YANG PALING SAHIH DALAM SUATU BAB (Oleh: Tim Redaksi HASMI)

YANG PALING SAHIH DALAM SUATU BAB

Oleh: Tim Redaksi HASMI

Di antara hal-hal menakjubkan pada zaman ini adalah apa yang kita saksikan: sebagian orang meremehkan usaha para dai Islam yang bergerak di medan dakwah kepada non-Muslim. Mereka meninggalkan jejak berupa orang-orang yang diberi karunia oleh Allah masuk ke dalam cahaya Islam, lalu setelah itu ada generasi penerus yang mengajari dan membimbing mereka untuk semakin maju. Tetapi, ada yang justru mengklaim bahwa para dai tersebut seharusnya…

Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu anak Adam seluruhnya. Amma ba‘du:

Ungkapan “yang paling sahih dalam suatu bab” adalah istilah yang dipakai para ulama untuk menunjukkan amal yang dilakukan ketika tidak ada selain itu dalam suatu bab (meskipun lemah) – yakni yang tersedia. Maknanya antara lain: janganlah suatu bab dibiarkan kosong tanpa amal, betapapun dalilnya lemah. Ungkapan ini masuk dalam cakupan yang lebih luas dari firman Allah:

{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian (QS. At-Taghābun: 16), dan sabda Nabi ﷺ dari Abu Hurairah ra:

«إذَا ‌أمَرتكم بأمرٍ فأْتُوا منه ما ‌استطعتم»

“Apabila aku perintahkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”[1]

Kesempurnaan manusia dalam setiap bidang tidak dicapai kecuali oleh al-Ma‘shūm ﷺ. Bagi para pengikutnya, cukuplah bila salah seorang dari mereka berlari di lintasan tertentu, mengerahkan tenaga, menghabiskan umur untuk menempuh jarak tertentu, dan mendapatkan hasil darinya – meski lemah dalam lintasan-lintasan lain.

Sebagian orang terlalu jauh dalam zuhud hingga tenggelam di dalamnya, sehingga sempit bagi mereka ruang untuk menyeimbangkan dengan tuntutan dunia dan kenikmatan yang mubah. Mereka pun mengasingkan diri dan hidup seperti rahib.

Sebagian lain tenggelam dalam keberanian, tetapi tetap saja tidak sampai pada derajat Nabi ﷺ dan tidak mendekatinya. Mereka pun tidak mampu menggabungkan keberanian itu dengan sifat kasih sayang.

Ada golongan yang mengagungkan akal dan meninggikan kedudukannya hingga melampaui wahyu. Mereka tidak mampu menggabungkan antara akal sehat dengan wahyu yang jelas.  Akibatnya, masing-masing mendahulukan akalnya di atas wahyu. Lalu akal mereka saling berbenturan, karena tidak ada alasan untuk menganggap akal si A lebih utama daripada akal si B. Mereka pun tercerai-berai dan berada dalam keraguan yang gelap

Ada pula yang berusaha menghiasi diri dengan kesabaran, tetapi mereka melampaui batas dalam keteguhan hingga kehilangan sifat duka manusiawi yang fitri. Padahal menangis karena rahmat atas orang yang wafat adalah fitrah, baik, bahkan dianjurkan. Nabi ﷺ sendiri melakukannya atas sejumlah orang yang wafat. Seperti dalam hadis Anas bin Malik ra:

Kami pernah masuk bersama Rasulullah ﷺ menemui Abu Saif (tukang besi), yang merupakan ayah susuan Ibrahim (putra Nabi). Nabi ﷺ menggendong Ibrahim, menciumnya, dan menciumnya lagi. Setelah itu kami masuk kembali, ternyata Ibrahim sedang menghadapi ajalnya. Maka kedua mata Rasulullah ﷺ berlinang air mata. Abdurrahman bin Auf ra berkata: “Engkau juga menangis, wahai Rasulullah?” Beliau ﷺ menjawab:

“Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.”

