SALAMAH BIN AL-AKWA’/Prajurit Infanteri yang Gagah Berani

1 Jan 2024Redaksi Headline

SALAMAH BIN AL-AKWA’
Prajurit Infanteri yang Gagah Berani

 

Putranya lyas bermaksud menyimpulkan keutamaan ayahnya dalam suatu kalimat singkat, “Ayahku tidak pernah berdusta.” Untuk mendapatkan kedudukan tinggi diantara orang-orang saleh dan berbakti, cukuplah bagi seseorang dengan memiliki sifat ini. Salamah bin Al-Akwa telah memilikinya sehingga ia pantas mendapatkan keutamaan itu.

Salamah merupakan salah satu di antara pemanah ulung bangsa Arab yang tidak banyak jumlahnya. la juga tergolong petarung yang gagah berani, di samping memiliki sifat murah hati dan gemar berbuat kebajikan. Ketika ia menyerahkan dirinya kepada Islam, ia benar-benar berserah diri secara jujur dan bertaubat. Islam menempanya dalam kekhusyukan ibadah yang agung.

Salamah bin Al-Akwa’ termasuk tokoh Baiat Ridhwan. Pada tahun 6 H, ketika Rasulullah ﷺ bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan tujuan berziarah ke Ka’bah dan dihalangi oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah ﷺ mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan perjalanan beliau hanyalah untuk berziarah dan bukan untuk berperang.

Saat menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima baiat dari sahabatnya seorang demi seorang untuk siap mati. Berkaitan dengan kisah ini, Salamah menuturkan, “Aku berbaiat kepada Rasulullah di bawah pohon untuk siap mati, namun kemudian aku menyingkir.”

Ketika yang akan berbaiat hanya tinggal sedikit. Rasulullah bertanya, “Wahai Salamah, mengapa engkau tidak ikut berbaiat?”

“Aku telah berbaiat, wahai Rasulullah.”

“Ulangilah kembali”

“Maka aku mengulangi baiat tersebut.”

Salamah telah memenuhi isi baiat itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebelum baiat itu, yakni sejak ia mengucapkan “Asyhadu alla llaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, la pernah mengatakan, “Aku berperang bersama Rasulullah ﷺ sebanyak tujuh kali dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali.”

Salamah terkenal sebagai prajurit infanteri. la jago dalam memanah dan melemparkan tombak. Strategi perang yang ia terapkan mirip dengan strategi perang gerilya yang kita kenal sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi, bila mereka kembali atau berhenti untuk beristirahat, ia menyerang mereka tanpa ampun.

Dengan siasat seperti ini, ia seorang diri mampu menghalau kekuatan yang menyerang pinggiran Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishn Al-Fazari dalam suatu peperangan yang disebut perang Dzu Qarad. la pergi membuntuti mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya Nabi ﷺ menyusul dengan membawa bala bantuan yang terdiri dari sejumlah sahabat. Pada hari itulah Rasulullah ﷺ menyatakan kepada para sahabatnya, “Prajurit pejalan kaki kita yang terbaik ialah Salamah bin Al-Akwa’.”

Tidak pernah Salamah berhati kesal dan merasa kecewa kecuali ketika saudaranya yang bernama Amir bin Al-Akwa gugur dalam Perang Khaibar. Ketika itu Amir bersyair dengan suara keras di hadapan tentara Islam:

Ya Allah, kalau bukan karena-Mu, kami tidak akan mendapat hidayah

Kami tidak akan bersedekah dan tidak pula shalat

Karena itu, turunkanlah ketenangan kepada kami

Teguhkanlah kaki-kaki kami saat bertemu musuh

Dalam peperangan itu Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Namun, pedang yang digenggamnya itu mental dan terbalik hingga menghujam ke ubun ubunnya yang menyebabkan kematiannya. Beberapa orang Islam berkata, “Kasihan Amir la terhalang mendapatkan kesyahidan.”

Ketika itulah Salamah merasa sangat kecewa, la menyangka seperti sangkaan sahabat-sahabatnya bahwa saudaranya itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan kesyahidan karena ia telah bunuh diri tanpa sengaja. Namun, Rasul yang pengasih itu segera mendudukkan perkara di tempat ketika Salamah datang kepadanya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, betulkah pahala Amir gugur?”. Rasulullah menjawab, “la gugur bagai mujahid dan ia mendapatkan dua pahala. Ia sekarang sedang berenang di sungai sungai surga.”

Kedermawanan Salamah tidak bisa dilukiskan ketika ada yang meminta hartanya karena Allah. Bahkan, seandainya ada seseorang yang meminta hidupnya karena Allah, ia pasti memberikannya. la tidak akan ragu-ragu untuk menyerahkannya. Orang-orang telah mengetahui itu. Biasanya, bila seseorang ingin permintaannya berhasil, ia akan mengatakan kepadanya, “Aku memohon kepada atas nama Allah.” Mengenai ini Salamah pernah berkata, “Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapa lagi kita akan memberi?”

Ketika Utsman dibunuh, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyulut kaum muslimin. Salamah adalah seorang yang telah menghabiskan usianya untuk berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya. Ia tidak sudi berperang menghadapi saudara seagamanya. Benar, seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik tidaklah pada tempatnya menggunakan keahliannya itu untuk membunuh orang- orang beriman. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah dan berangkat menuju Rabdah, yaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah hingga akhir hayat.

Di Rabdah inilah Salamah menghabiskan sisa hidupnya, hingga suatu hari di tahun 74 H, hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Ja akhirnya berangkat untuk melepaskan kerinduannya itu. la tinggal di Madinah satu dua hari dan pada hari ketiga ia pun wafat. Demikianlah, rupanya tanahnya yang tercinta dan lembut itu memanggilnya untuk merangkulnya ke dalam pelukannya dan memberikan naungan baginya bersama sahabat-sahabat yang diberkahi, para syuhada, dan orang orang saleh.

(Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Karya Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : Ummul Qura)