Selamanya, syirik tidak akan pernah bisa bercampur dengan tauhid. Sebagaimana tidak pernah bersatunya siang dengan malam, begitu pula tidak mungkin syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang dalam satu waktu. Setitik syirik akbar akan menghancurkan segala amal sholeh yang telah lalu, sebesar dan sebanyak apapun itu. Sedetik syirik akbar akan membatalkan segala amal yang telah dikerjalan bertahun-tahun dahulu. Maka pantaslah kalau thogut terbesar, Iblis laknatulloh ‘alaih, menjadikan syirik sebagai target nomer wahid.
Beragam tandingan diorbitkan. Seribu satu jalan dibentangkan. Berlapis-lapis proposal diajukan. Beragam cerita-cerita dusta dikarang. Tujuannya utamanya menjerumuskan manusia pada syirik, lalu di akhirat bisa kekal mendekam di neraka jahannam.
Salah satu jurus jitu Iblis, adalah kamuflase. Tipuan besar dihamparkan menutupi hakikat syirik agar seolah itu tidak bertentangan dengan Islam. Topeng-topeng dikenakan, demi menipu umat agar terlumat syirik. Nama dan atribut Islami dikenakan, agar aroma syirik tidak tercium.
Sebut saja JIL. Komunitas orang-orang penoda, tukang acak-acak ajaran Islam dan menuhankan akal. Menguasai hampir semua perguruan tinggi Islam. Radionya saja mengudara di lebih dari 200 kota, dari Aceh sampai Papua. Tulisan-tulisan para tokohnya bertebaran di berbagai media massa. Berani-beraninya mereka menyebut dirinya “Jaringan Islam Liberal.” Padahal lebih pas disebut sebagai “Jaringan Iblis ter-Laknat”.
Fakta hari-hari ini, berbagai ritual syirik tak jauh dari penipuan. Tradisi syawalan misalnya, biasanya diringi tradisi larung sesaji. Materi yang dilarung berupa kepala kerbau bersama tumpeng tujuh lauk kemudian dihanyutkan (dilarung) ke tengah laut, diiringi tetabuhan rebana. Pasca prosesi, para tokoh masyarakat dan ‘ulama’ melakukan doa bersama di atas kapal. Tradisi seperti ini dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sekitar Margolinduk, Purworejo, dan Demak Jawa Tengah, beserta Muspida dan sejumlah ‘ulama’ setempat.
Sekilas, karena ada ‘ulama’, ada doa bersama berbahasa Arab, maka masyarakat awam akan menyangka ini bagian dari ajaran Islam. Sebenarnya tidak, bahkan bertentangan.
Di Jepara, warga ada yang sekadar berendam atau membasahi tubuh dengan air laut, untuk membuang sial. Ritual seperti ini sudah berlangsung lebih dari satu abad, tak bergeming sampai dengan hari ini.
Dalam Islam tidak ada istilah membuang sial. Sial tidak akan menimpa manusia kecuali Alloh menetapkan-Nya.
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Alloh untuk kami. Dia lah pelindung kami, dan hanya kepada Alloh orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS.at-Taubah: 51).
Bukan hanya bulan Syawal yang dijadikan momen menggencarkan kemusyrikan, tetapi juga bulan Muharram (Jawa:Suro). Sebagian Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi). Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa dengan bahasa Arab. Meski menggunakan kyai, ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa syirik kepada Alloh.
Walau hanya setetes keringat ataupun satu rupiah saja yang dikeluarkan untuk kemusyrikan, itu terlampau mahal. Apalagi kemusyrikan itu menghabiskan dana ratusan juta. Di desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kudus, Jawa Tengah, tradisi larung sesaji sampai menghabiskan dana sebesar Rp. 350 juta. Sang pemimpin negeri sendiri pernah menyumbang Rp 200 juta untuk ritual syirik di Bali. Uang sebanyak itu dihambur-hamburkan untuk melakukan sesuatu yang selain tidak rasional juga musyrik. Artinya, dengan uang sebanyak itu pelakunya tidak mendapat keuntungan apa-apa di dunia dan akhirat. Bahkan kerugian besar.
