Kematian yang mengguncang Arsy
Seluruh pelosok Madinah mengenal seorang pemuda Aus, penunggang kuda yang pemberani dialah Sa’ad bin Mu’adz, yang berjuluk Abu Amr. Ayahnya adalah Mu’adz bin An-Nu’man dan Ibunya bernama Kabsyah bintu Rafi’. Dia termasuk wanita yang berbai’at kepada nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Adapun istri Sa’ad adalah Hindun bintu Sammak, bibi Usaid bin Hudhair. Sa’ad bin Mu’adz merupakan pemimpin kaum bani Al-Asyhal.
Pada saat da’i Islam, Mus’ab bin Umair telah menunjukkan taringnya sebagai seorang da’i yang mengajak kepada Islam dan telah berhasil mengajak beberapa orang untuk beriman kepada Nubuwwah Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wasallam, Sa’ad tercengang. Langsung ia memerintahkan sahabat karibnya, Usaid bin Hudhair untuk menemui Mus’ab yang ketika itu bersama As’ad bin Zurarah (anak bibi Sa’ad bin Mu’adz) agar mau menghentikan aksinya. Namun, sesampainya ditempat Mus’ab dan setelah berdialog dengannya, Usaid malah menyatakan keislamannya. Ia-pun segera pulang untuk menemui Sa’ad dengan harapan agar Sa’ad juga dapat mengikuti jejaknya.
Melihat keadaan Usaid yang raut wajahnya sudah tidak seperti ketika perginya, ia lalu bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu” Usaid menjawab, “Aku sudah berbicara dengan dua orang tersebut. Demi Allah, aku tidak melihat keduanya tidak mempunyai kekuatan. Aku sudah melarang mereka berdua, lalu keduanya berkata, “Kami akan melakukan sesuatu yang engkau sukai. Aku sudah di beri tahu bahwa bani Haritsah sudah menemui As’ad bin zurarah untuk membunuhnya, karena mereka tahu bahwa anak bibimu telah menghinamu.”
Mendengar hal itu, Sa’ad bangkit dengan marah, mengambil tombaknya lalu menghampiri As’ad bin Zurarah dan Mus’ab. Namun, tatkala Sa’ad melihat keduanya yang duduk tenang-tenang saja, barulah ia menyadari bahwa Usaid bermaksud mengakalinya agar dia bisa mendengar apa yang di sampaikan mereka berdua. Dengan wajah cemberut Sa’ad berdiri di hadapan mereka berdua, lalu dia berkata kepada As’ad bin Zurarah, “Demi Allah wahai Abu Umamah, kalau bukan karena ada hubungan kekerabatan antara kita, aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Engkau datang ke perkampungan kami dengan membawa sesuatu yang tidak kami sukai.”
Sebelum Sa’ad muncul, As’ad sudah memberitahu Mush’ab, “Demi Allah, seorang pemimpin yang beserta kaumnya, telah mendatangimu. Jika dia mengikuti seruanmu, maka tak seorang-pun diantara mereka yang akan menjauh darimu.”
Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “ Bagaimana jika engkau duduk dan mendengar apa yang aku sampaikan ..? jika engkau suka terhadap sesuatu yang aku sampaikan, maka engkau bisa menerimanya, dan jika engkau tidak menyukainya, maka kami akan menjauhkan darimu apa yang tidak kau sukai.”
“Engkau cukup adil” kata Sa’ad, sembari menancapkan tombaknya, dan duduk bersama keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan Al-qur’an dari permulaan surat Az-Zukhruf. Keduanya berkata, “Kami sudah dapat menangkap Islam di mukanya sebelum dia mengucapkan Islam dengan lancar dan mudahnya.” Kemudian Sa’ad bertanya, “Apa yang kalian lakukan tatkala dahulu kalian masuk Islam ?” Mush’ab menjawab, “Hendaklah engkau mandi, bersuci dan mempersaksikan dengan kesaksian yang benar.” Maka Sa’ad segera mandi dan mempersaksikan dengan kesaksian yang sebenarnya, kemudian dia shalat dua raka’at.
