PERAN PARA ULAMA PERAWI DAN PENULIS DALAM MUNCULNYA ILMU BALAGHAH ARAB (Oleh: Tim Redaksi HASMI)

PERAN PARA ULAMA PERAWI DAN PENULIS DALAM MUNCULNYA ILMU BALAGHAH ARAB

Oleh: Tim Redaksi HASMI

Kita menemukan bahwa para ulama pada periode kemudian, ketika membicarakan tentang “al-Mumathalah” (kemiripan atau analogi), sering merujuk pada definisi Al-Asma‘i, yaitu bahwa pembicara “bermaksud menunjukkan suatu makna dengan menempatkan kata-kata yang menunjukkan makna lain, dan makna tersebut dengan kata-katanya menjadi contoh bagi makna yang ingin ditunjukkan.” Mereka juga sering menghadirkan contoh dari Kitab Suci Al-Qur’an.

Hal yang seharusnya diperhatikan oleh peneliti yang serius dalam mempelajari tahap para ulama perawi pada abad kedua dan awal abad ketiga Hijriyah adalah luasnya cakupan penelitian para ulama ini; mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang syair-syair Arab sebelum Islam dan selama Islam, bahasa Arab beserta ragam dan sejarahnya, serta berita dan informasi terkaitnya, selain pemahaman mereka terhadap makna Kitab Allah dan hadis Nabi Muhammad ﷺ.

Kaya akan budaya dan luasnya pengetahuan ini memungkinkan mereka menetapkan semua aturan ilmu yang berkembang pada periode ini, termasuk ilmu nahwu, bahasa, kritik sastra, balaghah, ‘arud (ilmu prosodi) dan qafiyah (rima). Selain itu, mereka melakukan verifikasi, pengaturan, penjelasan, dan pengumpulan teks-teks puisi ke dalam diwan (kumpulan) dan majmû‘ah (kompilasi). Upaya-upaya ini menyelamatkan warisan Arab dari kepunahan dan membangun fondasi kebudayaan Arab dengan prinsip dan metodologi yang jelas.

Berikut ini beberapa upaya yang mereka lakukan untuk menetapkan metodologi penelitian dalam studi balaghah Arab, yang merupakan bagian dari studi mereka yang luas dalam ilmu bahasa Arab. Kajian-kajian ini menjadi inti pertama bagi para generasi berikutnya untuk membangun dasar-dasar ilmu ini, dan aturan tersebut tetap digunakan di semua zaman berikutnya karena mereka berasal dari teks-teks puisi dan prosa yang mencapai tingkat tinggi dalam eloquensi, kefasihan, dan balaghah, terutama Kitab Allah, ucapan Nabi ﷺ, serta syair, pepatah, dan ungkapan Arab yang terkenal.

Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, ahli bahasa dan pendiri ilmu ‘arud (wafat 175 H), serta Al-Asma‘i, ulama perawi (wafat 216 H), dianggap sebagai pendiri ilmu balaghah Arab, melalui definisi seni, penentuan istilah, dan studi contoh (syahîh), dengan menetapkan aturan yang jelas berdasarkan metodologi ilmiah tanpa kerancuan. Abu Al-Faraj Al-Isbahani menyebutkan sebuah dialog antara Al-Asma‘i dan Ali bin Sulaiman Al-Akhfash mengenai masalah balaghah:

“Aku berkata kepada Ali bin Sulaiman Al-Akhfash—yang paling aku temui ahli syair: Sebagian orang mengatakan bahwa al-Tibaq (kontras) adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya, dan sebagian lain mengatakan: ini berarti kesamaan makna dalam satu kata. Aku berkata: Siapa yang mengatakan ini? Ia berkata: Qudamah dan yang lain. Aku berkata: Ini, wahai anakku, adalah al-Tajnîs, dan siapa yang mengatakan itu, maka ia bertentangan dengan Al-Khalil dan Al-Asma‘i. Aku berkata: Apakah mereka mengetahuinya? Ia berkata: Maha Suci Allah! Apakah selain keduanya memahami ilmu syair dan membedakan hal-hal halus?”[1]

Ini adalah pengakuan seorang ulama terhadap kedalaman dan penguasaan para ulama pada masa itu dalam ilmu syair, maknanya, tujuan, dan gaya-gayanya. Mereka adalah yang pertama dalam mendefinisikan seni balaghah dan menetapkan istilahnya secara tepat. Bahkan Al-Akhfash menolak pendapat Qudamah bin Ja‘far dan kelompok lain, meski Qudamah memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu bahasa Arab, karena mereka tidak meneliti istilah itu dengan teliti berdasarkan contoh dan maknanya dalam syair dan prosa Arab. Sebaliknya, para ulama pada generasi pertama telah memahami warisan Arab dengan baik.

Bukti pengetahuan mendalam ini terlihat saat Al-Asma‘i mendefinisikan “al-Mutabaqah” (kemiripan/kontras) secara tepat, menjelaskan peranannya dalam makna kontradiksi dan pertentangan, bukan kesamaan. Ia juga memberikan contoh sebagai bukti:

“Asalnya adalah menempatkan kaki di tempat tangan pada hewan berkaki empat. Dikatakan: ‘ṭābaqa al-faras’ (kuda itu bertumpu), jika kakinya berada di tempat tangan.”

Seorang penyair, Nabighah bin Bani Ju‘dah, berkata:

“Dan kuda-kuda itu saling menyesuaikan dengan lengan,
Kontras anjing menapaki kuda-kuda.”[2]

Seorang ulama pada abad kedelapan Hijriyah, yang mendalami warisan Arab dan filsafat Yunani, Abu Muhammad Al-Sijilmasi, menyebutkan pendapat Al-Khalil, Al-Asma‘i, dan Ibn Al-Mu‘tazz:

“Nama al-Mutabaqah dalam bahasa Arab, menurut mayoritas, berarti bertentangan dan menolak, bukan kesamaan sebagaimana yang disangka beberapa orang. Dalam bahasa Arab, mutabaqah berarti perbedaan dan pertentangan, dan atas dasar ini para ahli balaghah—termasuk Al-Khalil, Al-Asma‘i, dan para pengikut mereka—menetapkan istilah ini dalam ilmu balaghah.”[3]

Teks ini menunjukkan bukti kuat dari para ahli bahasa dan syair terpercaya untuk menetapkan makna al-Tibaq dalam ilmu balaghah. Yang penting di sini adalah pengakuan para ahli bahasa dan syair terdahulu sehingga ilmu ini menjadi mapan melalui definisi, istilah, dan maknanya.

Para ulama pada periode berikutnya, saat membahas “al-Mumathalah” (kemiripan), tetap merujuk pada definisi Al-Asma‘i, yaitu pembicara “bermaksud menunjukkan makna dengan menempatkan kata-kata yang menunjukkan makna lain, dan makna itu dengan kata-katanya menjadi contoh bagi makna yang dimaksudkan.” Mereka juga menyertakan contoh dari Al-Qur’an:

[4] {وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ}

Yang dimaksud adalah: dirimu sendiri, sebagaimana dikatakan: “Faddā lakā thuwbāy” (diri saya). Seorang penyair juga bersenandung:

“Faddā lakā min akhī thiqatu izārī”[5]

Dalam hal al-Iltaf (pengalihan), Al-Asma‘i adalah yang pertama menyebutkan contohnya dan menunjukkan makna yang dibawa oleh pengalihan tersebut. Ishaq Al-Mawsili berkata:

Al-Asma‘i berkata kepadaku: “Apakah kamu mengenal pengalihan-pengalihan Jarir?” Aku menjawab: “Tidak.” Lalu ia membacakanku:

“Apakah engkau lupa ketika kita berpisah dengan Sulayma,

Di cabang Bashamah? Basham telah disiram!”

Contoh ini digunakan oleh semua ahli balaghah dan membuka jalan bagi penelitian tentang contoh-contoh lainnya.

Begitu pula dalam seni al-Tabligh (penguatan makna, juga disebut al-Ighal), Al-Asma‘i menjadi pelopor dalam mendefinisikannya dan menyebutkan contohnya. Seni ini sangat penting dalam memperindah makna dalam qafiyah, terutama saat makna sebuah bait belum selesai sebelum qafiyah datang, sehingga dapat menambah makna tambahan. Kesalahan yang kadang dilakukan penyair adalah menempatkan qafiyah di tempat yang salah. Al-Asma‘i ditanya tentang penyair terbaik, ia menjawab:

“Orang yang membawa makna kecil dengan kata-kata besar, atau makna besar dengan kata-kata kecil, atau yang menyelesaikan kata-katanya sebelum qafiyah dan jika membutuhkan qafiyah, menambah makna.”
Misalnya penyair Dhi Al-Rumma:

“Berdirilah unta di reruntuhan Miyyah,

Tanyakan tanda-tanda seperti perilaku jubah.”

Setelah selesai, ia menambahkan kata al-Musalsal agar sesuai qafiyah dan menambah makna.[6] Begitu juga Al-A‘sha:

“Ia menabrak batu suatu hari untuk memecahkannya,

Namun batu itu tak tergoyahkan, dan tanduknya pun rapuh…”

Setelah selesai, saat memerlukan qafiyah, ia menambahkan al-Wa‘l sehingga menambah makna.[7]

Seorang ulama lain pada periode ini, Abu Al-Abbas Thalab, memberi perhatian besar pada kritik dan masalah balaghah karena pengalamannya dengan puisi kuno. Ia menulis sebuah karya kecil berjudul Qawa‘id al-Sy‘ir (Aturan Syair). Salah satu hal yang diperhatikannya dalam balaghah adalah tasybih (perumpamaan), misalnya kata-kata Imru’ Al-Qais:

“Seolah hati burung basah dan kering,

Di sarangnya adalah juniper dan daun kering.”

Thalab menyukainya dan menegaskan melalui riwayat bahwa ini adalah contoh terbaik perumpamaan satu hal dengan dua hal dalam satu bait.[8]

Ia juga membahas al-Ifraat (berlebihan dalam deskripsi), yang diperhatikan oleh kritikus dan ahli balaghah untuk menunjukkan apa yang diterima dan apa yang ditolak dalam membesar-besarkan makna. Contoh Ifraat, yang mendekati mustahil, adalah kata-kata Imru’ Al-Qais:

“Dan aku berangkat pagi-pagi sedangkan burung di sarangnya,

Dengan hanya tali penyangga (qiyad) dari tulang-tulang tua yang mengikat.”[9]

Keistimewaan puisi ini terkait teknik tertentu, misalnya ‘qiyad al-awabad’ (tali penyangga), yang dianggap indah dalam kuda, karena menunjukkan pengendalian maksimal; sebagaimana As-Sa‘kiri mengatakan:

“Karena tali penyangga merupakan salah satu tingkat tertinggi dalam pencegahan pergerakan; karena kamu bisa melihat penghalangannya, maka tidak ada keraguan.”[10]

Thalab juga mendefinisikan al-Isti‘arah (metafora) sebagai:

“Menggunakan nama atau makna sesuatu untuk hal lain.”[11]

Ia menyoroti contoh-contoh terbaik yang kemudian digunakan oleh para ahli balaghah setelahnya, termasuk karya-karya Imru’ Al-Qais.

Aku berkata kepadanya ketika ia menegangkan punggungnya, dan menambahkan kelembutan yang berat pada setiap anggota tubuhnya, menggambarkan penderitaannya terutama di malam hari, sehingga ia mengekspresikan berat yang ia rasakan melalui gambaran-gambaran yang berturut-turut yang dilihat manusia dalam gerakan unta.

Dan kata Zuhair:

“Ia menegangkan tanpa memandang banyak rumah

di mana Umm Qushaim menaruh bekal perjalanan.”

Baris ini termasuk dalam qasidahnya yang terkenal.

Ada kelompok lain yang turut menyoroti pengamatan kritis dan retoris yang terkait dengan keindahan puisi dan keunggulannya. Kelompok ini tidak memiliki ilmu mendalam tentang puisi, tata bahasa, dan bahasa seperti para ulama perawi, tetapi mereka adalah penulis dan orang-orang yang memiliki pandangan mengenai karakteristik bayān (kecakapan retoris). Salah satunya adalah Ibnu al-Muqaffa’ (wafat tahun 142 H). Penulis ini memahami teknik-teknik pengiriman pesan (transmission) dan catatan yang dibuatnya untuk menjelaskan balāghah menunjukkan bahwa ia menguasai berbagai bentuk makna yang disampaikan dengan cara yang benar. Misalnya, ia berkata dalam mendefinisikan balāghah:

“Balāghah adalah nama yang mencakup berbagai makna yang muncul dalam banyak bentuk, sebagian di antaranya melalui diam, sebagian melalui mendengar, sebagian melalui isyarat, sebagian melalui argumentasi, sebagian melalui jawaban, sebagian melalui inisiasi, sebagian melalui puisi, sebagian melalui sajak dan khutbah, sebagian melalui surat-menyurat; secara umum, apa pun yang termasuk dalam kategori ini, jika ada wahyu di dalamnya, isyarat kepada makna, dan kejelasan ringkas, itulah balāghah.”

Ibnu al-Muqaffa’ menafsirkan balāghah secara ilmiah, dan ia menekankan semua yang diperlukan bagi pencipta maupun penerima yang seharusnya memahami keindahan retoris tersebut. Ada satu penekanan penting dalam teks ini mengenai apa yang dibutuhkan dalam ucapan yang fasih, yaitu ringkasnya ungkapan (al-ījāz). Seni ini menggabungkan semua cabang retorika jika digunakan dengan baik, tanpa cacat, kekurangan, ambiguitas, atau tumpang tindih.

Penulis lain, Ja’far bin Yahya (wafat tahun 187 H), ketika ditanya seseorang tentang konsep bayān, ia menjelaskannya dengan kata-kata yang mencakup semua yang diperlukan dalam hal kata, makna, dan tujuan:
“Bahwa kata harus mencakup makna Anda, menjernihkan maksud Anda, membebaskannya dari persamaan dengan kata lain, tanpa bergantung pada ide, yang wajib adalah kata itu harus bebas dari kepalsuan, jauh dari kepura-puraan, bebas dari kerumitan, dan kaya tanpa memerlukan penafsiran.”

Apakah ada definisi lain yang lebih lengkap dari ini yang dapat menjamin kebenaran semua gaya dari setiap cacat dalam struktur, isi, dan tujuan?

Ini adalah beberapa masalah retoris yang dikemukakan oleh para ulama dan penulis pada masa awal munculnya balāghah. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah pelopor; mereka telah menetapkan dasar-dasarnya dengan jelas, melalui definisi, istilah, dan contoh. Jika metodologi penelitian ini juga menyinggung upaya mereka dalam ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra, kita akan melihat keluasan pengetahuan yang membuktikan kedalaman penguasaan mereka terhadap bahasa Arab.

________________________________________

[1] Al-Munza‘ al-Badi‘, hlm. 372.
[2] Raf‘ al-Hijab, jld. 1, hlm. 164–165.
[3] Al-Munza‘ al-Badi‘, hlm. 370–371.
[4] Al-Muddaththir, ayat/nomor 4.
[5] Al-Munza‘, hlm. 245.
[6] Raf‘ al-Hijab, jld. 1, hlm. 190–191.
[7] Sumber yang sama.
[8] Qawa‘id al-Sy‘r (Kaidah-Kaidah Puisi), hlm. 40.
[9] Sumber yang sama, hlm. 49–50.
[10] Kitab al-Sina‘atain (Buku Dua Keterampilan), hlm. 298.
[11] Qawa‘id al-Sy‘r, hlm. 57.
[12] Al-Bayan wa al-Tabyin, jld. 1, hlm. 115–116.
[13] Sumber yang sama, jld. 1, hlm. 106.

Check Also

KHUTBAH JUM’AT KE-9 (Oleh: Supendi, S.Sy.)

ALLOH MAHA KAYA (Oleh: Supendi, S.Sy.) KHUTBAH PERTAMA إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot
situs slot