“Sesungguhnya mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai Rabb kami. Dan sesungguhnya dengan berpisah darimu wahai Ibrahim, kami benar-benar bersedih.”[3]

Ini tidak bertentangan dengan ridha terhadap takdir Allah. Berbeda dengan apa yang terjadi pada al-Fudhail bin ‘Iyadh ra, seorang alim zuhud. Ketika anaknya, Ali, wafat, ia justru tertawa dan berkata: “Aku melihat bahwa Allah telah menetapkan, maka aku ingin ridha dengan ketetapan-Nya.” Sikapnya lebih baik daripada orang-orang yang larut dalam kesedihan, tetapi sikap yang lebih sempurna adalah menggabungkan antara rahmat kepada orang yang wafat, ridha terhadap takdir, dan memuji Allah – sebagaimana sikap Nabi ﷺ.

Allah Ta‘ala berfirman : (QS. Al-Balad: 17)

ثُمَّ كَانَ مِنْ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, saling menasihati untuk bersabar, dan saling menasihati untuk berkasih sayang.

Allah menyebutkan perintah saling menasihati dalam kesabaran dan kasih sayang sekaligus.
Maka manusia terbagi menjadi empat:

  1. Ada yang sabar namun keras hati.
  2. Ada yang penyayang namun mudah putus asa.
  3. Ada yang keras hati sekaligus mudah putus asa.
  4. Ada yang mampu menggabungkan kesabaran dan kasih sayang – inilah sifat orang beriman.[4]

Kadang dua dorongan masuk ke dalam hati: dorongan sabar dan ridha, serta dorongan kasih dan rahmat. Dua hal itu bertemu dalam hati, tetapi sedikit sekali

Demikianlah… ada yang menekuni satu bidang, tetapi tidak kuat di bidang lain. Ada yang menekuni bidang lain, namun lemah di bidang lainnya. Dan tidak ada satu pun di antara mereka –meski hanya fokus pada bidangnya– yang bisa mencapai sepersepuluh dari kedudukan Rasulullah ﷺ di bidang itu. Maka kesempurnaan pada manusia adalah sesuatu yang langka.

Menuntut kesempurnaan berarti menuntut yang mustahil. Lebih dari itu, ia menyiksa jiwa, mengeruhkan hidup, dan merusak kebahagiaan duniawi, bahkan dalam urusan kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan oleh Basyar bin Burd:

Bila engkau selalu mencari-cari kesalahan sahabatmu,
Engkau takkan menemukan seorang pun yang bebas darinya.
Jika engkau tidak mau minum kecuali air bening tanpa kotoran,
Engkau akan kehausan, padahal adakah air yang jernih sempurna?
Maka hiduplah sendiri, atau bersabarlah dengan saudaramu,
Sebab ia pasti sekali waktu berbuat dosa, dan sekali waktu menjauhinya.
Siapa yang bisa dipuaskan seluruh tabiatnya?
Cukuplah kemuliaan bagi seseorang jika aibnya masih bisa dihitung.[5]

Imam adz-Dzahabi ra berkata: “Seandainya setiap orang yang salah dalam ijtihad –padahal imannya sahih dan ia berusaha mengikuti kebenaran– kita habisi dan kita sesatkan, maka sedikit sekali ulama yang selamat bersama kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia-Nya.”[6]

Beliau juga berkata: “Seandainya setiap kali seorang imam salah dalam ijtihad pada masalah cabang yang kesalahannya diampuni, lalu kita hujat, sesatkan, dan boikot, maka tidak akan selamat bersama kita Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau yang lebih besar dari mereka. Allah-lah yang memberi hidayah kepada hamba-hamba-Nya menuju kebenaran, dan Dia adalah yang Maha Penyayang. Kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekasaran.”[7]

Teladan yang Langka

Dalam sejarah umat ini, ada sosok-sosok besar yang jarang terulang. Itu adalah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Ada yang terkenal dengan ilmu, ada dengan pemahaman, ada dengan periwayatan, ada yang unggul di bidang peradilan, ada yang menonjol dalam zuhud dan wara‘, dan ada yang kuat dalam kesabaran, keteguhan, serta pembelaan terhadap akidah. Ada pula yang langka dalam hal memadukan antara teks wahyu dengan hasil akal dan ilmu pengetahuan modern.

Demikianlah seharusnya para pembangun umat membangun peradaban dengan yang paling sahih dalam bab dari bahan-bahan yang tersedia. Jangan menunggu kualitas yang sempurna tetapi tidak ada, sebab bangunan itu tidak akan pernah berdiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra menyebutkan bahwa sebagian ulama Asy‘ariyah dan para imam mereka terjatuh dalam sejumlah prinsip bid‘ah yang menyelisihi manhaj salaf. Ia menyebut al-Baqillani, al-Juwaini, al-Harawi, al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, dan lain-lain. Lalu beliau berkata:

“Namun tidak ada seorang pun dari mereka kecuali memiliki jasa dalam Islam yang patut disyukuri, amal-amal saleh yang diterima, serta usaha dalam membantah kaum ateis, ahli bid‘ah, dan dalam membela sebagian besar ahli sunnah dan agama. Mereka adalah orang-orang mulia dan berakal. Karena itu, manusia berbeda sikap: ada yang memuliakan mereka karena kebaikan dan keutamaan mereka, ada pula yang mencela mereka karena kesalahan mereka. Dan pilihan yang terbaik adalah yang pertengahan. Hal ini bukan hanya berlaku bagi mereka, tetapi juga bagi banyak kelompok ahli ilmu dan agama lainnya.”[8]

Mereka pada masa itu adalah yang paling sahih dalam bab membantah kaum Mu‘tazilah, para filosof, dan orang-orang ateis – meski mereka sendiri memiliki bid‘ah.

Ibnu Taimiyyah juga berkata:

“Banyak orang-orang Muslim ahli bid‘ah –seperti Rafidhah dan Jahmiyyah– pergi ke negeri-negeri kafir. Banyak orang kafir masuk Islam melalui tangan mereka dan mendapat manfaat. Mereka menjadi Muslim, meski masih membawa bid‘ah. Itu tetap lebih baik daripada tetap kafir.”[9]

Maka mereka, meskipun ahli bid‘ah, tetap merupakan yang paling sahih dalam bab dakwah pada masa itu di kalangan orang-orang kafir yang jauh – selama kebaikan besar yang terjadi lewat mereka tidak mungkin diraih kecuali melalui mereka, meski ada keburukan kecil pada diri mereka.

Tentang al-Kullabiyyah, beliau berkata: “Mereka dianggap Ahlus Sunnah wal Jama‘ah bila dibandingkan dengan Mu‘tazilah, Rafidhah, dan semisalnya. Bahkan mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah di negeri-negeri yang mayoritasnya adalah ahli bid‘ah seperti Mu‘tazilah dan Rafidhah.”[10]

Tentang sikap Imam Ahmad dalam menghadapi situasi di Khurasan, beliau menukil: “Ini adalah jawabannya, sebagaimana ketika ia berkata tentang Qadariyyah: Jika kita tinggalkan periwayatan dari Qadariyyah, maka kita harus tinggalkan periwayatan dari mayoritas penduduk Bashrah. Juga sebagaimana sikapnya dalam menghadapi fitnah, dengan bersikap lemah lembut dan berdialog dengan hujjah. Demikian pula ketika Qadariyyah banyak di Bashrah, jika meninggalkan periwayatan dari mereka, maka ilmu, sunnah, dan atsar akan hilang. Maka bila kewajiban agama dan jihad tidak bisa ditegakkan kecuali melalui orang yang memiliki bid‘ah, dan keburukan bid‘ah itu lebih ringan dibandingkan hilangnya kewajiban, maka mengambil kewajiban meski disertai keburukan kecil lebih baik daripada sebaliknya. Karena itu, dalam masalah-masalah ini ada rincian.”[11]

Itulah sikap para imam Islam terhadap ahli bid‘ah yang nyata! Maka bagaimana pula jika mereka melihat ada orang yang mengaku mengikuti kebenaran dan manhaj salaf, tetapi justru memasang jaring untuk menangkap saudaranya, menujukan anak panah ke leher mereka, dan menghunus belati untuk menusuk dari belakang!
________________________________________
Syaikh Ibn ‘Utsaimin –rahimahullah– dalam konteks pembicaraannya tentang al-Hafizh an-Nawawi dan Ibn Hajar berkata:

“Dua orang inilah secara khusus, yang saya tidak mengetahui hari ini ada seorang pun yang telah memberikan sumbangsih untuk Islam dalam bab hadis Rasulullah seperti yang telah mereka berikan. Dan tanda bahwa Allah –Subhanahu wa Ta‘ala, dengan kuasa dan kehendak-Nya, dan saya tidak bersumpah atas nama Allah– telah menerima amal mereka adalah apa yang Allah berikan berupa penerimaan dari manusia terhadap karya-karya mereka; diterima oleh para penuntut ilmu, bahkan juga oleh kalangan awam. Sekarang, kitab Riyadhus Shalihin dibaca di setiap majelis, dibaca di setiap masjid, dan manusia mendapatkan manfaat yang sangat besar darinya. Saya pun berharap agar Allah memberikan kepada saya kitab seperti kitab itu, yang setiap orang bisa mengambil manfaat darinya di rumahnya dan di masjidnya.” [12]

Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata:

“Termasuk kaidah syariat, dan juga kaidah hikmah: barang siapa yang banyak kebaikannya dan agung pengaruhnya, serta memiliki kontribusi yang nyata dalam Islam, maka ditoleransi padanya hal-hal yang tidak ditoleransi pada selainnya, dan dimaafkan darinya apa yang tidak dimaafkan dari selainnya. Karena maksiat adalah kotoran; sedangkan air apabila telah mencapai dua qullah maka ia tidak membawa kotoran, berbeda dengan air sedikit yang bisa terpengaruh dengan kotoran kecil yang jatuh ke dalamnya.” [13]

Maka ketika kita meruntuhkan bangunan saudara-saudara kita hanya karena kekurangannya pada sisi yang ia tidak kuasai, sebenarnya kita sedang berusaha menghancurkan apa yang ia kuasai dan ia unggul di dalamnya, sehingga mengecilkan nilainya dan memperlambat langkah kita semua menuju masa depan.

Seperti dikatakan oleh Shalih bin ‘Abdul Quddus:

وَإِنَّ عَنَاءً أَنْ تُفَهِّمَ جَاهِلاً
فَيَحْسَبُ جَهْلاً أَنَّهُ مِنْكَ أَفْهَمُ
مَتَى ‌يَبْلُغُ ‌الْبُنْيَانُ ‌يَوْمًا ‌تَمَامَهُ
إِذَا كُنْتَ تَبْنِيهِ وَغَيْرُكَ يَهْدِمُ؟
مَتَى يَنْتَهِي عَنْ سَيِّئٍ مَنْ أَتَى بِهِ
إِذَا لَمْ يَكُنْ مِنْهُ عَلَيْهِ تَنَدُّمُ؟ [14]

Saya menyerupakan hal ini dengan pembangunan sebuah gedung… Di sana ada arsitek, kontraktor, tukang ledeng, tukang kayu, tukang listrik, tukang besi, tukang keramik, tukang batu, dan lainnya. Masing-masing ahli pada bidang yang tidak bisa dikerjakan oleh lainnya, dan ia sendiri pun tidak bisa menguasai pekerjaan orang lain. Apabila para pekerja bangunan ini bersatu, saling membantu, dan melengkapi kerja satu sama lain, lalu generasi setelahnya membangun di atas hasil generasi sebelumnya, maka bangunan itu akan berdiri kokoh dan sempurna. Tetapi bila mereka berselisih, maka penyelesaian akan tertunda dan hasil pekerjaan rusak.

Kalau kita saling menuntut kesempurnaan dan terus berselisih karena setiap kekurangan, niscaya kita tidak akan pernah bergerak maju! Tidak ada seorang imam pun kecuali memiliki kekeliruan yang bisa dijadikan bahan celaan oleh orang-orang yang hanya membuka satu matanya untuk melihat kesalahan. Padahal, tidak ada yang maksum kecuali para nabi –‘alaihimush shalatu was salam–.

Di antara keanehan zaman ini adalah apa yang kita saksikan: sebagian orang meremehkan jerih payah para dai yang menyeru non-Muslim masuk Islam. Mereka telah menorehkan jasa besar, meninggalkan di belakang mereka orang-orang yang Allah beri hidayah untuk masuk ke dalam cahaya Islam, lalu orang-orang ini dilanjutkan pendidikannya oleh yang lain yang lebih ahli dalam mengajarkan dan membina. Namun, ada yang menuntut para dai tersebut agar menyertai mereka dari awal hingga akhir; sejak mengajak masuk Islam sampai memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan! Orang semacam ini bodoh atau pura-pura bodoh terhadap adanya pembagian tahapan dakwah… Bahwa setiap tahapan punya pejuangnya masing-masing, selama semuanya masih berada dalam bingkai umum dakwah dan tidak ada penyimpangan yang mencolok.

Dalam perjalanan, kita akan menjumpai seseorang yang sesuai untuk sebuah tahap tertentu: ia tidak ahli dalam tahap sebelumnya dan tidak piawai dalam tahap setelahnya. Maka manfaatkanlah dia pada tahapnya, cukupkan dengan jasanya di situ, lalu bangunlah di atas apa yang ia letakkan, dan teruslah melangkah maju, hingga engkau menyerahkan tongkat estafet kepada yang setelahmu – jika memang masamu bukanlah masa akhir perjalanan.

Inilah kaidah yang menenangkan dalam menjalani kehidupan: timbanglah antara maslahat dan mafsadat, antara yang bisa diterima dan yang ditolak, lalu letakkan keputusan berdasarkan hasil timbangannya, dengan tetap menoleransi sebagian kekurangan demi meraih maslahat besar, tanpa terjatuh dalam reaksi emosional atau sikap yang hanya digerakkan perasaan.

Rasulullah ﷺ telah meletakkan dasar kokoh untuk metode ini dalam sebuah hadis. Dari Abu Hurairah –raḍiyallāhu ‘anhu–, Nabi ﷺ bersabda:

“Seorang mukmin janganlah membenci seorang mukminah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, maka ia pasti ridha dengan sifatnya yang lain.” [15][16]

Namun ada orang yang menginginkan semua sifat, semua kemampuan, dan semua keterampilan terkumpul dalam satu pribadi atau satu generasi, jika tidak maka ia tidak akan puas!

Tahapan Pembangunan Agama

Sebagian orang yang berpandangan sempit ingin agar siapa pun yang telah sampai pada jabatan tertentu langsung meloncat memperbaiki segala sesuatu, mengerjakan semua hal, dan mencegah semua keburukan, seketika itu juga. Padahal hal ini tidak pernah terjadi, bahkan pada Rasulullah ﷺ sendiri, dalam dua puluh tiga tahun lamanya pembangunan agama ini – dengan segala kepayahan: begadang malam, lapar di siang hari, haus di tengah panas, letih badan, kehilangan kenyamanan, menanggung kesulitan, dan menghadapi ancaman – semua itu di bawah pengawasan Allah Ta‘ala:

“Dan bersabarlah terhadap ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (ath-Thur: 48)

Allah mampu menurunkan agama ini sekaligus dalam sekejap, tetapi Dia menurunkannya secara bertahap, untuk mendidik umat agar naik selangkah demi selangkah sesuai kemampuan. Para sahabat –raḍiyallāhu ‘anhum– membangun agama ini bersama Nabi ﷺ dengan penerimaan, periwayatan, dan pengamalan, hingga sempurna dengan turunnya firman Allah Ta‘ala (al-Ma’idah: 3):

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Setelah itu, generasi berikutnya melanjutkan dengan penyebaran, pengajaran, jihad, pembukaan wilayah, ijtihad pada peristiwa baru, dan perincian hukum. Semuanya bekerja di bidang yang mereka kuasai, tanpa seorang pun mencela orang lain. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Setiap orang dimudahkan untuk apa yang ia diciptakan baginya.” [17]

Dalam hadis Anas bin Malik –raḍiyallāhu ‘anhu–, Nabi ﷺ bersabda:

“Yang paling penyayang dari umatku terhadap umatku adalah Abu Bakar. Yang paling tegas dalam agama Allah adalah Umar. Yang paling jujur rasa malunya adalah Utsman. Yang paling ahli dalam ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit. Yang paling fasih membaca Al-Qur’an adalah Ubay bin Ka‘b. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu‘adz bin Jabal. Ketahuilah, setiap umat memiliki seorang yang terpercaya, dan orang terpercaya umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.” [18]

Metode ini juga dipahami oleh para pemimpin dakwah dan pemerintahan dalam Islam. Diriwayatkan, ‘Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata kepada ayahnya, Amirul Mukminin:

“Wahai Amirul Mukminin, apa yang akan engkau katakan kepada Tuhanmu kelak jika Dia bertanya kepadamu: ‘Engkau melihat sebuah bid‘ah tapi tidak engkau matikan, dan engkau melihat sebuah sunnah tapi tidak engkau hidupkan?’”

Maka ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata:

“Wahai anakku, apakah ini sesuatu yang disampaikan rakyat kepadamu agar engkau sampaikan kepadaku, atau pendapatmu sendiri?”

Ia menjawab: “Bukan, demi Allah, ini hanyalah pendapatku sendiri. Aku tahu engkau akan ditanya, maka apa yang akan engkau katakan?”

Beliau menjawab:

“Semoga Allah merahmatimu, wahai anakku, dan menjadikanmu penolong dalam kebaikan. Demi Allah, aku berharap engkau termasuk orang yang membantu dalam kebaikan. Wahai anakku, sesungguhnya kaummu telah mengikat perkara ini simpul demi simpul, ikatan demi ikatan. Jika aku ingin memaksa mereka untuk mencabut apa yang ada di tangan mereka, aku khawatir mereka akan membuat kerusakan besar sehingga banyak darah tertumpah. Demi Allah, lenyapnya dunia lebih ringan bagiku daripada tertumpahnya setetes darah karenaku. Apakah engkau tidak ridha jika setiap hari dari hari-hari hidup ayahmu, ia mematikan sebuah bid‘ah dan menghidupkan sebuah sunnah, hingga Allah memutuskan antara kita dan kaum kita dengan kebenaran, dan Dialah sebaik-baik hakim?” [19]

Seolah-olah anaknya sangat mendesak beliau, sampai suatu hari berkata:

“Wahai ayahku, apa yang menghalangimu untuk melaksanakan keadilan yang engkau inginkan? Demi Allah, aku tidak peduli jika aku dan engkau harus direbus dalam panci demi menegakkannya.”
Beliau menjawab:

“Wahai anakku, aku sedang melatih manusia sebagaimana melatih kuda yang liar. Aku ingin menegakkan suatu perkara keadilan, lalu aku menundanya hingga aku bisa mengeluarkan bersamanya sesuatu yang mereka sukai dari dunia, agar mereka tidak menolak yang ini sekaligus.” [20]

Maka, siapa pun yang tidak mampu pada satu bidang atau satu tahap, hendaklah ia melewatinya dan menyerahkannya kepada yang mampu, sebagaimana perkataan ‘Amr bin Ma‘dikarib:

إذَا ‌لَمْ ‌تستطِعْ ‌شَيْئا ‌فدَعْهُ
[21] وجاوِزْهُ إِلَى مَا تَستَطِيعُ

Sebuah Kisah Lucu

Abul ‘Ainā’ yang buta suatu kali mendatangi seorang pedagang keledai di pasar Kinasah Kufah. Ia berkata:

*“Wahai Paman, belikan aku seekor keledai yang tidak terlalu kecil hingga diremehkan, tidak terlalu besar hingga mencolok, tidak terlalu tinggi hingga sulit ditunggangi, tidak terlalu pendek hingga membuat susah. Jika jalan sepi ia berjalan cepat, jika ramai ia berjalan pelan, tidak menabrak tiang, tidak masuk ke bawah rumah beratap rendah, tidak berkeliaran ke padang, jika aku beri makan ia bersyukur, jika aku lapar

ia bersabar, jika aku yang menunggangi ia bergairah, jika orang lain menunggangi ia tertidur!”*

Maka pedagang itu menatapnya lama, lalu berkata:

“Wahai Abdullah! Tinggalkan aku. Jika Allah mengubah seorang qadhi menjadi keledai, maka akan aku belikan untukmu!” [22]

Apapun detailnya, atau bahkan apakah kisah ini benar terjadi atau tidak, sesungguhnya ini hanyalah cerita simbolis. Betapa banyak orang yang seperti Abul ‘Ainā’, mereka yang berpandangan serba ideal… Lelah sendiri dan membuat lelah orang lain, hanya karena terlalu mencari detail, dan detail dari detail! Menolak segala sesuatu hanya karena ada sedikit bagian yang tidak sesuai dengan bayangannya.

Maka terimalah apa yang paling sahih pada setiap bab, majulah dengan itu menembus samudra, dan manfaatkanlah sebab-sebab lain yang ada. Tidak ada kehidupan yang murni dan sempurna setelah masa kenabian, dan tidak ada kebebasan penuh dari kekurangan dalam kehidupan ini.

Sepanjang sejarah, tidak ada seorang pun –selain para nabi ‘alaihimus shalatu was salam– yang sempurna memiliki seluruh keutamaan, kelebihan, dan kemampuan. Jika kita menuntut adanya sosok seperti itu setelah mereka, maka kita hanya akan memperpanjang duduk dengan tangan menempel di pipi, menunggu sesuatu yang mustahil.

Penutup

Yang terbaik bagimu adalah: ketahuilah segala sesuatu secara mendalam tentang satu bidang (spesialisasi), dan ketahuilah sedikit tentang semua bidang (wawasan umum). Tetapi mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu, itu mustahil; tidak mungkin terjadi pada siapa pun. Dan sangat disayangkan bila engkau tidak mengetahui apa-apa tentang apa pun.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

________________________________________

[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (6858), dan Muslim (1337).

[2] Aẓ-ẓi’r: suami dari ibu susu.

[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1241), dan Muslim (2315).

[4] Lihat: Majmū‘ Fatāwā Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah (10/47).

[5] Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn karya al-Māwardī (hlm. 178), dan Syu‘ab al-Îmān karya al-Baihaqī (6/326), no. 8360.

[6] Siyar A‘lām an-Nubalā’ (14/376).

[7] Siyar A‘lām an-Nubalā’ (14/40).

[8] Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa an-Naql (2/102).

[9] Majmū‘ Fatāwā Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah (13/96).

[10] Bayān Talbīs al-Jahmiyyah (3/536).

[11] Majmū‘ Fatāwā Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah (28/210–212).

[12] Liqa’ al-Bāb al-Maftūḥ (43).

[13] Miftāḥ Dār as-Sa‘ādah (1/504).

[14] Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn karya al-Māwardī (hlm. 69), dan Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Fadlih (1/447).

[15] (يَفْرَك yafrak) artinya: membenci.

[16] Diriwayatkan oleh Muslim (1469).

[17] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4666), dan Muslim (2647).

[18] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (21/406, cetakan ar-Risālah), dinyatakan sahih oleh para peneliti edisi tersebut; juga diriwayatkan oleh at-Tirmiżī (3790), Ibnu Mājah (154), dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ (868).

[19] Ḥilyat al-Awliyā’ (5/283).

[20] Ḥilyat al-Awliyā’ (5/354).

[21] Asy-Syi‘r wa asy-Syu‘arā’ (1/362), dan al-Aṣma‘iyyāt (175).

[22] Kisah menarik ini diriwayatkan dalam berbagai versi oleh kitab-kitab sejarah dan sastra, lihat misalnya: Bahjat al-Majālis wa Uns al-Majālis (hlm. 124), Tārīkh Dimasyq karya Ibnu ‘Asākir (37/83), Akhbār aẓ-Ẓurafā’ wa al-Mutmāji nīn (hlm. 126), Akhbār al-Ḥamqā wa al-Mughafalīn (hlm. 134), Nihāyat al-Arab fī Funūn al-Adab (10/97), dan lainnya.

Check Also

KHUTBAH JUM’AT KE-9 (Oleh: Supendi, S.Sy.)

ALLOH MAHA KAYA (Oleh: Supendi, S.Sy.) KHUTBAH PERTAMA إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot
situs slot