PENDIDIKAN YANG BERURUTAN (Oleh: Tim Redaksi HASMI)

PENDIDIKAN YANG BERURUTAN

Oleh: Tim Redaksi HASMI

Sesungguhnya pendidikan adalah perjalanan yang melelahkan, menempuh tahun-tahun dan generasi demi generasi hingga mencapai tujuan sejatinya, dan bukanlah sekadar rekreasi sementara di mana para pendidik menunggu hasil dari apa yang mereka tanam.

Salah satu pertanyaan pendidikan yang paling sering muncul dalam dekade terakhir adalah: pertanyaan tentang keteguhan dan kemunduran; hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan sebagian orang terjatuh dan yang lain mundur. Semoga Allah melindungi kita semua dan membimbing kita di jalan-Nya yang lurus.

Di antara faktor-faktor utama tersebut adalah: lemahnya iman di dalam hati.

Selain itu: kuatnya fitnah yang kini dihadapkan pada generasi muda Islam, berupa seruan untuk kemaksiatan dan ateisme, hiburan dan perbuatan tercela, penolakan terhadap Islam, serta perbudakan pada hawa nafsu dan kesenangan dunia.

Ada pula: dorongan untuk menempatkan akal di atas nash syariat, dengan berbagai cara, merendahkan warisan Islam yang kokoh, serta menyerukan penafsiran ulang terhadapnya.

Seruan-seruan ini mendapat perhatian dan dukungan yang nyata bagi yang memiliki penglihatan, dan bukan maksud di sini untuk menelusuri persoalan ini lebih jauh, tetapi saya ingin menunjukkan bahwa faktor-faktor ini, bersama faktor lainnya, telah menyebabkan goyahnya sebagian anak-anak dakwah Islam. Siapa di antara kita yang selamat? Hanya mereka yang Allah selamatkan.

Sesungguhnya, ada sebagian yang tetap teguh memegang identitasnya, menjaga petunjuknya, lurus di atas agamanya, mereka berjihad melawan diri mereka sendiri kadang-kadang, dan kadang-kadang melawan segala tipu daya yang mengelilingi mereka dengan tujuan mencabut akar iman dalam jiwa dan perilaku mereka. Hanya Allah-lah yang berkuasa menjaga iman kita, dan meneguhkan kita dengan kalimat yang teguh, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti salah satu faktor yang meneguhkan seseorang di atas agama Allah, satu faktor namun yang terkuat dan paling dalam pengaruhnya, yaitu faktor yang Allah pilih untuk meneguhkan Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– di hadapan upaya kaum yang mencoba mengalihkan arah dakwahnya.

Allah berfirman: “Demikianlah Kami menjadikan bagi setiap nabi musuh dari orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong. Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami teguhkan hatimu dengannya, dan Kami membacakan Al-Qur’an itu secara tartil.” [QS. Al-Furqan: 31-32]

Di sini terdapat musuh yang jahat yang mengincar Nabi, dan ada Allah yang Maha Penyayang yang memberi petunjuk dan pertolongan. Salah satu bentuk petunjuk dan pertolongan-Nya adalah menurunkan Al-Qur’an secara bertahap sepanjang masa dakwah, untuk meneguhkan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam–.

Jadi, sebab keteguhan di sini adalah faktor waktu yang panjang, yang membutuhkan upaya pendidikan.

Perhatikan baik-baik ungkapan sebelumnya: waktu yang memanjang, yang diselingi dengan usaha pendidikan.
Begitulah Allah menghendaki Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– untuk dididik, dan demikian pula Allah menghendaki umat-Nya untuk dididik. Allah tidak menurunkan Al-Qur’an sekaligus dengan petunjuk, hukum, adab, dan kisah-kisahnya, karena hal itu tidak akan meneguhkan mereka.

Ketika para musyrik mengusulkan agar Al-Qur’an diturunkan sekaligus dalam satu kitab, Al-Qur’an menegaskan bahwa usulan ini bertentangan dengan hukum pendidikan, yang secara alami membutuhkan waktu lama dan bimbingan yang tersebar sepanjang waktu itu.

Kekuatan Waktu

Dalam firman Allah: “Dan Kami membacakan Al-Qur’an itu secara tartil.”

Para mufasir menafsirkan makna tartil ini. Ibnu Jarir berkata: menurunkannya kepadamu ayat demi ayat, dan satu per satu hal[1]. Ibnu ‘Athiyyah mengatakan: tartil adalah memisahkan hal-hal yang berurutan, seperti halnya tartil membaca[2]. Al-Sa’di mengatakan: Kami memberi kelonggaran dan menurunkannya secara bertahap[3].

Kamu bisa melihat bahwa faktor waktu terkandung dalam makna tartil: ayat demi ayat berarti membutuhkan waktu, memisahkan hal-hal yang berurutan juga membutuhkan waktu, dan perlahan-lahan serta bertahap juga membutuhkan waktu.

