Kewajiban kita terhadap nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah yang membahas tentang asma’ dan sifat Alloh.
Dalam memahami nash-nash al-aur’an dan as-Sunnah kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar zhohir nash dan tidak memalingkannya ke makna yang lain. Karena Alloh [swt] menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu, Nabi [saw] juga berbicara dengan bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Alloh [swt] dan perkataan Nabi [saw] sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna zhohir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Alloh [swt] tanpa dasar ilmu. Alloh [swt] berfirman,
“Katakanlah: ‘Robbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Alloh apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Secara zhohir, ayat ini menunjukkan bahwa Alloh [swt] mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Alloh [swt] tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan: ini termasuk memalingkan makna Al-Qur’an dari zhohirnya. Kita tidak boleh berkata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Alloh [swt] tanpa dasar ilmu yang benar.
Kaidah dalam Asma’-Asma’ Alloh [swt] seluruhnya husna (paling baik)
Dalam kebaikan Alloh lah yang paling tinggi karena nama Alloh [swt] mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.
Sebagaimana Alloh [swt] berfirman:
“Dan bagi Alloh asma’ul husna” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Contoh:
Ar-Rahman adalah salah satu nama dari nama-nama Alloh, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.
Nama Alloh [swt] tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil yang syar’i
Nama Alloh [swt] adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Alloh [swt] dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Alloh [swt] dengan nama yang tidak Alloh [swt] namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Alloh [swt] menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Alloh [swt] . Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Alloh [swt] .
Seluruh nama dari nama-nama Alloh [swt] menunjukkan atas Dzat Alloh, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Alloh [swt] kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut.
Kaidah dalam memahami sifat – sifat Alloh [swt] seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun
Seperti Al-Hayah (hidup), Al-Ilmu (mengetahui), Al-Qudroh (kehendak), As Sama (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Hikmah, Ar-Rahmah, Al-Uluw (tinggi), dan lain-lian. Alloh [swt] berfirman:
“Dan Alloh mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An-Nahl [16]: 60)
Karena Alloh [swt] adalah Robb yang maha sempurna, maka sifat-Nya harus sempurna.
Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Alloh, seperti Al-Maut (mati), Al-Jahl (bodoh), Al-Ajs (lemah), As-Samam (tuli), Al-‘Ama (buta), dan lain-lain.
Oleh karena itu, Alloh [swt] membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Alloh [swt] tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai Robb semesta alam.
Sifat Alloh [swt] terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Alloh [swt] untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al-Alim, Al-Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Alloh [swt] sesuai dengan keagungan-Nya karena Alloh [swt] sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Alloh [swt] lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat yang Alloh [swt] nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzolim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Alloh [swt] karena Alloh [swt] telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Alloh [swt] sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.
Contohnya, sebagaimana Firman Alloh [swt] :
“Dan Robbmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahfi [18]: 49)
Kita wajib menafikan sifat dzolim dari Alloh [swt] disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Alloh [swt] yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.
Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Alloh [swt] seperti sifat As-Sama, Al-Bashar.
Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Alloh. Jika Alloh [swt] menghendaki, maka Dia melakukannya dan jika Alloh [swt] tidak menghendaki, maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ (bersemayam) di atas arsy, sifat maji’ (datang)
Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Alloh [swt] senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Alloh [swt] berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.
Wallohu a’alam bishowab. (Red-HASMI/grms/Muhammad Sujud A.Md)