Hidup di tengah ketidakmurnian adalah derita plus kesengsaraan. Apalagi bagi seorang pejuang. Rasa tersiksa tentu semakin menghujam. Anehnya, banyak orang yang mengaku sedang berjuang, tetapi malah loyal (wala‘) dengan musuh-musuh Islam. Kemurnian ditanggalkan, dibuang jauh, “ukhuwah” dengan musuh dibina mesra, dengan alasan mashlahat da’wah, agar terhindar dari kekejaman mereka.
Kenapa ini bisa terjadi?
Tidak lain adalah lemahnya aqidah al–wala’ wal baro’. Lemahnya cinta karena Alloh [swt]. Lemahnya peribadahan mereka kepada Alloh [swt]. Padahal, cinta ini adalah pilar asasi bangunan ubudiyah kepada Alloh. Ditambah lagi penyakit wahn (kecintaan yang luar biasa tehadap syahwat, baik berupa harta benda, wanita maupun tahta). Kemudian kecintaan terhadap hawa nafsu itu menjadi standar pijakan menentukan loyalitas (al-wala’ wal baro) sesuai dengan hawa nafsu dan akal duniawi mereka.
Padahal, Alloh [swt] telah memberi peringatan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nashroni menjadi teman dekatmu; sebagian mereka adalah teman dekat bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim.
Maka engkau akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nashroni), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Alloh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rosul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. al-Ma’idah: 52)
Orang-orang yang menjual dakwah kemurnian dengan loyal kepada musuh, kelak akan menye-sal. Karena orang-orang kafir tidak bisa mendatangkan manfaat se-dikitpun. Bahkan sikap seperti itu hakikatnya adalah mafsadah (kerugian) karena aib mereka terbuka. Alloh [swt] menampakkan aib mereka kepada orang-orang beriman. Kaum Mukminin lantas tercengang, bisa-bisanya mereka mengaku sebagai pejuang dan bersumpah atas keimanan mereka, padahal telah jelaslah kedustaan mereka. Keheranan ini, Alloh [swt] terangkan dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: “Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Alloh, bahwasanya mereka benar-benar beserta engkau?” Rusak binasalah se-gala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang me-rugi.” (QS. al-Ma’idah: 53) (lihat: Tafsir Ibnu Katsir)
Sayyid Quthb mengurai permasalahan ini dengan sangat tajam:
“Mashlahat da’wah telah menjelma menjadi berhala, Ilaah (Tuhan) yang diibadahi oleh para aktifis da’wah dan menjadikan me-reka melupakan manhaj da’wah Rosul yang murni dan orisinal.” (Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Juz 4 halaman 2435)
Kewajiban setiap aktifis dakwah adalah tetap istiqomah di atas manhaj Rosululloh [saw] dengan sekuat tenaga, menjaga agar tidak tergoda oleh segala bujuk rayu yang pada akhirnya justru akan menghancur leburkan bangunan da’wah. Bahaya yang harus terus diwaspadai oleh para aktifis dakwah adalah penodaan terhadap kemurnian, menyimpang dari manhaj da’wah Rosululloh [saw] dengan alasan apapun, sekecil apapun. Karena sesungguhnya Alloh lah yang lebih mengetahui tentang kemas-hlahatan dibandingkan semua makhluk-Nya. Sedangkan kita tidak dibebani sama sekali untuk mewujudkan mashlahat seperti itu. Kita hanya diwajibkan memegang satu hal saja: “Agar tidak me-nyimpang sedikit pun dari Manhaj Rosululloh [saw] dan tidak menyerah kalah lalu meninggalkan jalan dakwah yang penuh berkah.”
Islam melarang sikap mudahanah, yaitu pura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar serta lalai karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Berbaik hati, bermurah hati, berteman dekat dengan ahli maksiat, ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu, itulah mudahanah. Ia telah meninggalkan cinta karena Alloh dan permusuhan karena Alloh. Bahkan ia mem-berikan dorongan kepada para pendurhaka dan perusak. Maka seorang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman Alloh [swt] :
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isroil dengan lisan Dawud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan me-reka durhaka dan selalu melam-paui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Se-sungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan
orang-orang yang kafir (musyrik).” (QS. al-Ma’idah: 78-80)
Islam membolehkan mudaroh, yaitu menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut, meninggal-kan kekerasan dan sikap kasar, berpaling dari orang jahat jika di-takutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.
Dari Aisyah bahwasanya seorang laki-laki meminta izin masuk menemui Nabi, seraya berkata, “Dia saudara yang jelek dalam keluarga”. Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi beliau berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut. Maka ‘Aisyah berkata, “Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan”. Maka Rosululloh bersabda, ‘Sesungguhnya Alloh membenci ‘fuhsy’ (ucapan keji) dan ‘tafahusy’ (berbuat keji).” (HR. Ahmad)
Nabi [saw] telah berbuat mudaroh dengan orang tadi ketika dia menemuinya -padahal orang itu jahat-, karena beliau menginginkan kemashlahatan agama. Ini menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala’ wal bara’, apabila kemashlahatannya lebih besar berupa menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan mempe-ringan kejahatan. (Al-Wala’ dan Al-Baro’, Dr. Shalih bin Fau-zan bin Abdullah al-Fauzan)
Masa yang kita hadapi ini adalah masa di mana banyak terjadi kerancuan dan kesamaran. Fenomena kenyataan yang sangat memilukan. Kebatilan dimaknai kebenaran, kejahatan dinamai kebaikan, keburukan dikatakan keindahan, penjajahan disebut pemakmuran, teror digunakan sebagai penyelamatan. Sehingga susah dibedakan antara pecinta kebenaran dan pembencinya, antara pejuang kebenaran dan musuhnya, kelihatannya sama saja, tak jauh beda, bahkan duduk satu meja. Musuh telah lihai menyihir dan me-mutar balik makna. Akan tetapi semua itu jangan menjadikan kita takut menyerukan kebenaran.
Imam Ahmad pernah di-tanya, “Apakah orang beriman akan merasa takut?, maka beliau menjawab: “Kalau ikhlash, ia tidak akan takut.”
Islam adalah agama mulia. Membersamai pejuang Islam adalah kemuliaan. Sebaliknya, lawan dari Islam adalah kehinaan. Membersamai, setia, muwalah, berukhuwah mesra dengan orang-orang kafir yang menjadi musuh-musuh Alloh [swt] adalah kehinaan. Bahkan jalan meraih kejayaan, kemenangan dan pertolongan Alloh [swt] adalah memusuhi dan menjauhi orang-orang kafir tersebut. Dunia tak akan berubah di tangan para pengecut lagi gamang. Ia hanya maju dan mulia di tangan para pemberani penjaga kemurnian, tegas dalam loyalitas. Cintanya dan pembelaannya hanya untuk Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman.
Al-Imam Ibnul Qoyyim [rahimahu] memberikan nasihat yang sangat berharga:
“Berpegang teguhlah kalian dengan ushul (pokok) agama kalian, dari awal hingga akhir dan dari pangkal hingga ujungnya, yaitu syahadat Laa ilaaha Illalloh. Fahamilah maknanya, cintailah orang-orang yang berpegang teguh kepadanya dan jadikanlah mereka sebagai saudara, walaupun jauh tempatnya. Ingkarilah para thogut, jadikanlah mereka musuh, bencilah siapa saja yang mencintai mereka, bantahlah mereka atau orang-orang yang tidak mengingkari para thogut tersebut. Atau katakanlah: Alloh tidak me-merintahkanku untuk bersama me-reka karena mereka telah berdusta atas nama Alloh. Bahkan Alloh memerintahkanku untuk menolak ke-kufuran mereka dan berlepas diri dari mereka. Walaupun mereka adalah saudara atau keluarga. Ingatlah Alloh! Berpegang teguhlah kalian dengan ushul agama kalian agar ketika kalian bertemu dengan Robb kalian tidak dalam keadaan mempersekutukan-Nya.” (ad-Durar as-Saniyyah: 2/ 119-120)
(Red-HASMI)