Pernah Suatu Ketika Abu Musa Al-Asy’ari pergi ke Bashrah berdasarkan perintah dari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab untuk menjadi seorang gubernur dan panglima. Hingga suatu saat Abu Musa Al-Asy’ari mengumpulkan para penduduk lalu berpidato di hadapan mereka. “”Sesungguhnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Allah dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian!”
Sehingga kejadian tersebut membuat semua orang heran dan bertanya-tanya. Mereka paham akan maksud dari pidato seorang gubernur tersebut bahwa terdapat pendidikan dan pelajaran di dalamnya, yang memang merupakan tugas dan kewajiban seorang gubernur dan panglima. Namun hal yang membuat mereka heran dan bertanya-tanya serta kagum ialah perihal “termasuk dari tugas gubernur untuk membersihkan jalan hidup mereka.”
Mungkinkah kita tahu dengan seorang gubernur ini, yang tentangnya Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Tak seorang pengendara pun yang pernah datang ke Bashrah yang lebih berjasa kepada penduduknya selain dia!”
Beliau adalah Abdullah bin Qeis dengan gelarnya Abu Musa Al-Asy’ari. Yang dahulu dengan segera meninggalkan negeri dan kampung halamannya, Yaman, menuju Makkah tatakala pertama kali ia mengetahui bahwa telah muncul seorang Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyerukan umatnya kepada tauhid. Dan menyerukan beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh umatnya untuk memiliki akhlak mulia.
Pada saat di Makkah, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, menerima tuntunan dan peningkatan iman dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian pulang ke negerinya dengan membawa kalimatulloh. Dan tidak lama setelah pembebasan khaibar selesai baru lah ia kembali kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun pada saat kepulangannya kali ini, Abu Musa tidak datang dengan seorang diri, akan tetapi ia bersama 50 orang laki-laki penduduk Yaman yang mendapatkan pengajaran darinya mengenai Dinulloh, dan juga beserta dua orang saudara kandungnya yaitu Abu Ruhum dan Abu Burdah.
Mengenai hal tersebut Abu Musa berserta penduduknya langsung mendapat sebutan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam nama bagi kaum/golongan mereka yaitu “Asy’ari”, dan Rasul pun melukiskan mereka sebagai orang-orang yang lembut hatinya di antara sesama. Dan Rasul pun sering mengambil tamtsil perbandingan bagi para sahabat yang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang-orang Asy’ari ini bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, sehingga mereka bagi rata. Mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka.”
Semenjak saat itu, kedudukan tinggi di tempati oleh Abu Musa di kalangan kaum Muslimin. Mulia-lah jalan hidupnya, sebab ditakdirkan sebagai seorang murid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga sekaligus Sahabatnya, serta dia pun menjadi penyebar Islam ke seluruh pelosok dunia.
Mayoritas sifat-sifat utama dan istimewa melekat dalam diri Abu Musa. Dan saat di medan perang ia merupakan prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh. Tak hanya itu keramahan dan ketenangan yang dimilikinya juga terkenal di kalangan para sahabat.
Abu Musa adalah seorang ahli hukum yang cerdas dan berpikiran sehat, yang di anugerahkan Allah sebagai orang yang mampu mengerahkan perhatiannya sehingga tecapai lah kunci dan pokok persoalan kasus yang dihadapi, dan ia juga memiliki kecemerlangan dalam berfatwa. Sehingga ada seseorang pada zamannya berkata: “ Qadhi atau hakim umat ini ada empat orang: Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit.”
Di medan perang, Abu Musa Al-Asy’ari memegang tanggung jawab dengan keberanian yang maksimal, hingga Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata mengenai dirinya, “Pemimpin dari pasukan bekuda adalah Abu Musa.”
Ketika berperang melawan imperium besar Persia, Abu Musa Al-Asy’ari memiliki saham dan jasa penuh di dalamnya. Bahkan Abu Musa Al-Asy’ari mejadi orang yang sangat dominan saat dalam peperangan di Tustar, yang merupakan benteng pertahan terkahir Hurmuzan.
Adapun ketika ada masalah pertentangan dengan sesama Muslim, ia lebih memilih tidak ikut campur di dalamnya. Dan pendiriaannya tersebut jelas terlihat saat perselisihan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah.
Bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Musa Al-Asy’Ari merupakan orang kepercayaan dan kesayangan beliau. Dan begitu pun yang dilakukan para Khulafa Ar-rasyidin serta para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sewaktu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari di angkat oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, ia kembali ke Madinah demi memikul tanggungjawab besar dalam jihad yang besar pula yang sedang di emban oleh tentara Islam melawan dua imperium besar kala itu yaitu Persia dan Romawi.
Pada Saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, Abu Musa di angkat sebagai gubernur di Bashrah. Kemudian pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan menunjuknya sebagai gubernur di Kuffah.
Termasuk dari ahli Al-Qur’an lah Abu Musa Al-Asy’ari, baik dalam menghapal, mentadabbur, dan pengamalannya. Di antara nasihat-nasihatnya, ada satu yang memberikan bimbingan mendalam mengenai Al-Qur’an ialah, “Ikutilah Al-Qur’an… dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur’an!”
Abu Musa juga termasuk salah seorang ahli ibadah yang tabah. Ketika siang hari di musim panas yang teriknya menyesakkan nafas, tidak menjadi alasan baginya untuk tidak berpuasa. Dengan perkataannya “semoga rasa haus di terik siang ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari kiamat nanti.”
Pada hari yang cerah, Malaikat maut menjalankan tugas untuk menjemput sosok satu sahabat mulia ini untuk kembali kepada sang khaliq. Cahaya nan cemerlang bersinar dari wajahnya, wajah seorang pejuang dinulloh yang mengaharapkan pahala serta rahmat Allah. Kalimat yang senantiasa diulang-ulang di akhir hayatnya ketika akan menghadap sang Pencipta. “Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mulah kumohon keselamatan.”
Sesaat sebelum kewafatannya beliau masih menyempatkan dirinya untuk memberi peringatan dan nasihat untuk sanak dan keluarganya agar senantiasa beriltizam terhadap sunnah Nabi. Dan berkat kumuliaan Allah terhadap beliau dan kelarganya dengan menjadikan keturunan-keturunan darinya sebagai ulama, qodhi dan perawi hadits, yang berdasarkan sebab keberkahan doa dari Rasulullah kepada beliau dan juga berkat keikhlasannya di dalam beramal.
Demikianlah kisah hidup dari perjalanan seorang hamba Allah yang juga merupakan salah satu sahaba yang dicintai Rasulullah, yang dirinya adalah seorang yang ahli ibadah, wara`, mujahid, dan faqih. Semoga kita semua selaku penerus generasi islam berikutnya dapat mengambil pelajaran dari semua itu dan semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita dalam menapaki kehidupan untuk mencapai ridho-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan husnul khotimah. Amin.. (Red-HASMI/Rep/al-qiyamah)