Di antara cara musuh-musuh dakwah untuk membuat ragu manusia akan kehebatan dakwah para Rasul yaitu dengan tuduhan-tuduhan dusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman yang artinya :
“Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta”. (QS. al-‘Arof [7]: 66).
“Demikianlah tidak seorang Rasul-pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 52).
Dan masih banyak lagi cacian dan umpatan yang mereka lontarkan. Semua mengisyaratkan seolah orang yang menempuh jalan dakwah itu dituduh sebagai orang yang kurang akalnya, kuno, tidak modern, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak fleksibel dengan kondisi yang ada, kolot dan beragam tuduhan yang lainnya.
Tidak, wahai Saudaraku..! Kita memilih jalan dakwah ini bukan karena IQ kita di bawah rata-rata, bukan pula karena kita tidak mendapatkan pekerjaan lain. Sekali lagi, TIDAK! Kita memilih jalan dakwah karena ini memang sebuah pilihan dengan penuh kesadaran! Keputusan yang penuh perhitungan! Karena memang tidak ada jalan yang lebih baik dan lebih agung dari jalan dakwah.
Dakwah sama sekali tidak berten-tangan dengan pekerjaan keduniawian yang halal. Kita boleh saja menjadi seorang pedagang, karyawan, dokter, petani, pengusaha ataupun pekerjaan halal yang lainnya. Tetapi apapun profesi yang kita geluti, hal itu menjadi lahan untuk menebar benih-benih kebaikan dan melenyapkan kemungkaran.
Tuduhan miring yang akan senantiasa berkicau, semakin menun-jukkan bahwa benar sekali wahyu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan. Bahkan kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam pun pernah berbuat yang sama.
“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya engkau adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (QS. Hud [11]: 87).
Dengan sindiran dan ejekan seperti ini mereka berharap dapat menciptakan image bahwa beliau (Nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala) berada dalam ke-bodohan dan kesesatan akal mana-kala berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikianlah selamanya musuh-musuh dakwah mengumumkan kepada manusia bahwa para pendekar dakwah bertolak dari kebodohan dan kelemahan berfikir. Mereka tidak mampu membuat perbaikan dan tidak memiliki sistem yang jitu. Juga tidak mampu untuk bergumul dengan realitas yang ada dan tidak pandai ber-interaksi dengan masalah-masalah yang sulit. Para Nabi dan peniti jalan kenabian tersebut menurut dugaan mereka juga tidak tegar dalam menghadapi tantangan kehidupan. Demikinlah tuduhan yang mereka lontarkan.
Sedangkan pembuat dan pelaksana undang-undang produk bumi yang melawan undang-undang wahyu dari atas langit, dianggap cerdas dan pandai menggunakan akal. Orang-orang yang cintanya pada orang kafir melebihi cintanya pada orang beriman dianggap paling berakal, pintar, hingga layak diberi berbagai gelar akademisi. Pujian mengalir deras bak hujan besar meng-guyur padang gersang. Kesyirikan yang klasik maupun modern, dengan menjadikan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sesembahan, didukung oleh pemuka-pemuka kaum dan tokoh-tokoh umat, juga dianggap sikap bijak.
Padahal, nabi-nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penjaga kemurnian dakwah. Manusia-manusia paling mulia. Manusia paling berakal. Manusia paling bijak. Tidak ada yang lebih mulia dari meniti jalan mereka. Tidak ada kedudukan yang lebih tinggi melebihi kedudukan mereka. Mereka telah menyuguhkan akidah tauhid yang menuntut atas pengesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ubudiyah dan terbebas dari segala bentuk syirik. Mereka telah mempersembahkannya dengan satu tatanan metodologi yang jelas dan mudah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan seruan para nabi sepanjang zaman:
“Sembahlah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekali-kali tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia.” (QS. al-A’rof [7]: 59).
