Di antara tuntutan syahadat kedua, yaitu: “Muhammad Rosululloh” adalah bahwa kita tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas perkataan Rosululloh . Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: “Tidak ada seorang hamba pun yang selamat dari adzab Alloh kecuali de-ngan dua tauhid, yaitu: tauhid al-mursil (لااله الاالله) dan tauhid mutaba’ah ar-Rosul (محمد رسول الله). Konsekwensi tauhid mutaba’ah adalah: Tidak berhukum kepada selain Nabi Muhammad dan tidak ridho sama sekali dengan hukum se-lainnya, serta tidak pula melaksakan perintah-nya dan membenarkan kabarnya menunggu kesepakatan perkataan siapa pun dari kalangan Syaikh (guru), imam, madzhab atau kelompok-nya.” (Syarah Aqidah Thahawiyah).
Ber-ittiba’ adalah bukti nyata kecintaan kepada Alloh , dan perealisasian ittiba’ akan melahirkan kecintaan dan keampunan dari Alloh , sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah:”Jika kalian (benar-benar) men-cintai Alloh, maka ber-ittiba’-lah kepadaku (ikutilah aku), niscaya Alloh mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 31).
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas sangat gamblang sekali memerintahkan agar ber-ittiba’ bukan ber-ibtida’ (berbid’ah, yaitu mengikuti selain syariat/hukum Rosul ). Surat al Fa-tihah yang menjadi syarat sahnya shalat yang dibaca setiap hari minimal 17 kali mengandung penjelasan hakikat ber-ittiba’, sebab di dalam-nya terdapat permintaan untuk diberi petunjuk jalan yang lurus (sirotol mustaqim), jelas sekali sirotol mustaqim adalah al-Islam, petunjuk Ro-sululloh , sebagaimana firman-Nya:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini ada-lah jalan-Ku yang lurus (sirotol mustaqim), maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Alloh kepada ka-lian agar kalian bertaqwa.” (QS. al-An’am [6]: 153).
Dengan ber-ittiba’ berarti seseorang se-dang melakukan pengawalan terhadap Islam yang murni dari noda kesyirikan, bid’ah dan noda-noda lainnya yang dapat merusak kemur-nian Islam. Tidak akan mungkin kemurnian Islam akan tetap terjaga jika umatnya tidak lagi konsisten kepada ittiba’. Karena Islam tegak di atas pengikutan kepada wahyu Alloh yang tersirat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang sohih.
Syirik Dalam Ketaatan
Ketika ketaatan kepada Nabi tidak bo-leh mendua, maka taat kepada yang lain ada-lah merupakan kesyirikan kepada Alloh, sebab taat kepada Rosul adalah taat kepada Alloh:
“Barangsiapa yang taat kepada Rosul, maka se-sungguhnya ia telah taat kepada Alloh.” (QS. an-Nisa’ [4]: 80)
“Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Alloh.” (QS. At-Taubah [9]: 31).
‘Adi bin Hatim ketika mendengar ayat tersebut, ia berkata, “Ya Rosululloh , sesung-guhnya kami tidak menyembah mereka (rahib-rahib). Maka Rosululloh menjawab, “Bukan-kah ketika mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan Alloh, kalian pun ikut menghalal-kannya. Dan ketika mereka mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Alloh, kalian pun ikut mengharamkannya?”. Ia menjawab, “Benar”. Nabi bersabda, “Itu berarti peribadatan ke-pada mereka (selain Alloh)”.
Syirik dalam ittiba’ terjadi ketika seseorang taat kepada selain Rosululloh . Mereka lebih memilih taat kepada ulama, kiyai dan lain se-bagainya, sekalipun pendapatnya bertentangan dengan Rosululloh .
Tauhid yang menjadi pilar Islam yang utama, tidak akan pernah bisa berfungsi, jika tidak dikawal dengan ittiba’, bahkan akan ber-balik menjadi syirik yang dapat menghancurkan sendi-sendi Islam. Jatuhnya bani Adam ke lem-bah kesyirikan setelah sepuluh abad lamanya mereka hidup dengan tauhid adalah karena mereka meninggalkan ittiba’.
Al-Ibtida’ adalah pokok pangkal kesesatan manusia.
Peribadatan, jika tidak dikawal dengan ittiba’ dipastikan akan terjatuh kepada ibtida’ (berbid’ah) yang sangat tercela!, Dengan ber-ibtida’ berarti telah mengubah Islam yang di-turunkan kepada Nabi Muhammad yang tidak pernah diizinkan Alloh .
Alloh berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sem-bahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?…” (QS. as-Syuro [42]: 21)
Rosululloh senantiasa mengingatkan para sahabatnya untuk selalu ber-ittiba’ kepada sunnahnya dan menjauhi perbuatan bid’ah yang menjadi lawan dari ittiba’.
Irbad bin Sariyah berkata: Rosululloh telah bersabda:
))عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ((
“Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat-kan petunjuk Alloh sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dengan sekuat-kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru (dalam agama), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Saudaraku kaum Muslimin…
Jadilah pengawal-pengawal kemurnian Islam, dengan cara ber-ittiba’ kepada Rosu-lulloh , yaitu mengikuti petunjuk yang murni yang diajarkan kepada para sahabatnya yang kemudian diwariskan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.