Saudaraku..!! bencana dan bencana tak pernah lepas dari bangsa ini, betapa akrabnya kita dengan bencana: di darat, di laut, di udara sepertinya ibarat orang yang sedang berbalas pantun saja. Belumlah alam yang menunjukkan kekuatannya pada kita. Laut yang menghempaskan daratan yang kita kenal dengan tsunami, gunung memuntahkan isi perutnya, gunung dan hutan yang gundul siap mengirim air bah dan lumpur beserta sampah yang mereka buat dan sungai-sungai menyapu apa yang menghalangi air yang mengalir, belum lagi ketika bumi bergoyang. Kita semua berkeyakinan bahwa apa yang sedang melanda negeri kita adalah musibah dan atas kehendak-Nya, meskipun segala sesuatu yang terjadi melalui perantara fenomena alam dan ulah manusia.
Segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Seorang muslim hendaknya meyakini hal ini dengan seyakin-yakinnya.
Saudaraku, semua bahagia dan bencana telah Alloh Subhanahu wa Ta'ala tetapkan bagi kita bahkan lima puluh ribu tahun sebelum alam dan manu-sia diciptakan semua takdir itu telah Alloh Subhanahu wa Ta'ala tetapkan. Jadi, bagai-mana mungkin kita akan mengelak dari takdir yang telah Alloh Subhanahu wa Ta'ala tetapkan bagi kita.
Sudah berapa besarkah kerugian yang di derita negeri ini? Su-dah berapa banyakkah jiwa yang telah lenyap terhempas badai bencana ini? Bukankah dunia ini hanya sekedar saja? Ya, sekedar singgah, sekedar hidup, sekedar makan. Dunia ini hanya sementara bukan? Jadi jika pun harus tertimpa musibah dan bencana bukankah itu hanya sementara saja bukan? Semua itu memang sebuah ben-cana dan kerugian yang cukup besar. Tapi tidak kah kita berpikir bahwa ada sebuah bencana dan kerugian yang jauh lebih dahsyat dari semua itu?
Di saat Alloh Subhanahu wa Ta'ala sedang memberikan ujianbagi kita untuk bersabar dalam menjalani musibah yang menimpa dan Alloh Subhanahu wa Ta'ala berharap agar manusia hanya meminta kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dengan setulus-tulusnya, justru bencana yang jauh lebih dahsyat menimpa saudara-saudara kita yang sedang di timpa musibah meletusnya gunung Merapi.
Upacara penyembelihan kerbau yang di-lakukan beberapa waktu yang lalu di tugu Yogya yang dinamakan “kuat maheso luwung saji rojosunya”, memperlihatkan kepada kita betapa lemahnya pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya. Ini adalah bencana yang jauh lebih dahsyat di banding letusan gunung merapi itu sendiri.
Kita tahu bahwa orang-orang Musyrikin jahiliyah pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam selalu menyembah sembahan selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala namun mereka melakukan kesyirikan hanya ketika dalam keadaan lapang saja. Namun tatkala mereka dalam keadaan sempit, terje-pit, susah dan ketakutan mereka kembali men-tauhidkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, hanya berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala saja dan melupakan segala sesem-bahan selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala tentang keadaan mereka, “Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia, maka tatkala Dia menyela-matkan kalian ke daratan, kalian berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berteri-ma kasih.” (QS. al-Isra’: 67).
Dan firman-Nya, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Rabb memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Alloh) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: ‘Bersenang-senang-lah dengan kekafiran kalian itu sementara wak-tu; sesungguhnya kalian termasuk penghuni neraka’.” (QS. az-Zumar: 8).
Itulah keadaan Musyrikin zaman dahulu, lalu bagaimana keadaan musyrikin pada zaman kita ini? Ternyata sama saja bagi orang-orang musyrik zaman kita ini, baik dalam waktu lapang ataupun sempit tetap saja mereka menjadikan tandingan-tandingan bagi Alloh Subhanahu wa Ta'ala.
Tatkala punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen dan sembelihan ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Tatkala sesuatu ketika terkena musi-bah, mereka beranggapan bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin penunggu) kampungnya kemudian meminta ampun dan berdoa serta mempersembah-kan sesajen dan sembelihan sebagai korban kepada yang mbaurekso-nya agar menghilangkan musibah itu atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya. Ini adalah bentuk ke-syirikan kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala yang amat nyata. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman,“Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, nusuk/sembelihanku, hidup danmatiku, semuanya adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, sedangkan aku ada-lahorang yang pertama-tama berserah diri.” (QS. al-An’am: 162-163).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bah-wasanya menyembelih dalam rangka ritual tidak boleh ditujukan kecuali untuk Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Ini artinya menyembelih termasuk jenis ibadah, sedangkan menunjukkan ibadah kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala adalah kemusyrikan.
Dalam ayat lainnya, Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan. “Maka lakukanlah sholat dan sem-belihlah kurban untuk Tuhanmu.” (QS. al-Kautsar: 2).
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah…”(HR. Muslim).
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala dalam rangka ritual adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan keharaman yang paling haram, karena hal itu termasuk kemusyrikan. Tidak berhenti di situ saja, daging hewan yang disembelih untuk selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala pun haram untuk dima-kan. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan da-ging hewan yang dipersembahkan untuk selain Allah…”(QS. al-Ma’idah: 3).
Syirik merupakan dosa besar yang palingbesar. Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu Anhu berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah , “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang dalam hidupnya banyak melakukan amal sholeh seperti sholat, puasa, shodaqoh dan lainnya, namun apabila da-lam hidupnya ia berbuat syirik akbar dan be-lum bertaubat sebelum matinya, maka selu-ruh amalnya akan terhapus. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan jika seandainya mereka menyekutukan Allah, maka sungguh akan hapuslah amal yang telah mereka ker-jakan.” (QS. al- An’am: 88).
Begitu besarnya urusan ini, hingga Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya Shalallahu Alaihi wa Sallam , “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi: .” (QS. az Zumar 65).
Para Nabi saja yang begitu banyak amalan mereka diperingatkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala ter-hadap bahaya syirik, yang apabila menimpa pada diri mereka maka akan menghapuskan seluruh amalnya, lalu bagaimana dengan perilaku saudara-saudara kita, yang telah mempersembahkan korban untuk menolak bala dari gunung merapi. Bukankah ini ben-cana yang lebih dahsyat daripada sekedar bencana alam?
Mereka yang tertimpa musibah dan me-lakukan kesyirikan menjadi manusia paling rugi baik di dunia atau pun di akhirat. Bagaimana tidak, setelah mereka Alloh Subhanahu wa Ta'ala uji dengan kesengsaraan di dunia, belum lagi kehi-dupan setelah mati yang lebih menyengsa-rakan dan kekal yang akan mereka hadapi.
Para pelaku syirik akbar kekal di neraka dan dosanya tidak akan diampuni oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala, Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.”(QS. an-Nisa’: 48).
Juga firman-Nya, “Barangsiapa yang mensekutukan Allah, pasti Allah haramkan atasnya untuk masuk surga, dan tempatnya adalah di neraka. Dan tidak ada bagi orang yang dhalim ini seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah: 72).