SOMALIA SEJARAH PANJANG PENERAPAN SYARI’AH ISLAM YANG PENUH BERKAH (Oleh: Ganjar Wijaya)

SOMALIA SEJARAH PANJANG PENERAPAN SYARI’AH ISLAM YANG PENUH BERKAH

Oleh: Ganjar Wijaya

Somalia (Soomaaliya, As-Sumal) adalah Negara yang berada di pesisir Afrika Timur. Somalia memperoleh kemerdekaan dari Inggris dan Italia pada 1 Juli 1960. Negara berpenduduk sekitar 9 juta jiwa ini secara de facto terpecah-belah dan diperintah oleh para panglima perang yang sulit dikontrol. Somalia terbagi atas negeri-negeri kecil berdasarkan suku. Pemerintahan transisi pimpinan Presiden Abdullahi Yusuf Ahmad dan Perdana Menteri Ali Muhammad Ghedi tidak diakui seluruh rakyat.

Sejak November 1991 negara tersebut tak memiliki sebuah pemerintahan yang diakui oleh seluruh rakyatnya. Negara ini pun terus dilanda kekacauan dan perang antar suku. Pemerintah sementara (Transitional Federal Government) yang dibentuk tahun 2004, hasil perundingan antara faksi-faksi Somalia di Kenya, tidak bisa efektif dan lemah.

Sekalipun demikian, pada tahun 1991–1993, Somalia pernah sangat populer ketika pasukan Amerika Serikat (AS) menginvasi negeri itu. AS berusaha menangkap “panglima perang” (warlord) Muhammad Farah Aidid yang berkuasa secara de facto di Somalia dan menolak kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayahnya. Pasukan AS terpaksa hengkang dengan kehinaan karena tidak sanggup mengatasi perlawanan Muslim Somalia yang setia kepada Aidid, bahkan 19 serdadunya tewas.

AKHIRI KRISIS

Kondisi peperangan antar suku yang terus berlangsung mendorong sejumlah ulama dan tokoh Islam Somalia bergabung dan mendirikan Ittihad Al-Mahakim Al-Islamiyya atau Persatuan Mahkamah Islam (Union of Islamic Court, UIC) tahun 2003. Dipimpin Syekh Syarif Syeh Ahmad, UIC berusaha menghentikan krisis berkepanjangan di negeri berpenduduk mayoritas Muslim itu dengan menerapkan syariat Islam. Bagi UIC, hanya Islam yang bisa menyatukan Somalia.

UIC, berbasis di utara ibu kota Mogadishu, berusaha mengem­balikan ketertiban dan syariah Islam di kota yang marak dengan tindakan anarki, setelah mantan Presiden Mohamed Siad Barre digulingkan tahun 1991. UIC menguasai seluruh bagian ibu­kota pada Juni 2006 dengan mengusir para kepala suku berhaluan sekuler pro-Amerika. UIC men­jalankan hukum Islam dan mem­berikan bantuan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.

UIC terdiri dari berbagai kelompok Islam di Somalia. Rakyat Somalia menyambut baik kehadiran UIC dan mulai merasa akan keberkahan dari penerapan syari’at tersebut. “Akhirnya kami melihat berakhirnya pembunuhan warga sipil dan perampokan terhadap rumah-rumah mereka,” kata Amina, aktivis kemanusiaan di selatan Mogadishu. Ia menam­bahkan, “Toko-toko yang menjual narkotika juga sudah ditutup.”

Warga di kota-kota besar se­perti Mogadishu, Jowhar, dan Balad mengatakan, transportasi kini lebih lancar, bisnis mulai meng­geliat, dan senjata-senjata sudah tidak terlihat lagi di jalan-jalan. “Kami akhirnya menikmati situa­si yang aman dan stabil,” kata Ali Mayo, seorang warga Mogadishu pada situs Islamonline.

Rakyat Somalia berhak mera­sa lega karena sudah terbebas dari penindasan para panglima perang. Para panglima perang yang ter­desak itu kemudian bergabung dalam “Aliansi untuk Pemulihan Perdamaian dan Antiterorisme” (Alliance for the Restoration of Peace and Counter-Terrorism, ARPCT), sebuah persekutu­an para panglima perang yang didukung oleh Amerika Serikat. Pada awal bulan Juni 2006, UIC berhasil mematahkan kekuatan ARPCT lewat per­tempuran sengit yang menyebab­kan lebih dari 350 orang tewas.

Parlemen Somalia menegas­kan, UIC adalah buah dari reali­tas sosial yang telah mengalami situasi kacau selama lebih dari 15 tahun.

