Suatu ketika Abu Hanifah [rahimahu] menjumpai Imam Malik [rahimahu] yang tengah duduk bersama para sahabatnya. Setelah Abu Hanifah [rahimahu] keluar, Imam Malik [rahimahu] menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukan kalian, siapa dia?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya dijadikan rujukan orang sebagai argumen.”
Tidaklah berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik [rahimahu] dalam menggambarkan diri Abu Hanifah [rahimahu], sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wawasannya.
Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik , “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan argumentasinya untuk membela kebenaran?
Sebagai bukti, ada seorang dari Kuffah yang disesatkan oleh Alloh [swt]. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan [ranhu] asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah [rahimahu] bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluan–nya wahai Abu Hanifah . Akan tetapi, siapakah peminang itu?” Beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu ruku’ dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Alloh [swt].”
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja yang Anda sebutkan sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah [rahimahu] berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya, “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Alloh aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”
Lalu Abu Hanifah [rahimahu] berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan kerasnya, tapi engkau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rosululloh telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman yang telah engkau tuduh sebagai Yahudi)?”
Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Astaghfirulloh, aku memohon ampun kepada Alloh atas kata-kata buruk yang aku katakan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”
Diadaptasi dari Dr. Abdurrohman Ro’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka at-Tibyan, 2009), hlm. 406-416.
(Red-HASMI/IH/Mus’ab)