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, Cetakan Kedua, 1985, Jilid 1, hlm. 18.
[7] Abu al-Fida Ismail ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Kuwait: Jam’iyah Ihya al-Turats al-Islami, Cetakan kelima, 2001, Jilid 2, hlm. 917.
[8] Ibid, hlm. 917.
[9] Muhamad ibn Ali as-Syaukani, Fath al-Qadir, Riyadh: Maktabah ar-Rusd, Cetakan Kelima, 2007, Jilid 1, hlm. 530.
[10] Abdurrahman ibn Nasir al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsiri Kalami al-Mannani, Kairo: Dar al-Hadits, Cetakan Pertama, 2002, hlm. 230.
[11] Muhmmad ibn Ali al-Syaukani menjelaskan, “Ahli tafsir berbeda pendapat apa sisi kemiripannya? Ada yang mengatakan kadar dan waktu puasanya, bahwasannya orang-orang Yahudi dan Nashrani telah diwajibkan atas mereka puasa Ramadhan akan tetapi mereka merubahnya. Ada juga yang mengatakan dari sisi kewajiban, bahwa Alloh subhanahu wata’ala telah mewajibkan puasa atas umat-umat terdahulu. Ada juga yang mengatakan: dari sisi sifatnya, yaitu meninggalkan makan minum dan semisal keduanya pada wakktu tertentu.” (Lihat, Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, Riyadh: Maktabah al-Rusd, Cetakan Kelima, 2007, Jilid 1, hlm. 159)