Jadi, tartil di sini adalah rahasia keteguhan, “agar Kami teguhkan hatimu”, yaitu menurunkan Al-Qur’an secara bertahap, bertingkat, dan dalam waktu yang panjang adalah yang membuat pendidikan Al-Qur’an paling berhasil dan memiliki pengaruh yang paling mendalam. Oleh sebab itu, turunnya Al-Qur’an memakan waktu 23 tahun, sejak awal diutusnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hingga menjelang wafatnya. Dari pemahaman inilah para ulama kemudian menurunkan beberapa makna penting.

Ibnu Jurayj berkata: “agar Kami luruskan tekadmu, teguhkan keyakinanmu, dan memberi semangat padamu”[4]. Dalam perkataan ini ada perhatian terhadap beberapa aspek peneguhan melalui faktor waktu, yaitu meluruskan tekad, memperkuat keyakinan, dan memberi motivasi melalui tartil yang bersifat temporal.

Al-Wahidi mengatakan: “Demikian juga Kami menurunkannya secara bertahap agar Kami memperkuat hatimu sehingga meningkatlah penglihatan dan pemahamanmu, karena jika wahyu datang terus-menerus untuk setiap urusan dan kejadian, hal itu akan lebih memperjelas penglihatan dan lebih kuat bagi hati.”[5]

Dari perkataan Al-Wahidi, kita memahami bahwa pembaharuan dalam pendidikan bukan berarti waktu yang panjang menjadi kaku atau statis, tetapi pendidikan itu diperbaharui sesuai dengan perkembangan kejadian dalam rentang waktu itu.

Al-Syaukani menyoroti pengaruh tartil secara temporal dalam membentuk konsep dan memperjelas persepsi dari kerancuan, beliau berkata:

“Karena menurunkannya secara bertahap, disesuaikan dengan kejadian, lebih memudahkan penghafalan dan pemahaman maknanya, dan itu adalah salah satu sebab terbesar keteguhan.”[6]

Apa yang dikatakan Al-Syaukani dan Al-Wahidi penting untuk menjelaskan satu hal yang mendasar: sifat pendidikan menuntut waktu yang cukup untuk mencapai tujuannya, karena konsep tidak bisa sepenuhnya dipahami pada awalnya, melainkan pemahaman akan semakin jelas seiring berjalannya waktu dan akumulasi pengalaman pendidikan dalam menjelaskan konsep tersebut.

Kapan Pendidikan Berakhir?

Dari semua ini, terbentuklah hukum ketahanan dalam pendidikan Islam: pendidikan memerlukan periode waktu yang panjang, yang harus ditempuh oleh upaya-upaya pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada makna menetapkan batas waktu pendidikan di suatu masyarakat hanya dalam satu tahun atau beberapa tahun saja, dan tidak masuk akal jika kita berharap terjadi perubahan besar dalam masyarakat akibat upaya pendidikan dalam waktu singkat. Bisa jadi, pendidikan membutuhkan puluhan tahun bahkan beberapa generasi.

Al-Qur’an menceritakan kepada kita bahwa pendidikan kaum Bani Israil oleh Nabi Musa ‘alaihi as-salam memerlukan puluhan tahun. Mereka tidak mampu menjalankan tugas kenabian sepenuhnya kecuali setelah empat puluh tahun berkelana di bumi. Pada tahap ini, mungkin pemimpin para da’i mereka, Musa ‘alaihi as-salam, wafat, dan Yosua bin Nun baru dapat menaklukkan Tanah Suci setelah masa pengembaraan tersebut. Dalam peristiwa yang megah ini, matahari pun berhenti sejenak sebelum terbenam, dan setelah Allah menaklukkan mereka, matahari kembali bergerak hingga terbenam.

Pertanyaannya: berapa umur Yosua bin Nun dan para pengikutnya ketika menaklukkan Baitul Maqdis? Berapa umur mereka ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari Fir’aun pada tanggal 10 Muharram? Berapa generasi yang dibutuhkan dalam pendidikan Bani Israil hingga mereka secara umum memiliki tanggung jawab kenabian dan layak mendapatkan kemenangan?

Begitu pula keadaan sahabat Nabi Muhammad ﷺ: berapa lama antara masa kenabian beliau dengan tunduknya seluruh Jazirah Arab kepada beliau?

Pendidikan adalah perjalanan panjang yang melelahkan, menempuh tahun-tahun dan generasi-generasi hingga mencapai tujuan yang sesungguhnya. Pendidikan bukanlah jalan singkat yang menunggu hasil instan dari usaha para pendidik.