Tidak sampai bernilai tinggi apalagi sampai ratusan juta rupiah, hanya dengan berkorban lalat saja untuk setan, maka akibatnya masuk neraka.
“Ada seorang yang masuk naar (neraka) karena lalat dan seorang lainnya yang masuk jannah (surga) karena lalat”. Maka para sahabat bertanya, “Bagaimana bisa begitu wahai Rosululloh?” Maka jawab Nabi , “Dua orang lelaki lewat pada suatu kaum yang memiliki berhala yang tidak boleh dilewati tanpa berkorban sesuatu. Maka kaum itu berkata kepada lelaki yang pertama, “Sembelihlah kurban! Jawab lelaki tersebut, “Aku tidak punya sesuatu untuk dikorbankan.” Maka kata kaum tersebut, “Berkurbanlah walau hanya dengan seekor lalat!” Maka lelaki itu melakukannya dan ia bisa lewat dengan selamat, tetapi ia masuk neraka.
Hal yang sama terjadi pada lelaki yang kedua, saat diminta berkurban ia menjawab, “Aku tidak akan berkurban sesuatu apa pun selain kepada Alloh ,” maka lelaki yang kedua ini dipenggal kepalanya oleh mereka dan ia masuk surga.” (HR. Ahmad dalam Az-Zuhd dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/ 203).
Anehnya, fakta kesyirikan menjadi berita primadona di media-media massa. Dikemas sebagai keunikan budaya daerah, kearifan, terkesan penting untuk dijaga, dilestarikan, bahkan ditiru di daerah lainnya. Dihiasi sosok berjubah, bersurban. Ada yang menawarkan solusi pengobatan alternatif, memindahkan penyakit ke binatang, dengan menggunakan gelar ustadz. Menusuk pelan, tapi sesungguhnya terasa menikam bagi yang memiliki sedikit saja iman yang benar.
Belum lagi tayangan-tayangan sihir, kadernya pun sudah sampai pada anak-anak kecil, didampingi sang ibu yang tak jarang terlihat berjilbab. Hasilnya kesyirikan adalah hiburan, mengasyikkan, biasa, sangat akrab. Sinetron-sinetron mistik, pemburu hantu, diselingi bacaan al-Qur’an sebagai senjata mengusirnya, menanamkan aqidah batil menjadikan anak kecil hingga ibu-ibu takut ke belakang sendirian malam-malam. Tawaran ramalan nasib, jodoh, masa depan, dibalut kata-kata “insya Alloh”, berjubel-jubel, tak terdengar seruan yang menghendaki agar dihentikan.
Da’wah kesyirikan di negeri ini begitu gencar. Didukung secara struktural, dibantu berbagai sarana dan media, disokong harta yang melimpah ruah, para dainya kerja keras siang malam. Ko’ bisa? Ya… Karena tak ada lawan. Da’i tauhid sepi, minim dukungan. Bekerja hanya mengandalkan waktu sisa. Miris. Mereka bertahun-tahun da’wah syirik, bahkan berabad-abad, ga’ bosan. Kita? Sebulan, dua bulan, bosan. Mereka anggarkan jutaan bahkan milyaran, besar kemungkinan triliunan. Kita? Recehan? Kencleng penuh saja sudah bangganya luar biasa. Malah sempat-sempatnya hidup foya-foya. Mereka, sadar atau tidak, berbaris rapi, bahu-membahu, sokong-menyokong. Kita? Cerai berai, sibuk dengan ego pribadi? Padahal mereka berjuang naar. Kita dijanjikan jannah!
Apakah surga Murah? Akankah kita lemas terkulai, diam? Tidak! Tidak… ya Hasmi..!! Wahai pejuang Hasmi..!! Kaulah secercah cahaya harapan umat. Teruslah bergerak kencang. Beli surga dengan seluruh harta, jiwa dan raga. Beli dengan semua tenaga dan pikiran yang ada!
(Red-HASMI)