Kaum Atheis Indonesia Subur di Dunia Maya

 

Ini peringatan bagi para orangtua yang percaya bahwa anaknya baik-baik saja, meski kuliah di perguruan tinggi berbasis agama. Para kaum yang tak mempercayai keberadaan Tuhan ini, kini, telah menemukan tempatnya, berikit semakin berkembangnya teknologi informasi.
 
Kaum atheis Indonesia, menjadikan media internet lahan subur bertukar pikiran dan mengeluarkan gagasannya.
 
Beberapa media asing mengungkap kelompok jaringan kaum yang tak percaya agama dan keberadaan Tuhan ini. Jangan keliru, mereka bukan orang sembarangan, bahkan ada yang berlatar belakang mahasiswa lulusan IAIN, kampus yang selama ini diharap mampu melahirkan juru dakwah.
 
Belum lama ini, Radio Deutsche Welle, Jerman mewawancari generasi muda dan terpelajar Indonesia yang tergabung dalam grup “Masyarakat Atheis Indonesia” di laman Facebook.  
 
Salah satunya adalah Zaim Rofiqi, seorang penulis muda dengan latar belakang pesantren kuat dan sarjana lulusan Insitut Agama Islam Negeri IAIN Jakarta.
 
Zaim mengaku mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan dan memilih atheis setekah terpukau dengan buku Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib, salah satu pemikir liberal dan dijadikan rujukan kaum liberalis Indonesia.
 
Selain Zaim adapula Miko Toro, jurnalis sebuah televisi swasta di Jakarta yang mengaku skeptis Tuhan itu ada. Keduanya, memilih internet sebagai tempat menumpahkan kegelisahannya.
 
"Saya pikir jalur paling masuk akal untuk mencapai suatu kesimpulan, itu berlandaskan evidence, cara berpikir scientist dan inilah yang diadopsi para ilmuwan. Kesimpulan itu theory selalu evidence bukan sebaliknya."
 
Sama seperti Zaim Rofiqi, Miko Toro juga mengaku ilmu pengetahuan, adalah sumber sikap subversif dia terhadap Tuhan. Untuk pilihan ini, mereka mengaku belum berani secara terbuka mengungkapkan sikap ini di hadapan keluarga.
 
Sebelumnya, AFP telah menulis berita yang sama. Dalam berita berjudul, “Indonesia's nonbelievers find refuge online”, ia menemukan internet menjadi tempat perlindungan palim aman kaum anti-agama ini.
 
Fenomena ini, menurut AFP sudah tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka telah menemukan tempat bersama di dunia maya, seperti melalui; media web, situs jaringan sosial, mailing list, blog dan wiki untuk berkomunikasi dengan orang-orang berpikiran yang sama di berbagai Negara.
 
Mereka juga bisa berkamuflase, seolah-olah masih beragama, meski sesungguhnya ia sangat membenci agama.
 
"Jika seseorang bertanya ‘apakah kamu tidak sembahyang?’, maka saya akan sembahyang. Itu adalah sembahyang yang bersifat politik," jelas Dewi (21) mahasiswi asal Bandung.
 
"Jika semua orang mengetahui bahwa saya adalah seorang ateis, saya bisa saja kehilangan pekerjaan saya, keluarga dan teman-teman akan membenci saya," ujar pria berinisial XYZMan menjelaskan dalam sebuah wawancara melalui email kepada AFP.
 
"Ada juga kemungkinan saya dapat diserang secara fisik atau dibunuh karena saya adalah seorang kafir (tidak beriman) dan darah saya halal (diijinkan untuk ditumpahkan) menurut ajaran Islam," tambahnya.
 
"Kami menggunakan segala sarana yang memungkinkan (Facebook, Friendster, Multiply, dll) untuk menunjukkan keberadaan kami, mengumpulkan orang-orang," Karl Karnadi, mahasiswa Indonesia berusia 25 tahun yang sedang belajar di Jerman.
 
Walaupun tidak banyak jumlahnya, AFP menengarai, para ateis Indonesia yang terhubung online telah cepat mengadaptasi apa yang disebut blog inovasi "Web 2.0", wiki dan situs-situs jaringan sosial. Nah, jika Anda berfikir kaum pembenci Tuhan dan agama ini sepi-sepi saja, maka Anda keliru!. (Redaksi HASMI/Hidayatullah)

Check Also

Hadirilah..!! TABLIGH AKBAR & LIQO SYAWAL Ahad, 14 Mei 2023

Hadirilah..!! TABLIGH AKBAR & LIQO SYAWAL Dengan Tema : 🌷 “Tarbiyah Romadhon Melahirkan Mujahid Dakwah” …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *