Hak Asuh Anak Dalam Islam

Pertanyaan:
Jika mantan istri tidak mau menyerahkan anak yg sudah berusia 7 tahun? apa tindakan yg bisa dilakukan ayah dari anak tersebut (mantan suami)?
Catatan: mantan Istri sudah menikah lagi

Helmi

Jawaban:
Ibu adalah orang  yang paling berhak dalam masalah hak asuh dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

 “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah”. (HR Ahmad) Dawud (2276) dan al Hakim (2/247).

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak).  Dari hadits ini juga ditetapkan batasan hak asuh, seorang ibu (mantan istri), yaitu setelah mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain.

Jadi dalam kasus yang anda tanyakan, jelas sudah ketika mantan istri sudah menikah lagi, maka seharusnya hak asuh beralih ke bapak dari anak tersebut.

Atau seandainya sang anak adalah anak laki-laki dan sudah berakal bisa membedakan baik dan buruk (Mumayyaiz),  maka sang anaklah yang menentukan dia mau ikut ayahnya atau ibunya.

Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhu membuat satu ungkapan yang indah: “Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)”.

Demikian juga  keputusan yang telah diambil oleh Khalifah ‘Umar dan ‘Ali. Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rosululloh. Ia mengadu, “Suamiku ingin membawa pergi anakku,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: “Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!” Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.  [HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).]

Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).

Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbulkan hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya.
Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya,  yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putri)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.

Demikian yang bisa kami jawab, semoga bisa menjadi  gambaran bgaimana syari’at memberikan batasan-batasan terkait masalah hak asuh. Dan bagaimana seharusnya menentukan sikap, tentu dengan sangat memperhatikan kemaslahatan tumbuh kembang  dan pembinaan agama  anak tentunya. Wallohu’alam

Check Also

ANCAMAN MENINGGALKAN SHOLAT

ANCAMAN MENINGGALKAN SHOLAT Meninggalkan sholat merupakan dosa besar di dalam Islam. Orang-orang yang meninggalkan sholat, …

One comment

  1. Assalam.wr.wb.Berapa besar hak asuh seorang ibu kepada anaky tetapi ibuy telah menikah lagi,pakah ga da hak asuh lagi,trims

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *