Tanya: apakah diharuskan bagi orang yang baru masuk Islam untuk menceraikan istrinya, jika istrinya itu belum masuk Islam? Apakah anak-anaknya dari istrinya dihukumi sebagai Muslim? Apakah diharuskan merubah nama mereka dengan nama-nama Islam?
Jawab: Dibolehkan untuk tidak menceraikannya, jika istrinya itu kitabiyah (Ahli Kitab, Yahudi dan Nashrani), sebagaimana firman Alloh ;
“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian.” (Al-Ma’idah: 5)
Al-Muhshonah adalah wanita yang menjaga kesucian diri dan suaminya. Bila istrinya tersebut beragama Budha, Hindu atau Syi’ah Rofidhoh, maka tidak boleh menjadikannya istri, kecuali bila ia ikut masuk Islam dalam masa iddahnya, maka ia tetap dalam pernikahannya.
Adapun hukum anak-anaknya maka mereka mengikuti agama yang benar dari kedua orang tuanya. Bila ibunya masuk Islam dan bapaknya menolak masuk Islam, maka anak-anaknya mengikuti agama ibunya. Dan juga bila ayahnya yang masuk Islam dan ibunya menolak, maka anak-anaknya mengikuti ayahnya.
Ini semua berlaku saat anak tersebut belum dewasa. Ketika ia telah dewasa, maka ia berhak memilih agamanya karena ia sudah dapat menentukan arah hidupnya sendiri. Ia tidak dihukumi sebagai Muslim hanya karena orang tuanya masuk Islam, sampai ia masuk Islam dengan kemauannya sendiri seperti halnya orang dewasa.
(Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Anda Betanya Ulama Menjawab)
Hukum Sembelihan Kaum Nashrani
Tanya: Bolehkah memakan sembelihan orang Nashroni pada zaman sekarang, mengingat cara penyembelihan mereka beraneka ragam, seperti menggunakan mesin dan bahan-bahan adiktif (seperti bius dan sebagainya) dalam proses penyembelihan?
Jawab: Dibolehkan memakan sembelihan mereka yang tidak diketahui bahwa cara penyembelihannya di luar cara syar’i; karena hukum asalnya adalah halal sebagaimana sembelihan orang Muslim, berdasarkan firman Alloh:
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kkitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah: 5)
(Syaikh Abdul Aziz bin Baz- Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah)
Bagaimana Berinteraksi dengan Tetangga yang Kafir?
Tanya: Bila tetangga saya kafir, bolehkah saya memenuhi keperluannya yang ia minta dari saya? Terkadang saya bertemu dengannya di jalan yang sempit, lalu berlangsunglah percakapan di antara kami, saling tersenyum dan kata-kata yang lemah lembut, padahal saya membenci mereka. Apakah ini berdosa atau tidak? Lalu, bagaimana cara kami menjawab mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada kami?
Jawab: Memenuhi keperluan orang kafir tidak mengapa, bila bukan dalam kemaksiatan, karena tetangga itu memiliki hak. Bisa jadi, ini menjadi sebab ketertarikannya kepada Islam.
Sedangkan saling tersenyum dan lemah lembut dalam berbicara, maka ini tidak berdosa, jika untuk kemaslahatan. Jika tidak untuk kemaslahatan, maka tidak boleh.
Adapun bila mereka mengucapkan salam kepada kita, maka dijawab dengan: Wa ’alaikum, sebagaimana Nabi memerintahkannya. Kecuali bila mereka mengucapkannya dengan jelas: As-Salamu ’alaikum, maka kita menjawab dengan ucapan: Wa’alikumus salam.
(Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin)
Hukum Mengucapkan Salam kepada Orang Kafir
Tanya: pada masa ini, sebagai akibat melakukan kontak langsung dengan orang-orang Barat dan Timur yang kebanyakan mereka dari kalangan kaum kafir yang berbeda-beda agama mereka, kita lihat mereka saling mengucapkan salam Islam kepada kita, ketika kita bertemu mereka di suatu tempat. Lantas, apa kewajiban kita dalam menyikapi mereka?
Jawab: Diriwayatkan dari Nabi , beliau bersabda:
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada kaum Yahudi dan Nashrani. Jika kalian bertemu dengan mereka di jalan, maka paksalah mereka ke tempat yang paling sempit.” (HR. Muslim)
Tidak dibolehkan memulai mengucapkan salam kepada orang kafir. Jika orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kita, maka wajib menjawabnya dengan ucapan: Wa ’alaikum, karena mengamalkan perintah Rosul . Tidak ada larangan untuk mengucapkan setelah itu: Bagaimana kabar Anda, dan bagaimana kabar anak-anak Anda? Sebagaimana sebagian ulama membolehkan hal tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Apalagi bila kemaslahatan Islam menuntut demikian, seperti membuatnya tertarik kepada Islam dan menyenangkannya dengannya agar mau menerima dakwah Islam dan mendengarkannya, sebagaimana firman Alloh :
“Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
(Syaikh Abdul Aziz bin Baz , Fatawa Islamiyyah)
Tidak Boleh Mengagungkan Hari-hari Besar yahudi dan Kristen
Tanya: sebagian kaum Muslimin ada yang mengagungkan hari-hari besar Yahudi dan Kristen. Ketika datang hari raya Yahudi dan Kristen, mereka meliburkan sekolah-sekolah Islam karena bertepatan dengan hari raya mereka. Bila datang hari raya kaum Muslimin, mereka tidak meliburkan sekolah-sekolah Islam. Mereka mengatakan: bila kalian mengikuti hari libur Yahudi dan Kristen, maka mereka akan masuk agama Islam. Kami memohon penjelasan hukum tersebut.
Jawab: Pertama: sunnahnya adalah menampakkan syiar agama Islam di tengah kaum Muslimin, dan tidak menampakkan syiar-syiar orang kafir tersebut karena menyelisihi petunjuk Nabi. Diriwayatkan dari Nabi beliau bersabda:
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang diberi petunjuk.”
Kedua: tidak dibolehkan bagi seorang Muslim ikut serta dalam perayaan kaum kafir, menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan pada momentum tersebut, dan meliburkan pekerjaan, baik perayaan tersebut bersifat keagamaan maupun keduniaan, karena ini menyerupai musuh Alloh yang diharamkan, diriwayatkan dari Rosululloh , beliau bersabda:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
Kami menasihati Anda untuk merujuk kitab Iqtidha Shirath al-Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , karena buku ini bermanfaat sekali dalam masalah ini.
(Lajnah Da’imah untuk pembahasan kelimuan, Fatwa-fatwa Islam)