Umat Islam semenjak zaman Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sampai sekarang tidak pernah berbeda pendapat bahwa as-Sunnah atau al-Hadits adalah sumber kedua dalam Islam. Tidak ada yang meragukan tentang hal ini. Ia sudah menjadi suatu kebenaran yang pasti. Sama pastinya dengan kebenaran bahwa Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Nabi yang diutus oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dalil-dalil tentang hal ini pun banyak sekali dan alhamdulillah sangat jelas. Suatu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Perbedaannya adalah al-Qur‘an wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala secara makna dan lafazh (kata-katanya), sedangkan hadits adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala secara makna (kandungan)nya saja, adapun lafazhnya dari susunan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 3-4).
Ini adalah nash yang tegas bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membawa sesuatu dari dirinya. Apa saja yang beliau ucapkan yang berkaitan dengan tasyri’ (syariat) adalah wahyu dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala, baik wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur‘an ataupun wahyu yang maknanya dari sisi Alloh sedangkan kata-katanya dari susunan Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam (al-Hadits). Jadi, al-Qur’an dan Hadits kedua-duanya adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam ayat yang lain Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanan-nya. Kemudian benar-benar Kami potong urat nadinya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari melakukan hal itu.” (QS. al-Haqqoh [69]: 44-47).
Ayat tersebut merupakan jaminan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah berbicara (dalam perkara-perkara syariat) tanpa petunjuk wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Wajibnya Berpegang Teguh Kepada Hadits-Hadits Rosululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam–
Tak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk taat dan mengikuti Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Dalam beberapa ayat, perintah ketaatan kepada Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dikaitkan dengan ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dalam beberapa ayat yang lain, ketaatan kepada Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam disebutkan secara tersendiri. Berikut ini ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Alloh berfirman:
“Katakanlah (wahai Muhammad), taatilah oleh kalian Alloh dan taatilah Rosul-Nya; jika kalian berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rosul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian.” (QS. an-Nur [24]: 54).
Juga firman-Nya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36).
Juga firman-Nya:
“Sesungguhnya jawaban orag-orang mukmin bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan Kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nur [24]: 51).
Di samping itu al-Qur’an juga menyebutkan perintah secara khusus untuk menaati Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apa saja yang diberikan Rosululloh kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Juga firman-Nya:
“Barangsiapa yang menaati Rosul, maka sesung-guhnya ia telah menaati Alloh. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka Kami tidak mengutusmu sebagai pemelihara atas mereka.” (QS. an-Nisa’ [4]: 80).
Juga firman-Nya:
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rosul melainkan untuk ditaati dengan seizin Alloh.” (QS. an-Nisa’ [4]: 64).
Ayat tersebut menerangkan bahwa tujuan diutusnya para Rosul adalah untuk ditaati oleh umatnya. Sehingga, barangsiapa yang tidak menaati Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ia telah mendurhakai Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengutus Rosul tersebut.
Juga firman-Nya:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rosul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. an-Nur [24]: 63).
Kesimpulannya, dalil-dalil dari al-Qur’an tentang wajibnya seorang Muslim untuk menerima dan mengikuti Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sangatlah banyak. Sehingga, Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Aku mengamati al-Qur’an dan aku dapati di sana perintah untuk taat kepada Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam diulang sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Keharusan Mendahulukan Hadits Daripada Perkataan Para Imam
Suatu prinsip yang telah disepakati di kalangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa tidak halal bagi seseorang untuk mendahulukan perkataan manusia, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya, di depan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Prinsip ini telah ditegaskan oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Berikut ini akan kami kemukakan kepada para pem-baca sekalian sebagian dari ucapan-ucapan mereka yang berkaitan dengan masalah ini.
Imam Abu Hanifah (Rahimahullah)
Imam yang paling terdahulu di antara mereka adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit Rahimahullah. Diriwayatkan dari sebagian murid-murid beliau berbagai pernyataan dan ungkapan. Semuanya mengarah kepada satu maksud, yakni wajibnya berpegang kepada hadits dan larangan bertaklid pada pendapat-pendapat para imam yang bertentangan dengan hadits tersebut. Di antara perka-taan beliau ialah:
“Apabila suatu hadits itu shohih, maka itulah madz-habku.”
“Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami meng-ambilnya.”
Dalam suatu riwayat: “Siapa yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya berfatwa dengan pendapatku.”
Dalam riwayat lain: “Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat seperti ini, dan esok hari mungkin pendapat itu kami cabut kembali.”
“Apabila aku mengemukakan pendapat yang ber-tentangan dengan al-Qur’an dan hadits Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka tinggalkanlah pendapatku itu!”
Imam Malik bin Anas (Rahimahullah)
Imam Malik bin Anas Rahimahullah, Imam Darul Hijroh (negeri tempat hijrahnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) berkata:
“Aku hanyalah seorang manusia yang terkadang salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku itu. Semua pendapatku yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah, dan semua penda-patku yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, tinggalkanlah.”
“Tidak ada seorang pun sesudah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melainkan pendapatnya dapat diterima atau ditolak, kecuali ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.”
“Ibnu Wahb Rahimahullah menuturkan, “Aku pernah mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kaki dalam wudhu, maka ia menjawab, ‘Hal itu tidak perlu dila-kukan.’ Aku membiarkannya hingga tempat tersebut sunyi, lalu aku katakan kepadanya, ‘Kami memiliki hadits tentang masalah itu.’ Malik bertanya, ‘Mana hadits itu?’ Aku katakan, ‘al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah dan ‘Amr bin al-Harits menceritakan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr al-Ma’afiri, dari ‘Abdurrahman al-Habli, dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, ia berkata: Aku pernah melihat Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menggosok-gosokkan dengan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kedua kakinya.’ Maka, Malik berkomentar, ‘Hadits ini hasan, dan aku tidak pernah mendengarnya sama sekali kecuali saat ini.’ Kemudian, setelah itu, ia ditanya tentang perkara yang sama, maka ia memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari kaki.”
Imam asy-Syafi’i (Rahimahullah)
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam asy-Syafi’i Rahimahullah dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus, serta para pengikutnya lebih banyak yang melak-sanakan pesannya sehingga lebih beruntung dan lebih lurus. Di antara perkataan beliau Rahimahullah ialah:
“Setiap orang harus bermadzhab kepada Sunnah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan mengikutinya. Adapun pendapat yang aku katakan itu berasal dari Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Bila berlawanan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan oleh Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku.”
“Seluruh kaum Muslimin bersepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidak halal baginya meninggalkan Sunnah tersebut demi mengikuti pendapat seseorang.”
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan hadits Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka peganglah hadits Rosululloh dan tinggalkanlah pendapatku.”
“Apabila sebuah hadits itu shohih, maka itulah madzhabku.”
Beliau (Imam asy-Syafi’i Rahimahullah) pernah berkata kepada Imam Ahmad Rahimahullah, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila ada hadits shohih, beritahukanlah kepadaku dari manapun hadits itu diriwayatkan, baik hadits orang-orang Kufah, Bashroh maupun Syam, agar aku berpendapat dengan hadits itu jika memang hadits tersebut shohih.”
“Bila suatu masalah ada haditsnya yang shohih dari Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menurut ahli hadits, tetapi pendapatku menyelesihinya, maka ketahuilah sesungguhnya aku telah mencabut pendapatku, baik semasa hidupku maupun sepeninggalku.”
“Setiap perkataanku bila bertentangan dengan riwayat yang shohih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih utama untuk diikuti dan kalian jangan bertaklid kepadaku.”
Suatu ketika Imam Syafi’i Rahimahullah pernah ditanya oleh salah seorang jama’ahnya tentang satu masalah. Lalu beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan kata-katanya, “Telah sampai kepadaku suatu riwayat dari Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang bersabda begini dan begini.” Orang itu bertanya, “Wahai Imam, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits tersebut?” Mendengar pertanyaan itu Imam Syafi’i marah dan berkata, “Apakah engkau melihat aku memakai kalung salib di leherku, atau sabuk khas Yahudi di pinggangku sehingga engkau bertanya kepadaku apakah aku akan mengambil hadits Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tersebut?!”
Jawaban Imam Syafi’i Rahimahullah tersebut menegaskan kepada kita bahwa tidak halal bagi seorang Muslim yang telah mendengar suatu hadits dari Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menolaknya.
Imam Ahmad bin Hanbal (Rahimahullah)
Ahmad bin Hanbal Rahimahullah merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh dengannya, sampai-sampai dia tidak suka menulis kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan pendapat. Karena itu, ia menyatakan:
“Janganlah bertaklid kepadaku atau kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i dan ats-Tsauri. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambilnya.”
Dalam riwayat lain: “Janganlah bertaklid kepada siapapun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, ambillah. Ada-pun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).”
Pada kesempatan lain, ia berkata,”Ittiba’ adalah mengikuti apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya. Kemudian yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.”
“Pendapat al-Auza’i, Malik dan Abu Hanifah, se-muanya ra’yu (pendapat). Bagiku, semua ra’yu itu sama saja. Tetapi yang menjadi hujjah dalam agama adalah yang ada atsar (haditsnya).”
“Barangsiapa yang menolak hadits Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.”
Demikianlah pernyataan para imam yang memerintahkan untuk berpegang teguh kepada hadits, dan melarang mengikuti mereka dengan tanpa ilmu. Pernyataan mereka itu sudah jelas, tidak dapat dibantah atau diputar balikkan lagi. Mereka mewajibkan untuk berpegang teguh pada semua hadits shohih, sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka. Sikap semacam ini tidak dikatakan menyalahi madzhab dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang teguh pada tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Akan tetapi tidaklah demikian halnya orang yang meninggalkan hadits shohih hanya karena menyelisihi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan melanggar pesan-pesan mereka terdahulu. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 65).
al-Hafizh Ibnu Rojab Rahimahullah berkata, “Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah menyampaikan kepada umat, menasehati, dan menyuruh mereka untuk mengikuti-Nya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas umat. Perintah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih berhak untuk di-muliakan dan diikuti dibandingkan pendapat tokoh mana pun yang menyelisihi perintahnya, yang terka-dang pendapatnya itu salah. Oleh karena itulah, para Sahabat dan tabi’in selalu menentang setiap orang yang menyalahi hadits shohih, dan terkadang dengan penolakan yang keras. Hal itu mereka lakukan bukan karena kebencian mereka kepadanya, tetapi justru karena mereka mencintainya dan menghormatinya. Akan tetapi Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih mereka cintai, dan perintah beliau jauh lebih tinggi dibandingkan perintah selainnya. Jika perintah Rosul bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah Rosul lebih layak untuk didahulukan dan diikuti. Sikap ini tidak menjadi halangan untuk menghormati orang yang menyelisihi perintah beliau, jika ia termasuk orang yang diberi ampunan (karena tidak sengaja menyelisihinya). Bahkan orang yang menyelisihi (Sunnah) tapi mendapatkan ampunan ini, sebenarnya tidak merasa benci bila pendapatnya ditinggalkan, jika memang pendapat tersebut bertentangan dengan perintah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.”
Demikian yang dikatakan Imam Ibnu Rojab Rahimahullah. Benar, bagaimana mungkin para imam yang mulia membenci sikap tersebut, padahal mereka sendiri menyuruh para pengikutnya untuk bersikap demikian, seperti telah dikemukakan sebelumnya, dan mereka mewajib-kan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka yang bertentangan dengan hadits? Bahkan, Imam asy-Syafi’i Rahimahullah menyuruh para muridnya untuk menisbatkan hadits shohih kepada dirinya, walaupun ia tidak berpegang padanya atau bahkan pen-dapatnya menyelisihinya.
Namun hal ini bukan berarti kita tidak boleh bermadzhab. Kaum Muslimin, khususnya orang-orang awamnya, diperbolehkan memegang salah satu madzhab, akan tetapi ketika pendapat madzhabnya menyelisihi dalil yang shohih, maka wajib baginya meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti dalil. (Red-HASMI).
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.