Da’wah adalah pekerjaan paling mulia, proyek massal, kerja besar, kunci kebangkitan sejati warisan para nabi. Para nabi dan rosul tidak mewariskan apapun kecuali risalah yang harus dida’wahkan. Sebuah warisan yang harus diemban oleh semua orang. Warisan yang selalu dikukuhkan, benihnya disemai di segala penjuru alam. Warisan yang lebih berharga dari harta. Warisan yang lebih mulia dari intan permata. Warisan yang akan mengantarkan kita pada ketinggian derajat di sisi Alloh . Warisan yang akan menyelamatkan manusia, personal maupun massal. Ya.. warisan para nabi yang seharusnya menjadi rebutan dan idam-idaman adalah da’wah kebangkitan.
Rosululloh bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi itu tidak mewa-riskan dinar ataupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi).
Pengertian ulama dalam hadits di atas ten-tu saja mereka yang mengamalkan dan men-da’wahkan ilmu mereka (al-‘ulama’ al-‘amilun). Mentarbiyyah manusia dengan ilmu. Syaikh Mazin bin Abdul Karim menyebut lima makna kerja da’wah robbaniyyah. Pertama, murobbi hakimin, adalah orang-orang yang mengajarkan ilmu dari perkara kecil hingga permasalahan besar. Kedua, da’iyyah mushlihah, menda’wahi umat dan memperbaikinya urusannya. ‘Amil bi ’ilmihi, mengamalkan ilmunya dan tidak ber-amal kecuali dengan ilmu. Hukamaa’ atqiya, orang bijak yang bertakwa. Faqih biwaqi’ ummatihi, faham dengan realita umat, mengetahui yang halal dan haram, mana perintah dan mana larangan, memahami permasalahan umat, dulu maupun kini. Ibnul Qoyyim menyatakan, mereka inilah pewaris sejati para nabi. (Ar-Raid Durus fit Tarbiyyah wad Da’wah)
Para nabi dan pewarisnya menjadi mulia karena da’wah yang ditegakkannya. Sebalik-nya, tidak berda’wah adalah kehinaan dan lubang keterpurukan. Tidak berda’wah adalah bid’ahnya Yahudi dan Nasrani. Padahal Nabi Musa habis usianya dalam da’wah, Nabi Isa apalagi. Tidak berda’wah berarti me-warisi sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum yang sesat lagi dimurkai. Kaum yang telah expired, tidak layak mengurus bumi di-karenakan mereka meninggalkan da’wah yang benar.
Dulu, mereka adalah kaum terpilih dan termuliakan dengan diutus nabi-nabi yang berda’wah di tengah mereka. Ketika mereka tidak bersedia mengemban warisan para nabi itu, terpuruklah mereka. Kemuliaannya sirna. Datanglah sebuah gerakan kebangkitan dipim-pin Nabi dan Rosul terakhir, Muhammad melakukan da’wah. Namun mereka enggan untuk bergabung. Sempurnalah keterpurukan-nya. Hingga Alloh menurunkan firman-Nya untuk mencela mereka:
“Mengapa rohbaniyyun dan ahbar mereka tidak melarang mereka mengucapkan per-kataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”(QS. al-Mai’dah (5) : 63)
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak ada dalam al-Qur’an suatu ayat pun yang lebih ke-ras celaannya daripada ayat ini.”
“Rohbaniyyun (yang culas) itu amat buruk kelakuannya, karena mereka telah meninggalkan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dikarenakan begitu terpuruknya mereka, dalam salah satu khutbahnya Ali bin Abi Thalib mewasiatkan agar jangan sampai se-perti mereka.
“Wahai manusia, sesungguhnya umat-umat sebelum kalian binasa hanyalah karena mereka melakukan kemaksiatan, sementara rahbaniyyun dan ahbar di kalangan mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak mencegah mereka. Ketika mereka larut dalam kemaksiatan, maka mereka mendapatkan hukuman. Oleh karena itu, beramar ma’ruflah dan cegahlah yang mungkar, sebelum adzab turun kepada kalian seperti yang pernah turun pada mereka. Keta-huilah bahwa menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar itu tidak akan me-mutus rizki dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Kanzul ‘Ummaal, II/683)
Seorang yang telah mengetahui suatu ilmu para nabi, wajib hukumnya menda’wahkannya. Maka da’wah adalah kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Alloh . Adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan da’wah yang telah di-tempuh oleh Rosululloh dan yang Beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya?!
“Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku ber-da’wah kepada Alloh dengan hujjah yang nyata…” (QS. Yusuf [12]: 108)
Beban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun bentuknya, bukan alasan yang mem-buat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan memenuhi seruan da’wah. Kebersamaan kita bersama Rosululloh , shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga –insya Alloh– ditentukan oleh sejauh mana kita meneladani mereka dalam kesigapan memenuhi seruan da’wah.
Begitu juga warisan terbaik untuk gene-rasi yang akan datang adalah warisan da’wah. Keadaan generasi nanti harus lebih baik dari saat ini. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka haruslah semulia-mulia warisan. Se-hingga mereka mengikuti jejak para pendahu-lunya yang memiliki kerja mulia. Janganlah melakukan kerja-kerja rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisksn keburukan pula. Oleh karena itu Alloh telah mengingatkan agar memper-hatikan nasib generasi berikutnya dengan me-wariskan nilai-nilai kebaikan bagi mereka.
“Dan hendaklah takut kepada Alloh orang–orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An Nisa’[4]: 9)
Akankah kita membiarkan diri kita dan generasi sesudah kita larut dalam keterpurukan bagaikan si buta di tengah rimba belantara yang terjerembab dalam lumpur hina? Ataukah bangkit menjadi titik-titik cahaya yang kian membesar menerangi zaman yang kelam? Ke-tika jelas sudah bahwa da’wah adalah kunci ke-muliaan dari kebangkitan sejati. Sedang tidak berda’wah adalah kehinaan jurang keterpuru-kan, maka tidak ada pilihan lain kecuali ber-da’wah.