Rahasianya adalah waktu yang panjang dan usaha yang konsisten selama waktu panjang itu. Tidak cukup hanya menyadari bahwa pendidikan membutuhkan waktu lama, tetapi kita juga harus memahami bahwa usaha harus berlipat ganda sepanjang waktu tersebut:

  1. Usaha dalam manajemen,
  2. Usaha dalam perencanaan dan pengaturan,
  3. Usaha dalam pelaksanaan dan ketekunan,
  4. Usaha dalam evaluasi,
  5. Usaha dalam memahami apa yang kita lakukan dan memahami realitas yang kita alami.

Demi Allah, jika kita mengorbankan tahun-tahun, musim-musim kehidupan, dan harta kita untuk pendidikan di jalan Allah dan dakwah kepada-Nya, maka Allah akan melahirkan generasi yang kokoh: orang-orang yang ditempa pendidikan Al-Qur’an yang panjang, dan diuji oleh liku-liku kehidupan yang beragam, sehingga mereka memahami hakikat dunia dan Islam, bertambah iman dan keyakinannya, dan menghasilkan masyarakat yang stabil yang mampu membela agama dan menyebarkan dakwahnya.

Inilah efek dari pendidikan yang teratur dan berjenjang.

Pendidikan yang teratur dan memerlukan waktu panjang adalah hukum yang tidak pernah gagal, yang tidak akan menyesatkan perhitungan atau mengacaukan jalan. Jadi, mengapa kita terburu-buru mengharapkan hasil pendidikan? Mengapa kita berpikir pendidikan memiliki waktu singkat yang harus segera selesai?

Ujian dalam Pendidikan

Ketika pendidikan berlangsung lama, wajar jika dalam masyarakat muncul berbagai kejadian yang:

  1. Dari satu sisi, mengujinya untuk menajamkan iman,
  2. Dari sisi lain, menjadi kesempatan untuk menegaskan konsep dan pemahaman.

Di sinilah pendidikan yang teratur berperan. Orang beriman akan dihadirkan ujian dalam suka dan duka sepanjang masa pendidikan, agar apa yang kasar dalam diri mereka ditempa oleh pendidikan yang berjenjang, seperti yang terjadi pada Bani Israil dalam peristiwa Tabut dan Bani Baqarah, atau pada sahabat Nabi dalam perang Badar, Uhud, Khandaq, dan kasus Fitnah.

Tidak setiap kesalahan yang terjadi selama masa pendidikan berarti kemunduran atau kejatuhan, karena banyak kesalahan merupakan bagian dari proses alami pendidikan. Para pendidik harus menyadari hal ini, agar tidak merasa usaha mereka sia-sia, atau larut dalam kecewa dan sedih atas hal-hal yang terlewat.

Ya, fenomena dan kejadian ini layak diamati, dipelajari, dan diperhatikan.

Sesungguhnya, Al-Qur’an telah menyinggung orang-orang yang menjauh dari ayat-ayat yang diberikan kepada mereka, yang tersesat, berpaling ke bumi, dan mengikuti hawa nafsu mereka. Allah berfirman:

“Bacalah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami, tetapi ia menjauh darinya, lalu setan mengikutinya, maka ia termasuk orang-orang yang sesat. Seandainya Kami kehendaki, niscaya Kami angkatnya dengan ayat itu, tetapi ia tetap di bumi dan mengikuti keinginannya. Perumpamaannya seperti anjing: jika kamu menghadapinya, ia terengah-engah, dan jika kamu meninggalkannya, ia pun terengah-engah.

Demikianlah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami.” [Al-A’raf: 175-176]

Allah juga berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan diri mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang zalim.” [Al-A’raf: 177]

Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dia orang yang mendapat petunjuk, dan siapa yang tersesat, maka merekalah orang-orang yang merugi. [Al-A’raf: 178]

Namun, ketika pendidikan berada pada jalurnya yang benar, mereka yang tersesat itu hanya sebagian kecil, sedangkan kebanyakan orang yang menerima pendidikan yang panjang, berlaku sesuai firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu pada hari pertemuan dua pasukan, itu hanyalah karena sebagian dari apa yang mereka perbuat telah menyesatkan mereka, dan Allah telah mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyabar.” [Ali Imran: 155]

Dan: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka disentuh gangguan dari setan, mereka teringat, maka tiba-tiba mereka melihat dengan jelas.” [Al-A’raf: 201]

________________________________________

[1] Jami‘ al-Bayan, jilid 17, halaman 444.
[2] Al-Muharrir al-Wajiz, jilid 4, halaman 209.
[3] Taysir al-Karim al-Rahman, jilid 3, halaman 1198.
[4] Jami‘ al-Bayan, jilid 17, halaman 446.
[5] Al-Tafsir al-Wasit, jilid 3, halaman 340.
[6] Fath al-Qadir, jilid 4, halaman 85.

Check Also

TUNTUTAN ILMU ADALAH AMAL (Oleh: Tim Redaksi HASMI)

TUNTUTAN ILMU ADALAH AMAL Oleh: Tim Redaksi HASMI Sesungguhnya dengan mengamalkan ilmu, para ulama diangkat …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot
situs slot