Sa’d kemudian memungut tombakmya, lalu kembali menuju balairung, yang di sana ada kaumnya. Setelah dia berdiri di hadapan mereka, ia berkata, “Wahai bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku di tengah kalian..?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti pendapatnya di antara kami dan orang yang paling kami percaya.” Sa’ad berkata, “Tak seorangpun diantara kalian, baik laki-laki maupun wanita dilarang berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Belum sampai petang hari, tak seorang-pun baik laki-laki maupun perempuan di Bani Abdul Asyhal melainkan sudah menjadi Muslim dan Muslimah.
Sesudah itu, jalan hidupnya berubah. Mengabdi dan berjuang untuk Islam adalah pilihannya. Dalam waktu yang singkat ia telah mengukir banyak momen-momen kepahlawanan yang luarbiasa. Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam harus perang di Badar, peperangan yang tidak di rencanakan, keputusan harus di ambil antara kembali ke Madinah atau maju dengan mengambil segala resiko. Namun hal ini tidaklah menyulutkan semangat jihad kaum Muslimin saat itu, baik dalam kalangan Muhajirin maupun Anshar. Maka Sa’ad yang mewakili orang-orang Anshar memberikan sikap dan dukungan yang tegas, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kami telah beriman kepadamu. Telah membenarkan engkau. Bahwa engkau adalah Rasulullah. Maka berangkatlah engkau. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sekiranya di hadapan kita ada laut yang menghadang, dan engkau menyebrangi laut itu, niscaya kami akan turut menyertai. Kami akan sabar dalam perang, tegar dalam pertempuran. Berangkatlah wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Semoga Allah memberikan apa yang menyenangkan hatimu.
Maka beliau Bersabda, “Berangkatlah kalian dan terimalah kabar gembira, karena Allah telah berjanji padaku salah satu dari 2 golongan. Demi Allah Subhanahu Wata’ala, seolah-olah aku sekarang melihat tempat kematian orang-orang itu.” Maka berangkatlah mereka dan pada akhirnya kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut, terkabul.
Di Uhud yang bergejolak, bandannya menjadi tameng Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tegak berdiri di sisi beliau.
Di Khandaq, ia turut mempertahankan Madinah mati-matian. Ia terluka terkena panah Hibban bin Qais Al-Araqah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk merawat Sa’ad di kemah Rufaidhah agar memudahkan beliau untuk menjenguknya. Pada saat itu Madinah di kepung dan tiba-tiba orang-orang Yahudi dari Kaumnya, Bani Quraidhah berkhianat. Mereka turut bersekutu dengan Quraisy, padahal sebelumnya mereka telah melakukan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Setelah kemenangan di perang Khandaq, Rasulullah langsung mengadakan pengepungan terhadap perkampungan Bani Quraidhah yang telah berkhianat. Setelah dua puluh lima hari, akhirnya orang-orang Yahudi Bani Quraidhah menyerah. Mereka meminta di hakimi oleh orang dari kaumnya sendiri. Maka Sa’ad bin Mu’adz yang disepakati dan Rasulullah menyetujui. Di tengah rasa sakit karena luka yang terus memburuk, ia berdo’a , “Ya… Allah, janganlah Engkau cabut nyawaku, sampai aku menyelesaikan urusanku dengan Bani Quraidhah.”
Ia bersikap tegas, dan itu adalah tabungan bagi kebesarannya di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. “Hukumannya adalah para laki-laki (dewasa)nya di bunuh, para wanitanya dijadikan tahanan dan harta, dibagi rata.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau telah menghukumi dengan apa yang ada diatas langit.”
Sesudah itu, hari-hari Sa’ad adalah penantian menuju keabadian. Ia memohon agar luka-luka itu mengantarkannya kepada kesyahidan. Ia dijenguk Rasul, yang berdo’a, “Ya… Allah, sesungguhnya Sa’ad ini telah berjuang di jalan-Mu. Maka terimalah ruhnya, dengan penerimaan yang sebaik-baiknya.”
Sa’ad ingin hari terakhir yang dilihatnya adalah wajah Rasulullah yang mulia. Ia-pun mengucap salam. “Assalamu’alaika Ya… Rasulullah.” Orang-orang berkabung, sedih, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Sungguh, kematian Sa’ad telah membuat singgasana Allah Subhanahu Wata’ala terguncang.” _SUBHANALLAH_
..:: WALLAHU ‘ALAM ::..