Tapanuli
adalah sebutan untuk daerah di pantai Barat Sumatera Utara yang asal katanya dari “Tapian Nauli”. Dibatasi oleh Danau Toba dan pegunungan Bukit Barisan di tengah dengan pesisir Timur Sumatera Utara yang kerap disebut Sumatera Timur atau Melayu Deli.
Daratan yang terbentangi dengan perbukitan Bukit Barisan ini lebih tepatnya termasuk dari bagian Provinsi Sumatera Utara yang beribukotakan Medan. Ketika kita mendengar sebutan Medan maka pikiran kita sudah pasti tertuju pada penduduknya yang bersuku Batak, dan mayoritas dari suku Batak terkenal dengan suku yang hobi mengkonsumsi binatang yang bernama anjing, ini artinya bahwa mayoritas penduduk Sumatera Utara atau orang Medan adalah orang-orang di luar Islam. Ya… Dan memang, mayoritas di sana beragama Kristen.
Untuk Tapanuli sendiri terdiri atas multi etnik, yaitu suku Batak, Minang, Jawa-Madura, Bugis, Cina, Aceh, Melayu, Sunda, dan lain-lain, dengan mayoritas suku yang mendominasi tentunya tetap suku Batak. Adapun masyarakatnya, mayoritas menganut agama Kristen Katolik, Kristen Protestan, Islam dan Budha. Penganut Agama Islam sangatlah minim di kota ini, maka banyak sekali kejadian-kejadian yang menyalahi hukum dan hak kemanusiaan di sana.
Meskipun media senantiasa menyiarkan dan menampilkan berita-berita tentang kerukunan, keamanan, ketertiban dan toleransi dalam kemasyarakatan, ini tidaklah seratus persen dapat dibenarkan. Media, yang notabene kepemilikannya dikuasai oleh orang-orang non Muslim nyatanya hanya mengomentari dan mengekspos mengenai kemiskinan dan pengangguran, sedangkan kasus-kasus yang menimpa kaum Muslimin di sana, tidak ada yang mau membuka mulut untuk menginformasikannya.
Keadaan Sesungguhnya
Kaum Muslimin di Tapanuli mendapatkan himpitan dari orang-orang non Muslim (Kristen) dikarenakan kelompok Muslimin adalah kelompok minoritas, sedang dominan penduduk aslinya adalah suku Batak yang beragama Kristen.
Banyak kasus-kasus yang menimpa kaum Muslimin di sana hanya dianggap seperti angin lalu saja tanpa ada tindak lanjut yang ditangani secara serius atau mendapatkan perhatian dari pihak negara. Apabila yang menjadi bahan intimidasi adalah orang Islam maka hal ini tidaklah menyalahi aturan. Tapi apabila yang mengalami intimidasi dari golongan non Muslim atau yang melakukannya dari sekelompok orang Islam, maka pengusutannya akan diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Alangkah tidak malunya orang yang menjabat sebagai pemimpin di negeri ini, apalagi pemimpin itu juga mengaku bahwa dirinya adalah beragama Islam.
Kita masih ingat dengan penyerangan yang dilakukan oleh orang kafir ke kampung Melayu Muslim beberapa tahun yang lalu, tapi permasalahan ini dianggap biasa, dan bahkan sama-sekali tidak ada penanganan untuk menuntaskan pelaku penyerangan tersebut. Kemudian berapa banyak bangunan masjid yang rata dengan tanah atas ulah tangan-tangan kotor dan jiwa-jiwa yang najis, tapi sama sekali tidak pernah naik ke atas publik?
Klaim-klaim buruk yang menjurus pada orang Islam ketika sege-lintir dari mereka melakukan secuil kesalahan selalu saja dibesar-besarkan, bahkan diberi sebutan dengan suatu yang mengerikan seperti terorislah dan lain-lain. Akan tetapi apabila yang melakukannya adalah orang kafir atau yang menjadi korban adalah orang Muslim, maka pelakunya tidak mendapatkan julukan negatif yang merusak citra diri.
Sungguh mengerikan sekali ketika yang mendominasi suatu lingkungan adalah bukan dari golongan Islam, hukum yang diberlakukan bukanlah hukum Islam. Pastinya semua pihak akan dirugikan dan selalu terancam. Itulah ancaman apabila aturan yang dijalankan bukan aturan ilahi aturan yang hanya mengikuti hawa nafsu semata, maka yang terjadi adalah penyingkiran atas siapa saja yang mencoba menghalangi langkah-langkah nafsunya. Wal’iyadzubillah.