ANDALUSIA – Para penulis Barat mengibaratkan Andalusia tempo dulu bak permata dunia. Dipotret dari sisi manapun kota ini menawarkan daya tarik. Tidak saja pesona dalam bidang infrastruktur, tapi juga nuansa keilmuan. Wajar, jika kota ini sempat menjadi pusat peradaban Islam.
Sebelum kedatangan Abdurrahman ad-Dakhil, Andalusia tidaklah istimewa. Ia tak jauh beda dengan wilayah lain di Eropa. Tak ada kemajuan berarti jika dibandingkan dengan Baghdad yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan Daulah Abbasiah. Semua itu, karena situasi politik di Andalusia waktu itu belum stabil.
Cordoba merupakan salah satu wilayah di Andalusia yang paling banyak menyimpan kenangan. Setiap kita bernostalgia dengan kejayaan Andalusia, pikiran kita pasti akan tertuju dengan kota kecil yang terletak di sebelah selatan Spanyol ini. Di sanalah Islam sempat membangun peradabannya.
Pada abad pertengahan nyaris tidak ada kota di Eropa yang mampu menyaingi kemajuan Cordoba. Letaknya yang tak jauh dari pantai menjadi kelebihannya. Tepat sekali jika Thoriq bin Ziyad – pemuka pertama kali Andalusia – memilih kota ini sebagai Ibu Kota Negara.
– Pesona Cordoba
Cordoba mulai berbenah saat ‘Abdurrahman ad-Dakhil memegang tampuk kekuasaan di Andalusia. Banyak proyek besar yang digulirkannya. Dari memulihkan stabilitas politik hingga membangun beberapa fasilitas publik. Dengan dukungan dana yang memadai mega proyek sang Khalifah bisa berjalan dengan lancar.
Alhasil, dalam waktu singkat Cordoba menjelma menjadi kota yang sangat maju dan indah. Di Eropa tak satu pun kota yang bisa menandingi kemajuannya. Jalan-jalan di Cordoba kala itu sudah sangat modern. Semua ruas jalan telah ditaburi batu-batu kecil yang tersusun dengan sangat rapi. Sehingga, saat hujan mengguyur, kota ini jauh dari genangan air dan lumpur.
Pada saat itu juga, jalan-jalan di kota ini telah dilengkapi dengan penerang. Keberadaan penerang itu secara otomatis juga menambah keindahan kota ini pada malam hari. Tak Tak aneh jika banyak orang yang menyejajarkan kemajuan dan keindahannya dengan Baghdad.
Keadaan itu jauh berbeda dengan kota lainnya di Eropa, seperti London dan Paris. Di kedua kota ini, masih menjadi langganan lumpur setiap kali diguyur hujan. Dan pada malam hari kota ini nyaris seperti kota mati karena tidak dilengkapi dengan penerangan.
Sektor pertanian juga menjadi perhatian utama para khalifah. Para petani diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan tanaman-tanaman impor yang masih langka di Andalusia. Secara tidak langsung, kondisi ini turut meningkatkan kesejehteraan warga. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.
Di Cordoba ketika itu terdapat 130 ribu rumah, tiga ribu masjid, dan tiga ratus WC. Jumlah penduduknya sendiri sekitar 500 ribu jiwa.
– Masjid Cordoba.
Kelebihan lain kota Cordoba adalah bangunannya nan indah. Yang paling fenomenal tentunya adalah Masjid Cordoba . Ia terbilang masjid terindah dalam dunia Islam hingga kini. Masjid ini mulai dibangun pada zaman ‘Abdurrahman ad-Dakhil tepatnya tahun 170 hijriyah. Kemudian dilanjutkan oleh putranya Hisyam bin ‘Abdurrahman.
Salah satu kelebihan dari masjid ini adalah jumlah tiangnya yang sangat banyak. Terhintung ada 1417 tiang. Lantainya terbuat dari marmer. Di halamannya terdapat menara yang menjulang. Puncaknya dihiasi dengan hiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tapi sayang masjid indah itu kini telah dibangun di dalamnya gereja.
– Az-Zahro’
Jumlah penduduk Cordoba semakin bertambah. Hal ini tak luput dari perhatian khalifah. Khalifah menyadari sepenuhnya, jika jumlah penduduk tidak seimbang dengan luas wilayahnya akan menimbulkan banyak masalah. Ia pun akhirnya berusaha membangun kota baru. Tujuannya, agar Cordoba tidak sesak sehingga tetap nyaman untuk dihuni.
Pilihan khalifah jatuh pada Az-zahra. Wilayah ini terletak lima belas kilometer sebelah barat Cordoba. Pembangunan kota ini dirancang oleh arsitektur yang paling handal. Mereka didatangkan dari dalam maupun luar Andalusia . Tercatat kurang lebih 10 ribu orang yang dipekerjakan pada proyek ini. Marmernya diimpor dari Tunisia. Di dalamnya dibangun pula istana raja. Tepat di samping istana itu dibuat kebun binatang.
Sayang keindahan kota ini tak bertahan lama. Pasalnya, kondisi politik yang tidak stabil, perawatan kota ini terbengkalai. Hingga pada akhirnya keindahan kota ini sirna.
– Gudang Ilmu dan Ulama.
Di bidang ilmu pengetahuan, Cordoba menjadi kiblat baru para penuntut ilmu. Di samping ilmu syari’at, mereka yang haus ilmu bisa menimba ilmu-ilmu lain. Bahasa Arab termasuk salah satu yang paling banyak peminatnya.
Masyarakat Spanyol -terutama dari kalangan pemudanya- banyak yang tertarik mempelajari bahasa Arab dan tsaqafah islamiah. Bukan saja yang beragama Islam. Bahkan banyak di antara mereka yang masih beragama Nasrani juga sangat antusias mempelajari Islam dan bahasa Arab. Salah satu penyebabnya, karena hampir semua buku-buku ilmu pengetahuan pada saat itu menggunakan bahasa Arab. Bahasa pengantar di semua sekolah juga menggunakan bahasa Arab. Termasuk di sekolah-sekolah Kristen dan Yahudi.
Para penuntut ilmu tak hanya berasal dari Andalusia. Negara-negara di Eropa bahkan mengirimkan utusannya untuk belajar di Andalusia . Italia, Inggris dan Prancis tercatat sebagai negara yang rutin mengirim utusan. Mereka tidak sekedar belajar, tapi juga menerjemahkan beberapa buku berbahasa Arab ke dalam bahasa daerahnya.
Semangat para pemuda Kristen dan Yahudi mempelajari bahasa Arab dan tsaqafah islamiah sempat membuat para pendeta kegerahan. Mereka berusaha menghalangi dengan cara-cara yang tidak elegan, seperti menghina al-Qur’an dan pribadi Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam.
Perhatian setiap khalifah terhadap ilmu menjadi motivasi tersendiri bagi para penuntut ilmu. Sang khalifah semaksimal mungkin menyiapkan fasilitas yang memadai. Mereka mendirikan sekolah dan perpustakaan. Di Cordoba saja, khalifah al-Hakam membangun 27 sekolah. Pada zaman Abdurrahman an-Nashir dibangun Universitas Cordoba. Di sana bisa dipelajari ilmu tentang syari’ah, kedokteran, astronomi dan lainnya.
Untuk menunjang proses belajar, penguasa waktu itu juga membangun beberapa perpustakaan. Perpustakaan di Cordoba termasuk yang terbesar. Di dalamnya terdapat enam ratus ribu buku. Di wilayah lain masih ada juga sekitar sepuluh perpustakaan.
Kerja keras para Khalifah tidak sia-sia. Banyak ulama dan pakar—hampir pada semua disiplin ilmu—yang lahir. Di bidang Hadits dan Fiqih ada Yahya bin Yahya al-Laits, Isa bin Dinar, dan Abu Muhammad Ibnu Hazm. Di bidang arsitektur ada Abbas bin Farnas. Di bidang adab dan sastra ada Ibnu Abdi Rabbih. Serta, di bidang kedokteran ada az-Zahrawi dan Ibnu Zhahir.
Keseriusan membangun ilmu itu dilakukan disebabkan karena para khalifah ketika itu juga memiliki latar belakang keilmuan yag sangat kental. Seperti Hakam bion Hisyam yang ahli dalam bidang sya’ir, serta Hisyam bin ‘Abdurrahman ad-Dakhil yang gemar belajar Fiqih dan Hadits.
Kemajuan yang sangat pesat ini semakin meroketkan nama Andalusia. Tak heran jika para penulis Barat mengumpamakannya dengan Permata dunia. Pesona dan kilauannya ketika itu mampu menerangi Eropa yang saat itu masih bergelut dalam kubangan kebodohan.
Andalusia adalah salah satu potret Negara maju yang sempurna. Ia tidak hanya unggul dalam hal infrastruktur. Tapi juga indah dari segi moral dan akhlaq masyarakatnya. Ini yang membuat Andalusia ketika itu berkilau luar dalam. Berbeda dengan kemajuan yang ada sekarang. Hanya maju dari luarnya namun kropos di dalam.
Sayang, permata itu kini tak lagi berkilau. Sejak keruntuhannya pada tahun 422 H, kilauannya semakin hari semakin meredup. (Admin-HASMI).