Dalam sorotannya terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia, Dr. Adian Husaini mengungkap, “Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa saat ini sedang terjadi peristiwa yang sangat besar dalam sejarah umat Islam Indonesia. Sebuah peristiwa besar dalam ilmu-ilmu Islam (‘ulūm al-dīn) sedang terjadi. Serbuan Barat dalam ilmu-ilmu Islam sedang berlangsung besar-besaran, dengan dukungan fasilitas dana yang ‘gila-gilaan’ dan sokongan para ilmuwan dalam studi Islam sendiri yang gandrung membuat perubahan dalam keilmuan Islam. Serbuan (invasi) itu telah menjadi kenyataan dan menemukan realitasnya dalam dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia, baik di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), dan Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS). Suasananya menjadi hegemonik. Penerbitan buku-buku dalam studi Islam ala orientalis Barat membanjiri pasaran-pasaran dan menjadi rujukan para mahasiswa bidang studi Islam dalam penulisan makalah, skripsi, tesis atau disertasi mereka.”. *
Dalam tataran realitas, hal tersebut nyata terjadi dalam sebuah fakultas dan jurusan yang notabene seharusnya mengkaji pelbagi ilmu-ilmu keislaman yang paling fundamental (ushūl al-dīn), tepatnya Fakultas Ushuluddin (ilmu-ilmu dasar) dan Jurusan Aqidah Filsafat. Lantas, apa, mengapa dan bagaimana bisa terjadi? Berikut sorotannya:
Sedikit Prestasi “Nyleneh”
Pada September 2004, dalam acara ta’āruf mahasiswa baru di IAIN (kini UIN) Sunan Gunung Jati Bandung, seorang mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dengan mengepalkan tangannya ia berteriak lantang, “Kita berdzikir bersama an–jing hu akbar.”.
Setelah peristiwa itu menuai ber-bagai kritik dan kecaman utamanya dari Forum Ulama Ummat Islam (FUUI), ternyata dalam acara di TV 7, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung justru membela para maha-siswanya yang sangat nyata menghina Alloh tersebut, bahkan dengan dibubuhi ungkapan yang merendah-kan FUUI, bahwa mereka adalah orang-orang yang S2 saja belum lulus![1]
Zuhairi Misrawi, alumnus filsafat al-Azhar Mesir yang pernah mengklaim sholat 5 waktu hukumnya tidak wajib, ternyata pernah mengungkapkan kepada kolega-nya, seandainya ia menjadi ketua MUI, maka akan ia fatwakan bahwa arti musyrik adalah politikus busuk[2], bukan orang-orang yang menyekutukan Alloh .
Sedangkan di antara buku-buku dan karya ilmiah berbahaya dari orang-orang yang mengenyam ilmu di Ushuluddin, maka sangatlah ba-nyak dan disayangkan justru mem-banjiri pasaran ilmiah.
Bagi sebagian orang, sedikit kasus “nyleneh” tersebut di atas mungkin dianggap hanya sebuah kesalahan yang biasa terjadi, atau “bagai angin lalu saja”, namun bila disoroti dengan seksama terlebih bila dicermati, maka sesungguhnya itu merupakan kerusakan ilmu agama yang disistematiskan ke dalam kurikulum dan materi pendi-dikan agama untuk mahasiswa IAIN/UIN atau perguruan tinggi Islam lainnya[3], sehingga mereka yang belajar ushuluddin justru dikhawatirkan malah “uculuddin” (agamanya ucul, bahasa Jawa yang berarti lepas) [4], yaitu lepas dari ikatan agama menuju kemur-tadan. Na’udzū billah min dzālik!.
Akibatnya, meminjam istilah Hartono Ahmad Jaiz, pendidikan Islam telah diselewengkan, akhirnya malah memuluskan pemurtadan[5] dan melahirkan cendekiawan diabolik, yaitu intelektual yang bermental Iblis, seperti diistilahkan oleh Dr. Syamsud-din Arif. [6]
Antara Aqidah, Filsafat dan “Filsafat Islam”
Sorotan utama terhadap Jurusan Aqidah Filsafat di Fakultas Ushuluddin harus dimulai dan diurai dari tiga terma penting yang seringkali disino-nimkan, atau tidak pernah digubris sama sekali, yaitu term aqidah, filsafat dan filsafat Islam.
Menurut Ibrāhīm ibn Muhammad al-Buraikān, aqidah berarti “al-īmān alladzī lā yahtamilu al-naqīdh” (keimanan atau keyakinan yang tidak mengandung keraguan). Bila telah menjadi sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu akidah, menurutnya berarti “al-’ilm bi al-ahkām al-syar’iyyah al-’aqadiyyah al-muktasab min al-adillah al-yaqīniyyah wa radd al-syubuhāt wa qawādih al-adillah al-khilāfiyyah” (ilmu tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aspek keyaki-nan yang bersumber dari dalil-dalilnya yang meyakinkan, juga tentang metode menolak kerancuan dan kecacatan dalil-dalil yang menyelisihi-nya).[7]
Sedangkan filsafat yang berasal dari kata Yunani, menurut John Dewey haruslah dipandang sebagai suatu alat untuk membuat penyesuaian-pe-nyesuaian di antara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan. Atau didefinisikan dengan pengertian lainnya yang beragam yang melahir-kan persoalan tersendiri yang mem-bingungkan.[8] Sedangkan menurut Ibn al-Qoyyim , sebagaimana dinukil oleh Muhammad Maghfur W, filsafat adalah term (istilah)yang digunakan untuk menyebut paham (isme) selain agama para nabi, atau ajaran yang bersumber dari akal murni, dimana orang yang menekuninya disebut falasifah. Namun ulama muta’akhkhir hanya memakai term tersebut dengan konotasi paham Aristoteleanisme dan pengikutnya, atau kaum Peripatetis (masysyā’iyyūn).[9] Dan Plato sendiri memang mendefinisikan filsafat sebagai upaya maksimal untuk menyerupai Tuhan dengan menggunakan ke-mampuan manusia[10], yang kemudian disetujui oleh sekelompok filosof yang bergerak di bawah tanah dan konsisten menjaga kerahasiaannya, yaitu Ikhwān al-Shofā.[11]
Adapun term filsafat Islam, seba-gian mendefinisikannya sebagai “filsafat yang berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis, radikal, univer-sal dan komprehensif, rasional serta bertanggung jawab[12].[13]
Dari definisi tersebut di atas, seharusnya dipahami betul bahwa filsafat dengan aqidah Islam sangat jauh berbeda, sama sekali tidak ada kesamaannya dan bahkan sangat bertentangan. Demikian pula antara aqidah Islam dengan yang diklaim sebagai filsafat Islam, baik dalam pemakaian terma, substansi, objek-tifitas maupun dalam sejarahnya.
Secara historis, filsafat Islam mun-cul belakangan dikarenakan hegemoni pengaruh Yunani. Sementara itu, orang pertama yang diklaim sebagai pihak yang memprakarsai filsafat Islam dijadikan sebagai diskursus resmi dan dipelajari sebagai sebuah disiplin ilmu adalah Mushthofa ‘Abd al-Roziq, salah seorang Syaikh al-Azhar yang gandrung kepada filsafat.[14]
Pada hakekatnya didalam Islam tidak terdapat filsafat Islam. Bahkan para ulama mengharamkan belajar ilmu filsafat.
Quo Vadis Jurusan Aqidah Filsafat?
Kini, di antara mata kuliah (MK) yang diajarkan dan diampu sebagai “mata kuliah andalan” di Jurusan Aqidah Filsafat adalah MK “Kajian Orientalisme terhadap al-Qur’an dan Hadits” dan MK “Hermeneutika dan Semiotika”, yang bila disorot dengan cermat sangat berbahaya dan bertolak belakang dengan ilmu-ilmu agama Islam.
- MK “Kajian Orientalisme terhadap al-Qur’an dan Hadits”; (1) tujuan: mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis ter-hadap al-Qur’an dan Hadits; (2) topik inti: a. Pengertian dan ruang lingkup, b. Sejarah perkembangan orientalis dari awal sampai sekarang, c. Kritik terhadap orientalisme I: Edward Said, d. Kritik terhadap orientalisme II: Hasan Hanafi, e. Kajian al-Qur’an, f. Kajian Hadits, g. Kajian hukum, h. Kajian kalam, i. Kajian filsafat, science dan atau sufisme, j. Kajian masyarakat dan negara, k. Kajian sejarah dan peradaban, dan l. Kajian tokoh muslim; dan (3) referensi: karya Mohammed Arkoun, Norman Cadler, Kenneth Cragg dan Farid Essack.
- MK “Hermeneutika dan Semiotika”[15]; (1) tujuan: mahasiswa dapat men-jelaskan dan menerapkan ilmu heremeneutika dan semiotika ter-hadap kajian al-Qur’an dan Hadits; (2) topik inti: a. Pengertian dan ruang lingkup serta topik lain yang terkait, b. Hermeneutika F. Schleiematcher, c. Hermeneutika Hans G. Gadamer, d. Hermeneutika Jurgen Habermas, e. Hermeneutika Paul Ricour, f. Pengertian dan Sejarah Semiotika Modern, g. Semiotika Ferdinand de Saussure, h. Semiotika Charles Sanders Peirce, i. Semiotika Umberto Uco, dan j. Semiotika Roland Barthes; dan (3) referensi: karya Josef Bleicher, Umberto Eco dan H.G. Gadamer.
Dari deskripsi kedua mata kuliah tersebut di atas, selain sebagai mata kuliah “asing” yang nyata sekali ber-tentangan dengan Islam, tujuan, topik inti dan referensinya jelas-jelas “tidak berbau Islam” sama sekali, bahkan kentara “orientasi-orientalis”nya.
