Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang menjadikan syariat untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-mudahan sampai kepada kita selaku ummatnya. Aamiin…
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mensyariatkan ‘udhiyah (berkorban) sebagai sarana untuk bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai kemurahan untuk umat manusia pada hari raya. Allah telah memerintahkan kepada bapak para Nabi, Ibrahim ‘alaihis salam supaya menyembelih anaknya, Ismail. Lalu beliau menyambut perintah Allah subhanahu wata’ala tanpa ragu. Karenanya Allah Ta’ala memberikan ganti dari langit sebagai tebusan bagi anaknya, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shafat: 107). Sejak saat itulah, umat manusia menyembelih hewan ternak dalam rangka melaksanakan perintah Allah Ta’ala dengan mengalirkan darah. Dan berkurban merupakan amal ketaatan yang sangat utama.
Kemudian sunnah ini diperintahkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau telah melaksanakannya. Diriwayatkan dalam Shahihain, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkurban dua ekor domba yang putih dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan kedua tangannya sambil menyebut nama Allah dan bertakbir serta meletakkan kakinya di samping lehernya.”
Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, sanadnya hasan).
Sudah selayaknya setiap muslim bersemangat dalam mengikuti sunnah Nabinya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk berkurban. Semoga dengan demikian, dia akan menjadi orang yang mendapatkan kecintaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
.:: Hukum Berkurban Bagi yang Mampu
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban bagi yang mampu, antara wajib dan sunnah mu’akkadah. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat, berkurban hukumnya sunnah mu’akkadah. Meninggalkannya, padahal mampu, termasuk sikap yang dibenci (makruh).
Sebagian ulama yang lain berpendapat hukumnya wajib bagi setiap keluarga muslim yang mampu melaksanakannya. Hal tersebut didasarkan kepada firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang telah menyembelihnya sebelum shalat, hendaknya dia mengulanginya.” (Muttafaaq ‘alaih)
Sikap yang paling selamat yang selayaknya diambil seorang muslim, tidak meninggalkan berkurban ketika mampu, karena melaksanakan berkurban merupakan sikap yang melepaskan dirinya dari tanggungan dan tuntutan. Dan keluar darinya adalah lebih selamat. Sedangkan bagi yang tidak mampu, tidak memiliki harta kecuali sekedar mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, maka berkorban tidak wajib atas mereka. Sedangkan siapa yang memiliki tanggungan hutang, maka selayaknya mendahulukan pembayaran hutang atas berkurban. Karena melepaskan diri dari beban tanggungan ketika mampu hukumnya wajib.
.:: Berhutang Untuk Berqurban
Meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena dia tidak termasuk yang memiliki kelapangan dan juga kedudukan hutang jauh lebih penting.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan. Syaikh al-Albani juga menghassankannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/53)
Hutang juga bisa menjadi sebab seseorang terhalang dari masuk surga, diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ada seseorang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Bagaimana menurutmu ya… Nabiyallah, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya.” Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggilnya. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim)
Dan dalam hadits lain dari Muhammad bin Jahsy, dia berkata, “Kami pernah duduk di tempat jenazah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau mengangkat pandangannya ke langit lalu meletakkan telapak tangannya di dahinya sambil bersabda, “Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah subhanahu wata’ala dalam urusan utang-piutang?” Kami diam dan meninggalkan beliau. Keesokan harinya kami bertanya, “Ya Rasulullah, perkara keras apa yang telah turun?” Beliau menjawab, “Dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk Surga sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.” (HR. Al-Nasa’I dan al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Sementara syaikh al-Albani menghassankannya dalam Ahkam al-Janaiz, hal. 107)
Sedangkan bagi orang yang memiliki jaminan untuk membayarnya seperti gaji tetap atau semisalnya, maka dia dibolehkan berhutang dan berkurban. Sementara orang yang tidak memiliki jaminan untuk membayarnya, maka janganlah dia berhutang supaya tidak membebankan pada dirinya dengan sesuatu yang tidak diwajibkan seperti kondisinya saat ini. Wallahu Ta’ala A’lam. (Admin-HASMI/v).