Bila Kyai di Pertuhankan

24 Jun 2010Redaksi Budaya Munkar

Fanatik terhadap kyai, ulama, atau ustadz memang telah mendarah dagingdalam tubuh umat ini. Yang jadi masalah bukanlah sekedar mengikuti pendapat orang yang berilmu. Namun yang menjadi masalah adalah ketika pendapat para ulama tersebut jelasjelas menyelisihi alQur’an danasSunnah tetapi dibela matimatian. Yangpenting kata mereka ‘sami’na wa atho’na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap kami dengar dan kami taat). Entah pendapat kyai tersebut merupakan perbuatan menyelesihi perintah Rosululloh shalallohu alaihi wa sallam   yang mengandung syirik atau bid’ah, “yang penting” kata mereka “kami tetap patuh kepada guruguru kami”.

Fanatik terhadap kyai, ustadz, atau ulamabahkan kelompok tertentu telah terjadi sejak dahulu, seperti yang terjadi di kalangan para pengikut madzhab (ada 4 madzhab yang terkenal di Indoneia yaitu Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’i). Di mana para pengikut madzhab tersebut mengklaim bahwa kebenaran hanya pada pihak mereka sendiri, sedangkan kebathilan adalah pada pihak (madzhab) yang lain.

Banyak dari umat Islam saat ini, apabiladikatakan kepada mereka, “Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman” atau kita sampaikan “Rosululloh  telah bersabda …”, mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …”. Apakah mereka belum pernah mendengar firman Alloh subhanahu wa ta’ala (yang artinya), “Haiorangorang yang beriman, janganlah kalianmendahului Alloh subhanahu wa ta’ala dan RasulNya” (QS. AlHujurot : 1)? Yaitu janganlah kalian mendahulukan perkataan siapapun dari perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala dan RosulNya.

Dan perhatikan pula ayat selanjutnya dari surat ini. Alloh subhanahu wa ta’ala l berfirman:

“Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. AlHujurot : 2).

Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam I’lamul Muwaqi’inmengatakan, “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rosul saja dapat menyebabkan terhapusnya amalan mereka. Lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan di atas ajaran Rosul?Bukankah ini lebih layak sebagai penghapus amalan mereka?“

Ibnu ‘Abbas rodhiallohu ‘anhu mengatakan, “Hampirsaja kalian akan dihujani hujan batu dari langit. Aku katakan, ‘Rosululloh bersabda demikiandan demikian,lantas kalian membantahnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakardan Umar berkata demikian’.“(HR. Ahmad,dengan sanad Shahih).

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Alloh subhanahu wa ta’ala dan Sunnah NabiNya shalallohu alaihi wa sallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.

Demikian pula yang menjatuhkan umatIslam ke dalam perbuatan bid’ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid.

Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengahtengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada kyai, ustadz atau imamimam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.

Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakanakan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikapsikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampaisampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula sholat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.

Inilah sesungguhnya penyakit yang mulamula menimpa makhluk ciptaan Alloh subhanahu wa ta’ala,yaitu Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Alloh subhanahu wa ta’ala, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Alloh subhanahu wa ta’ala  menerangkan hal ini:

“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (QS. AlA’raf: 12)

Orang Islam tidak ragu bahwa Nabi shalallohu alaihi wa sallam tidak meninggal dunia dan bertemu denganAlloh subhanahu wa ta’ala, kecuali setelah Alloh subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama Islam; seperti yang disebutkan di dalam firmanNya :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. AlMa’idah: 3).

Agama yang didasarkan pada Kitab Alloh subhanahu wa ta’ala  dan Sunnah NabiNya shalallohu alaihi wa sallampastilah cocok untuk segala zaman dan tempat serta mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Maka dari itu, Alloh subhanahu wa ta’ala  memerintahkan kepada kita untuk mengikutinya. Dia berfirman :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalanjalan (yang lain), karena jalanjalan itu mencerai beraikan kalian dari jalanNya. Yang demikian diperintahkan Alloh subhanahu wa ta’ala kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. AlAn’am:153).

Setelah itu Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kita untuk menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan perintahNya, menyuruh kita mengembalikan segala urusan hanya kepadaNya dan kepada RasulNyashalallohu alaihi wa sallam.Seperti yang difirmankan Alloh subhanahu wa ta’ala :

”Hai orangorang yang beriman, taatilahAlloh dan taatiah Rosul (Nya), dan ulil amridiantara kalian. Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh subhanahu wa ta’ala (AlQur’an) danRasul (Sunnahnya), jika kalian benarbenar beriman kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagikalian)dan lebih baik akibatnya.” (QS. AnNisa: 59)