HUKUM ASURANSI
Hukum Mengasuransikan Harta Milik
Pertanyaan:
Apa hukum mengasuransikan jiwa dan harta milik?
Jawaban:
Asuransi atas jiwa tidak boleh karena apabila malaikat maut datang menjemput orang yang mengasuransikan jiwa tersebut, dia tidak dapat mewakilkannya kepada perusahaan asuransi. Ini adalah semata karena kebodohan dan kesesatan. Di dalamnya juga terdapat makna bergantung kepada selain Alloh, yaitu kepada perusahaan itu. Jadi, dia beprinsip bahwa jika mati, maka perusahaanlah yang akan menanggung makan dan biaya hidup ahli warisnya. Ini adalah kebergantungan kepada selain Alloh.
Masalah inipada mulanya diambil dari maysir (judi), bahkan realitasnya ia adalah maysir itu sendiri, sementara Alloh terangkan maysir ini dengan kesyirikan, mengudi nasib dengan anak panah (al-azlam) dan khamr. Di dalam aturan main asuransi, bila seseorang membayar sejumlah uang maka bisa jadi dalam sekian tahunitu dia tetap membayar sehongga menjadi Gharim (orang yang merugi). Namun bila ia mati dalam waktu-waktu yang dekat, maka justru perusahaanlah yang merugi. Karenanya (kaidah yang berlaku), “setiap akad yang terjadi antara Al-Ghunm (mendapatkan keuntungan) dan Al-Ghurm (mendapat kerugian) maka ia adalah maysir.”
Hukum Mengasuransikan Harta Milik
Pertanyaan:
Saya mendengar dari sebagian orang bahwa seseorang dapat mengasuransikan harta miliknya dan bilamana terjadi petaka terhadap harta yang telah diasuransikan tersebut. Saya berharap adanya penjelasan dari syaikh mengenai hokum asuransi ini. Apakah ada diantara asuransi-asuransi tersebut dibolehkan dan yang tidak?
Jawaban:
pengertian asuransi adalah seseorang membayar sesuatu yang sudah diketahui kepada perusahaan, perbulan, atau pertahun, agar mendapat jaminandari perusahaan tersebut atas petaka/kejadian yang dialami oleh sesuatu yang diasuransikan tersebut. Sebagaimana sudah dikeahui bahwa si pembayar asuransi ini adalah orang yang merugi (Gharim) dakam setiap kondisinya.
Sedangkan perusahaan tersebut, bisa mendapatkan keuntungan (ghanim) dan bisa pula merugi (gharim). Dalam artian, bahwa jika kejadian yang dialami besar (parah) dan biayanya lebih banyak dari apa yang telah dibayar oleh si pengasuransi, maka perusahaanlah yang menjadi pihak yang merugi. Dan bila kejadiannya kecil (ringan) dan biayanya lebih kecil disbanding apa yang telah dibayaro oleh si pengasuransi atau memang pasalnya tidak pernah terjadi kejadian apapun maka perusahaanlah yang mendapatkan keuntungan dan si pengasuransi menjadi pihak yang merugi.
Transaksi-transaksi seperti jenis inilah, yakni akad yang menjadikan seseorang berada dalam lingkaran antara Al-Ghanim (meraih keuntungan) dan Al-Gharim (mendapat kerugian) yang dianggap sebagai maysir yang diharamkan oleh Alloh subhanahu wata’ala dan digandengkan dengan penyebutan khamr dan penyembahan berhala. Maka berdasarkan hal ini, jenis asuransi semacam ini adalah diharamkan dan saya tidak pernah tahu kalau ada asuransi yang didirikan atas dasar Gharar (manipulasi) hukumnya diperbolehkan bahkan semuanya itu haram berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh bahwasannya Nabi melarang jual beli yang tidak jelas.
# Dari Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin, yang beliau tanda tangani.