Indahnya Pernikahan Sesuai Syari’at Islam. (Bagian Akhir)

Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:

1)      Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus atau khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.

2)      Kerelaan dua calon mempelai, dengan dalil hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. al- Bukhori dan Muslim).

Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.

3)      Adanya wali bagi calon mempelai wanita.

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. al-Khamsah kecuali an-Nasa’i, dishohihkan al-Albani Rahimahullah dalam al-Irwa’ no. 1839).

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan al-Albani  dalam Sunan Abi Dawud)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah atau laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.

Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.

Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman atau khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An- Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib).

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dan seterusnya). Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah.

Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).

Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthon atau penguasa atau hakim. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya).

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim atau penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Maka sulthon (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan al-Albani  dalam Sunan Abi Dawud).

Syarat-Syarat Wali

Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali, yaitu laki-laki, berakal, beragama Islam, baligh dan tidak sedang berihrom haji ataupun umroh.

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Seorang yang sedang berihrom tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432).

Sebagian fuqoha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.

Wajibnya Mahar

Dalam pernikahan mahar merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan dihalalkan bagi kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. an- Nisa’ [4]: 24).

Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. an-Nisa’ [4]: 4).

Dalam ayat lain, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:  

“Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Akan tetapi ia tidak mampu untuk memberinya mahar, akan tetapi ia hanya menghafal beberapa surat dari al-Qur’an, maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pun menikahkannya dengan mahar hafalan orang tersebut. (HR. al-Bukhori dan Muslim).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan bahwa ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menikahkan ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu dengan putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah- mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, al-Albani Rahimahullah dalam Shohih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shohih).

Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.

Tidak disukai berlebih-lebihan dalam mahar.

Uqbah bin ‘Amir Radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan al-Albani  dalam al-Irwa’ no. 1924).

‘Umar ibnul Khaththab Radiyallahu ‘anhu menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih- lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, tentunya Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud. Al-Albani Rahimahullah dalam Sunan Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shohih).

Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang atau benda tertentu. Bahkan mengajarkan surat-surat al-Qur’an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d Radiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai Radiyallahu ‘anha dari perbudakan sebagai maharnya seperti tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu.

Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim Radiyallahu ‘anha ketika menikah dengan Abu Tholhah Radiyallahu ‘anhu.

Setelah Akad.

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma’ bintu Yazid bin as-Sakan Radiyallahu ‘anha.

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya (HR. Abu Dawud no. 2160, yang dihasankan al-Albani Rahimahullah dalam Shohih Sunan Abi Dawud).

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk sholat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdu Rozzaq. Syeikh Al-Albani Rahimahullah berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”.

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah teladan dalam berumah tangga

Meniti jejak Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kehidupan berumah tangga adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim yang menginginkan kebahagiaan dalam berumah tangga.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS. al-Ahzab [33]: 21)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah bersumpah tentang keagungan akhlak Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qolam [68]: 4).

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” -Dan di dalam sebuah riwayat-: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebagusan akhlak.” (HR. Ahmad di dalam Musnad (2/318) dan al-Bukhori di dalam al-Adab al-Mufrod no. 273).

“Rosululloh adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (HR. al-Bukhori dan Muslim).

Seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila dia menjadikan Rosululloh  sebagai suri teladan dalam semua tatanaan kehidupannya. Baik ketika dia seorang diri, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia akan berbahagia di saat banyak orang dirundung kesedihan. Dia akan tenteram di saat orang-orang dirundung kegelisahan. Dia akan terbimbing di saat semua orang tersesat jalannya. Dia akan tabah dan sabar di saat orang lain gundah gulana.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan jika menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. an-Nur [24]: 54).

Beberapa Akhlak Menuju Keluarga Sakinah.

Setiap Muslim meyakini tentang kedudukan akhlak dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Di sini, ada beberapa akhlak dan adab yang harus ada pada suami-istri, yakni berupa hak di antara keduanya, sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Alloh dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Alloh dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqoroh [2]: 228).

1.      Keduanya memiliki sifat amanah.

Jangan sekali-kali salah satu dari keduanya mengkhianati yang lain, karena mereka   berdua tak ubahnya dua orang yang sedang berserikat, sehingga dibutuhkan amanah, menerima nasihat, jujur dan ikhlas di antara keduanya dalam segala kondisi.

2.      Memiliki kasih sayang di antara keduanya.

Sang istri menyayangi suami dan begitu juga sebaliknya, sang suami menyayangi istrinya. Ini merupakan perwujudan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang.” (QS. ar-Rum [30]: 21).

3.      Menumbuhkan rasa saling percaya antara kedua belah pihak.

Jangan sekali-kali terkotori dengan keraguan terhadap kejujuran, amanah, dan keikhlasannya.

4.      Lemah lembut, wajah yang selalu ceria, ucapan yang baik dan penuh penghargaan.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. an-Nisa’ [4]: 19).

Demikianlah paparan singkat tentang keindahan pernikahan dalam Islam. (Red-HASMI)

 

Check Also

IMRAN BIN HUSHAIN/Seperti Malaikat

IMRAN BIN HUSHAIN Seperti Malaikat   Pada tahun Perang Khaibar, ia datang kepada Rasulullah ﷺ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *