BOYOLALI – Nampaknya, Bukanlah Indonesia jika suatu tradisi tak di barengi dengan berbagai ritual berkedok Islam, yang menurut mereka mengandung banyak keberkahan. Seperti tradisi “Sadranan” atau “buka luwur”, contohnya.
Guna menggelar tradisi “Sadranan” atau “buka luwur”, ribuan warga dari berbagai kalangan bahkan dari berbagai daerah rela memadati makam “Ki Ageng Pantaran” di Candisari, Ampel, Kabupaten Boyolali yang mereka anggap mengandung banyak keberkahan. Pada Jum’at (23/12/2011) kemarin.
Parahnya lagi, Pengunjung dalam acara ritual tersebut bukan hanya dari Boyolali saja, melainkan juga dari luar daerah diantaranya adalah : Kota Semarang, Solo, Salatiga, Grobogan, Klaten, dan Kabupaten Semarang.
Pengunjung yang datang tersebut tidak hanya mengikuti acara doa bersama, tetapi mereka juga rela berdesak-desakan memperebutkan takir nasi, janur, juga potongan kain bekas penutup makan. Mereka menganggap benda itu, dapat membawa berkah.
Menurut salah satu pengunjung asal Salatiga, Winoto. Kegiatan tersebut dilakukan setiap 25 Sura atau pada minggu ketiga, dan hal ini sudah menjadi tradisi mereka untuk mencari berkah.
“Saya datang ke sini untuk berziarah ke petilasan Syeh Maulana Ibrahim Maghribi,” ujar Winoto.
Pitoyo (65 Th). Selaku tokoh masyarakat Candisari menjelaskan, mereka melakukan prosesi ritual di antaranya doa bersama memohon keselamatan dan kesejahteraan dari hasil bertani. Warga itu kemudian membagikan hasil bumi berupa kenduri kepada pengunjung di sekitar makam tersebut.
Menurut Pitoyo, ritual Buka Luwur dilakukan sejak zaman nenek moyang. Zaman penyebaran Agama Islam di desa ini, yang dilakukan oleh “Syaikh Maulana Ibrahim Maghribi”.
Pitoyo beranggapan, saat Syaikh Maulana Ibrahim Maghribi menyebarkan ajaran Agama Islam di wilayah ini, salah satunya dengan memberikan sebagian sedekah dari hasil bumi, sehingga warga sekitar melestarikannya sampai sekarang.
Ia menjelaskan, ritual buka luwur ditandai dengan kirab 20 orang yang berpakaian kejawen. Mereka membawa kain mori putih dan payung mutha untuk diserahkan kepada juru kunci sebagai pengganti tutup batu tempat semedi “Ki Ageng Pantaran”. Ritual ini dilanjutkan dengan tabur bunga, dan diakhiri dengan tahlilan juga Ngalab berkah.
Ironisnya, warga juga membawa Tumpeng Rasulan yang mereka anggap merupakan simbol penghormatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beserta keluarga dan para shahabatnya.
Sri Ardiningsih selaku Sekretaris Daerah Boyolali, dalam acara tersebut mengatakan, sebelumnya ritual yang diyakini membawa berkah hanya dilakukan oleh warga masyarakat desa setempat.
Namun, ungkap Sri, hampir 10 tahun ini, kegiatan tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi asset wisata di Kabupaten Boyolali.
“Sehingga, kegiatan itu, diharapkan mampu menarik para wisatawan berkunjung ke desa ini,” Pungkasnya. (Admin-HASMI/antr).