AMERIKA MENGHADANG

Amerika, seperti biasa, tidak “ikhlas” menerima dan mengerut­kan keningnya atas perkembang­an Somalia ini. Mereka menco­ba mengutak-atiknya sedemikian rupa dengan metode licik yang sering mereka gunakan. Maka kini kondisinya kembali tidak menentu setelah militer Ethiopia, atas dukungan Amerika Serikat (AS), membantu pasukan peme­rintah Somalia memerangi milisi UIC. Pasukan UIC terdesak dan kini bersembunyi untuk mengatur kembali strategi perangnya me­lawan pasukan pemerintah yang didukung Ethiopia dan AS. Mi­liter AS bahkan sudah melakukan serangan udara atas Somalia, se­perti pernah dilakukan tahun 1993, dengan dalih menghancurkan “ba­sis teroris” di Somalia.

AS dan negara-negara te­kec Somalia sangat cemas akan berkembangnya kekuatan UIC. Mereka mengkhawatirkan pengaruh kekuasaan Islam melua­ske seantero Afrika, utamanya Ethiopia (Habsyah atau Habsyi yang menjadi tujuan hijrah per­tama umat Islam). Milisi Islam pun menyerukan jihad untuk me­lawan pasukan Ethiopia. Organ­isasi Konferensi Islam (OKI) turut bicara dengan menuntut tentara Ethiopia agar segera keluar dari Somalia.

AS sejak lama melancarkan taktik klasiknya untuk melemah­kan UIC, yakni dengan menudu­hing pimpinan UIC terkait dengan kelompok Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.

UIC kini dipimpin oleh Syekh Hassan Thahir Uweis, orang yang selama ini dicari oleh AS karena dituduh punya ikatan dengan “teroris”. Syekh Uweis menganjurkan pemerintahan Is­lam yang ketat. Ia menggantikan Syekh Syarif Syeh Ahmad yang berpandangan lebih moderat. AS memasukkan Syekh Uweis da­lam daftar yang dicurigai sebagai kolaborator Al-Qaida.

Para pemimpin UIC sendi­ri tidak mengakui adanya kaitan dengan Al-Qaida. Mereka men­gatakan hanya tertarik untuk mengembalikan hukum dan tata di Somalia. “Kelompok mana pun yang tidak sejalan dengan keinginan AS, dalam versi AS, mereka adalah teroris. AS tidak mau membiarkan rakyat negara mana pun menentukan keinginan­nya sendiri,” kata Syekh Uweis

PERANG PANJANG

Gabungan pasukan Soma­lia dan Ethiopia kini menguasai Mogadishu dan berhasil merebut tempat-tempat yang sebelumnya dikuasai oleh UIC. Namun perang tampaknya akan terus berlanjut. UIC sedang konsolidasi kekuatan untuk melakukan apa yang mereka sebut “perang panjang”. Kekuatan mereka berkisar antara 2.000–5.000 pejuang militan. Se­orang pejabat senior UIC, Umar Idris, mengatakan, saat ini terlalu dini untuk berbicara tentang kekalahan. “(Perang) Ini belum ber­akhir. Saat ini masih amat sangat dini untuk mengatakan pasukan Mahkamah Islam kalah,” katanya.

Salah satu anggota milisi pro Mahkamah Islam, Fuad Ahmad mengatakan, “Ini adalah perjuang­an Islam yang panjang. Dan akan terus dilakukan sampai semua wilayah Somalia bisa menjalani hukum syariat Islam. Kami siap mengorbankan darah kami, agar perjuangan ini bisa berhasil.”

Sampai saat ini, Somalia masih berkecamuk dengan ko­baran api jihad, namun satu hal yang pasti, bahwa rakyat Somalia adalah rakyat Muslim yang tidak ingin ada alternatif lain bercokol di tempat kelahiran mereka, ke­cuali satu, yaitu hukum Alloh yang penuh berkah dan abadi. (Sumber: eramuslim.com; alhikmahonline.com; wikepe­dia.com, dan berbagai sumber lainnya)

Sumber : Materi Majalah INTISARI HASMI Vol. 0006 Rubrik Jihad Kontemporer

Check Also

KHALID BIN AL-WALID / Ia Tidak Pernah Tidur dan Tidak Membiarkan Seorang pun Tidur

KHALID BIN AL-WALID Ia Tidak Pernah Tidur dan Tidak Membiarkan Seorang pun Tidur Jalan hidup …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot
situs slot