Imam Syafi’i adalah salah satu ulama yang hidup di masa khilafah Abbasiyah, yang tersebar di kalangan masyarakat pada waktu itu semangat mendalami ilmu pengetahuan umum dan menterjemahkan ilmu-ilmu filsafat, di mana kegiatan tersebut pun sangat didukung oleh pemerintah Abbasiyah.
Imam Syafi’i adalah salah satu ulama pengusung manhaj kemurnian, mendakwahkan kepada segmen masyarakat, bahkan kepada pemerintahan yang telah tercemar dengan keyakinan Yunani atau ilmu kalam yang menyesatkan umat Islam. Imam Syafi’i menyeru tentang keutamaan memegang kemurnian yang benar dan memahami agama yang lurus, baik permasalahan aqidah maupun dalam permasalahan ibadah dan muamalah antara sesama manusia. Dia berkeyakinan bahwa memegang aqidah yang murni dan meninggalkan filsafat serta ilmu kalam akan menghantarkan kepada kebahagian dunia dan akhirat, yaitu kejayaan seperti umat Islam pertama meraih kejayaan.
Ilmu kalam yang diadopsi dari negeri Yunani bukan merupakan bagian dari agama Islam sedikit pun, dan tidak boleh digunakan sebagai sumber dalam menetapkan hukum-hukum Islam, karena ilmu kalam hanya berdasarkan pendapat akal manusia yang berbeda-beda antara satu sama lainnya, dan lagi terbatas. Inilah yang diyakini oleh Imam asy-Syafi’I , dan beliau menyakini bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, tetapi kalamulloh yang tidak mungkin memiliki kesalahan, sehingga al-Qur’an harus diagungkan dan diutamakan dari perkataan manusia yang berkemungkinan benar dan salah.
Sebagai contoh tentang cerminan aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang diserukan oleh Imam Syafi’i adalah sebuah perkataannya ketika ditanya tentang sifat Alloh yang wajib diyakini, beliau berkata: “Alloh memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah disebutkan di al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi dalam hadits Nabawi yang shohih. Tidak dibolehkan bagi setiap makhluk Alloh menetapkan nama atau sifat kepada Alloh (berdasarkan akal atau ilmu filsafat).” (Aqidatus Syafi’i, Syiar A’lam an-Nubala: 10/79)
Menetapkan sifat Alloh hanya terdiri dari 20 sifat adalah sebuah kesalahan fatal karena menyelisihi penetapan yang ada di al-Qur’an dan al-Hadits. Imam Syafi’i juga menyeru tentang landasan hukum yang digunakan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu sumber hukum harus berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Qiyas dan Ijma’ (kesepakatan para ulama’).