Hampir tak mungkin bolamania tidak mengikuti pertandingan piala dunia 2010. Jika liga nasional saja disimak, mana mungkin pesta bola terbesar yang digelar setiap 4 tahun ini dilewatkan. Tak peduli tempat; di kamar ataupun di kafe. Tak peduli media; TV raksasa ataupun HP, baik sendiri maupun rame-rame, yang penting skor pertandingan, gol skorer, sang juara, dan pernak-pernik fenomena bola mesti disaksikan langsung. Bukan hanya malam, siang, sore, bahkan dini hari pun siap diluangkan untuk menyaksikan penampilan ketiga puluh dua tim yang berlaga.
Sebenarnya, sangat banyak hal yang perlu disorot terkait ajang selama satu bulan ini. Bisa dari si kulit bundar ‘jabulani’ yang belum diakbrabi oleh beberapa tim, ritual pemain dan pelatih agar menang atau merayakan kemenangan, media televisi yang jauh hari telah menghitung mundur moment piala dunia 2010, padahal bulan Ramadhan saja tidak pernah dihitung mundur, ataupun hal lain yang menyita perhatian namun terlanjur sulit ditolak.
Satu sisi yang nyata, piala dunia telah mampu mengubah pola tidur, aktivitas bekerja, pola hubungan keluarga, bahkan mengukuhkan jiwa pelanggaran syari’at. Betapa tidak, para bolamania mampu ‘melek’ siang malam di depan televisi, tak peduli dengan kinerja, rebutan program TV di antara anggota keluarga, bahkan tak sedikit dari mereka yang rela bertaruh uang (berjudi). Semua menjadi keasyikan yang terlanjur sulit ditolak. Apakah fenomena ini muncul begitu saja? Tentu tidak! Para bolamania telah terlebih dahulu termakan dengan berbagai jargon yang mewakili fanatisme bolamania. Kabomania, The Jak, Viking, atau yang lainnya di seputar liga nasional. Atau Internisti, Milanisti, Juventini, Liverpudian, Madridistas bagi para bolamania liga asing. Demikian pula ketiga puluh dua negara partisipan piala dunia beserta para pemainnya telah menjadi “dewa” yang fotonya dipajang di dinding kamar. Bahkan ketika belasan ribu warga Jakarta dan sekitarnya yang antre berjam-jam memanfaatkan kesempatan foto bersama trofi piala dunia saat dipamerkan di Jakarta Convention Centre 26 Jauniari 2010 yang lalu menunjukkan kekentalan fenomena bolamania ini.
Bukan hanya jargon fanatisme, adapula jargon ‘unity’ (persatuan) yang sering dilontarkan penggila sepakbola, “Bola sebagai media egaliter dan media pemersatu”. Alasannya, “Sepak bola lebih sukses daripada serangkaian konferensi-konferensi yang dilakukan untuk menyatukan seluruh umat di dunia”. “Di sini tidak ada lagi sekat etnis, suku agama maupun warna kulit.”
Benarkah demikian? Yang pasti, kesuksesan meraup rupiah dan dolar di tengah saudara kita di Palestina, Afganistan, Sudan, dan negara lain yang sedang berperang dan kelaparan. Yang jelas, kesuksesan kaum kufar menjajah kaum Muslimin yang rela menjadi supporter fanatik meskipun merogoh saku untuk kartu keanggotaan atau biaya besar yang dikeluarkan untuk transfer pemain asing, dan menggadaikan persaudaraan sesama Muslim lantaran berseteru dengan fanatik dari kesebelasan lain. Begitulah terjangan ideologi paganisme yang berbalut materialisme yang mendera akidah kita.
Fenomena di atas hanyalah segelintir catatan bagaimana ideologi paganisme yang berbalut materialisme dan hedonisme dengan nama sepakbola perlahan telah menyusup ke dalam ke-Islaman kita. Gagasan yang dibangun dari filosofi pagan ala Kabbalah Mesir Kuno ini memang tidak muncul dalam rupa menyeramkan. Memang Zionisme Yahudi tahu betul strategi yang langsung menembus titik lemah musuh-musuhnya, di negara yang tenang, mereka menjual sepakbola sebagai madzhab yang ternyata dibeli oleh sebagian kaum muslimin. Terlebih tanpa khawatir simbol klub, dan negara yang mewakili setan atau lambang agama lain pun dijadikan kebanggaan.
Apakah ini yang sayang untuk dilewatkan? Bersenang-senang dengan tayangan sepakbola atau lebih baik kita tersadarkan untuk memanfaatkan waktu kita dengan sesuatu yang bermanfaat dan tidak mencederai keimanan kita, dan jaminan agar di akhirat tidak mengatakan, “Kembalikanlah aku. Semoga aku bisa kembali beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.”