Akibat Silau Belajar ke Barat = Merambah Belantara Filsafat, Berpaling dari Kemurnian Aqidah
Satu hal yang pasti atau dapat dideteksi kepastiannya, bahwa “kega-duhan” dan “kekacauan” yang ditim-bulkan oleh “kenyelenehan” sebagian alumnus Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat adalah karena semakin banyaknya kader dari kalangan kaum Muslimin yang telah tercuci otaknya, sebagai hasil dari pendidikan mereka di negara Barat[16], dimana Perguruan Tinggi Islam sendiri memang sudah lama menjadi target mereka, khususnya ketika Barat membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat[17].[18] Khususnya ditujukan kepada dosen-dosen IAIN /UIN dan PTI lainnya, tujuan semula adalah untuk belajar metodologi berfikir.[19]
Walaupun memang tidak secara mutlak belajar ke Barat diharamkan. Namun, selain telah memiliki keya-kinan dan pemahaman Islam yang kuat serta mengetahui detail trik dan tipu daya Barat atau orientalis, mereka yang belajar ke Barat juga sepatutnya memiliki “agenda dan tujuan yang jelas” pula[20], bukan “asal berangkat” atau hanya untuk “gagah-gagahan”.
Karena bila tidak, maka kajian ilmu-ilmu ushuluddin dan aqidah akan semakin jauh tercampakkan, sedang-kan ilmu filsafat dan derivasi turunan-nya justru semakin semarak, seperti yang sekarang berkembang, misal mata kuliah Filsafat Umum, Filsafat Pen-didikan, Filsafat Ilmu, Filsafat Islam, Epistemologi Islam, Filsafat Pendidi-kan Islam, Filsafat Hukum Islam dan lainnya, dan dikhawatirkan justru akan semakin bertambah daftar panjangnya.
Semoga kekacauan ilmu ini tidak berlangsung lama dan segera terentaskan. (Admin-HASMI).
Allahumma arinā al-haqq haqqan wa-rzuqnā ittibā’ahu, wa arinā al-bāthil bāthilan wa-rzuqnā ijtinābahu.
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.
.:: Referensi
* Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm. 27.
[1] Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 58-63.[2] Ibid., hlm. 86.
[3] Lihat Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam, hlm. 98.
[4] Lihat Husaini, “Belajar Ushuluddin Malah ‘Uculuddin’”, dalam Majalah Hidayatullah, tahun XIX no. 3, edisi Juli 2006, hlm. 92.
[5] Lihat Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, hlm. 21-31.
[6] Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 143-147.
[7] Ibrāhīm ibn Muhammad al-Buraikān, al-Madkhal li Dirāsah al-’Aqīdah al-Islāmiyyah ’alā Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, Khabar: Dār al-Sunnah dan Kairo: Dār Ibn ’Affān, 1997, hlm. 13.
[8] Lihat Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 1-4.
[9] Lihat Muhammad Maghfur W., Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Pustaka al-Izzah, 2002, hlm. 59.
[10] ‘Abd al-Rahmān ibn Mahmūd Namūs, al-Shūfiyyah baina al-Dīn wa al-Falsafah, Alexandria: Dār al-Īmān, 2008, hlm. 111.
[11] ‘Abd al-Rahmān ibn Mahmūd Namūs, al-Shūfiyyah baina al-Dīn wa al-Falsafah, Alexandria: Dār al-Īmān, 2008, hlm. 111.
[12] Lihat Ibid., hlm. 112.
[13] Senada dengan definisi filsafat, definisi filsafat Islam juga merupakan hal yang problematik, seperti yang diakui oleh Seyyed Hossein Nasr, pengkombinasi ajaran Islam dengan ajaran Syi’ah dan filsafat. Lihat Nasr dan Oliver Leaman, et.al., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, Bandung: Penerbit Mizan, 2003, hlm. 29-35.
[14] al-Nadwah al-‘Ālamiyyah li al-Syabāb al-Islāmī, al-Mausū’ah al-Muyassarah fī al-Adyān wa al-Madzāhib wa al-Ahzāb al-Mu’āshirah, ed. Māni’ ibn Hammād al-Juhnī, Riyadh: Dār an-Nadwah al-‘Ālamiyyah, 1418 H, vol. 2, hlm. 1121.
[15] Untuk mengetahui lebih mendalam tentang hermeneutika dan semiotika serta bantahannya, lihat Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif, 2010.
[16] Lihat Manshūr ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Khirrījī, al-Ghazw al-Tsaqāfī li al-Ummah al-Islāmiyyah: Madhīhi wa Hādhiruhu, Riyadh: Dār al-Shamai’ī, 1420 H, hlm. 154-155.
[17] Lihat Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Usamah Press, 2003, hlm. 6-11.
[18] Kajian menarik tentang sejarah kelam dan tujuan rahasia dari pengiriman pelajar dan mahasiswa Muslim ke Barat, liha: ‘Āthī bin ‘Athiyyah al-Juhnī, Min Salbiyyāt al-Ibti’āts (Min Rasā’il al-Da’wah), Kairo: Mathābi’ Ibnu Taimiyyah, 1998, hlm. 61-107.
[19] Seperti yang diakui oleh Prof. Dr. Rasyidi. Lihat Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, hlm. 56.
[20] Lihat Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm. 280-281.