Rumaisha binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar al-Anshariyyah al-Khazrajiyyah. Atau Ummu Sulaim kita mengenalnya. Siapakah dia?
Beliau adalah seorang wanita yang me-miliki sifat keibuan dan cantik, dirinya di-hiasi pula dengan keikhlasan, ketabahan, kebijaksanan, serta dihiasi pula dengan ke-cerdasan berfikir dan kefasihan serta ber-akhlak mulia, sehingga cerita yang baik senantiasa ditorehkan oleh beliau dan setiap lisan memuji atasnya, dan diantaranya tersebutlah salah satu kisah menakjubkan berikut:
Bersatulah Ummu Sulaim dan Abu Thal-hah dalam mahlagai rumah tangga setelah menjalani kisah menakjubkan dalam proses pertemuannya. Mereka hidup bersama de-ngan kehidupan suami-istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi ke-hidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- memuliakan keduanya dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu ‘Umair.
Alloh swt berkehendak untuk menguji keduanya. Abu Umair sakit, sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid, dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu Mu’minah yang sabar ini meng-hadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ikhlas. Sang ibu membaringkannya di tem-pat tidur sambil senantiasa mengulangi kalimat: “Inna lillahi wa inna ilahi raji`un”. Beliau berpesan kepada anggota keluarga-nya: “Janganlah kalian menceritakan ke-pada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya”.
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayang-nya, kemudian dengan bersemangat me-nyambut suaminya dan menjawab per-tanyaan yang biasa dilontarkan Abu Thal-hah seputar kondisi anaknya: “Apa yang dilakukan oleh anakku?”. Beliau menjawab: “Dia dalam keadaan tenang”.
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau men-dekat karena khawatir mengganggu ke-tenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan ma-lam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan mencam-purinya serta merasa tenang dengan ke-adaan anaknya maka beliau memuji Alloh karena tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala diakhir malam beliau berkata kepada suaminya: “Wahai Abu Thalhah! bagaimana pendapatmu seandainya suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bo-lehkah bagi keluarga tersebut untuk me-nolaknya?”.
Abu Thalhah menjawab: “Ten-tu saja tidak boleh”. Kemudian Ummu Su-laim berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”. Abu Thalhah berkata: “Berarti mereka tidak adil”. Ummu Sulaim berkata: “Sesunggguhnya anakmu titipan dari Alloh dan Alloh telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan mening-galnya anakmu”.
Abu Thalhah tidak kuasa menahan ama-rahnya, maka beliau berkata dengan marah: “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”.
Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja` (Inna lillahi wa inna ilahi raji`un) lalu ber-tahmid kepada Alloh sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinnya beliau pergi meng-hadap Rasulullah dan mengabarkan kapada Rasulullah tentang apa yang terjadi, kemu-dian Rasulullah bersabda:
“Semoga Alloh memberkahi malam ka-lian berdua”. Mulai hari itulah Ummu Su-laim mengandung seorang anak yang akhir-nya diberi nama Abdullah yang langsung ditahnik oleh Rasulullah –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- .
Ubbabah, salah seorang rijal yang men-ceritakan kisah ini berkata: “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal al-Qur`an”. Subhanalloh.
Diantara kejadian lain yang mengesan-kan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin ini adalah bahwa Alloh menurunkan ayat tentang mereka berdua dimana umat manusia dapat beriba-dah dengan membacanya. Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu- berkata:
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak me-miliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, na-mun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda:
“Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Alloh merahmatinya”. Maka ber-dirilah salah seorang Anshar yang nama-nya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Be-rikanlah minuman kepada mereka dan ti-durkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri ter-sebut bermalam dalam keadaan tidak ma-kan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Alloh takjub (atau tertawa) ter-hadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
“Sungguh Alloh takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap ta-mu kalian” .
Di akhir hadits disebutkan: “Maka tu-runlah ayat (artinya): “Dan mereka me-ngutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka me-merlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. al-Hasyr :9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera mem-berikan kabar gembira tersebut kepada is-trinya sehingga sejuklah pandangan mata-nya karena Alloh menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an yang akan senan-tiasa dibaca oleh umat Islam
Begitulah… Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk men-dakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin hingga akhir hayatnya.
Saudariku…
Berkaca dari beberapa kisah Ummu Sulaim di atas, pada akhirnya kita tahu, bahwa ternyata, salah satu kunci kenya-manan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati, bukan dari banyaknya harta atau tingginya jaba-tan. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata ter-amat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu seperti yang telah dicontohkan oleh Ummu Sulaim adalah dimulai dari bagai-mana kita hanya bergantung kepada Alloh dan menjadi Alloh sebagai satu-satunya Zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.