Adalah suatu keharusan bagi para da’i, pengikut para Nabi, untuk menyuguhkan akidah ini sebagai jalan yang harus ditempuh dan di-pegang teguh. Bukan sebuah prestasi jika kita memberi kesan kepada manusia bahwa masalah tauhid dan ubudiyah Islam adalah perkara yang rumit dan sulit yang tidak dapat dipahami dan diaplikasikan kecuali oleh sebagian kecil manusia. Hal ini justru bertolak belakang dengan realitas akidah fitrah dan kemurnian dakwah dengan apa yang diwahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang pada suatu ketika didatangi seorang Arab Badui.
Orang badui tersebut telah menjalani kehidupannya dalam suasana syirik dan paganisme. Ia duduk-duduk hanya sebentar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang kala itu me-nerangkan tentang Islam dan tauhid kepadanya. Setelah itu ia tinggalkan majelis tadi dalam keadaan telah menjadi Muslim, bahkan menjadi da’i di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia men-datangi kaumnya dan berseru, “Sesungguhnya Lata (nama patung) tidak punya kekuasaan. Uzza (nama patung) pun tidak punya keper-kasaan. Saya ingkari keduanya dan apa saja yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala!” Ketinggian akidahnya mampu membentengi dirinya dari masalah-masalah yang mendatangkan ke-murkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini terbukti ketika sang istri (yang kala itu masih kafir) mendatanginya sebagaimana layaknya suami istri. Diperintah-kannya kepada sang istri untuk keluar dan menjauhinya, seraya berkata, “Islamlah yang memisahkan kita berdua.” (Hakadza ‘Allamal ‘Anbiya Laa ilaaha illAllah’, Syaikh Salman bin Fahd al-Audah).
Dengan kemudahan dan ke-dalaman makna ini Islam dipahami. Bahkan mengantarkan sang Badui menjadi da’i di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari saat kepuasan pemahamannya terhadap risalah Islam.
Tidak layak bagi para pewaris Nabi, seperti seorang dosen yang terkadang terlalu berlebihan sehingga memberi kesan kepada murid-muridnya bahwa materi akidah itu sulit. Agar para siswa menyediakan tempat dan waktu yang khusus atau minimal harus konsentrasi penuh. Dibalik itu, ia ingin memperoleh keuntungan duniawi saja. Seolah akal hanya diciptakan untuk mereka.
Akal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada manusia sama sekali bukan untuk mempersulit memahami tauhid. Bukan pula untuk mengotori kemurnian dakwah. Bukan juga untuk mencari-cari jalan alternatif yang bertentangan dengan sunnah para Nabi. Tetapi akal bertugas untuk memahami dan menjalankan petuah para Nabi, meniti manhajnya, dan setia sampai mati.
Melaju di jalan dakwah ber-dasarkan manhaj Nabi adalah sedang bersama dalam parade iman. Rombongan yang benderanya dikibarkan oleh para Rosul, seperti Nuh, Hud, Sholih, Luth, Syu’aib, Musa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kita telah menyaksikan bagaimana kafilah ter-hormat, dengan pengarahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, berusaha menyelamatkan manusia dari neraka. Mereka digiring kesana oleh setan durjana dari golongan jin maupun manusia. Ciri-cirinya jelas, rambu-rambunya terang. Akal sangat mudah memahami.
Perjuangan dalam menghadapi realitas permasalahan kemanusiaan dalam perjalanan panjang di atas planet bumi ini. Segala bentuk penyimpangan manusia maka obat-nya adalah wahyu, bukan produk akal yang menyimpang.
Kita juga telah menyaksikan bagaimana puing-puing kehancuran para pendusta terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala di ujung cerita kehidupan mereka. Para thogut jatuh tersungkur. Para penuduh terbuka aibnya. Sedang orang-orang beriman yang setia dengan kemurnian terselamatkan.
Cukuplah nasehat kalam Ilahi untuk para mujahid dakwah: “Apabila dikatakan kepada mereka (kaum kafir dan munafik): “Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” (QS. al-Baqarah [2]: 13).
Lantas.. Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan:
“Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.” (QS. al-Baqarah[2]: 13).
Jalan dakwah adalah jalan orang-orang yang berakal. Segala tuduhan bukan alasan untuk meninggalkan jalan mendakwahkan kemurnian yang penuh keberkahan ini. Akal tercipta untuk mendukung kemurnian dakwah, menjaga dan mengawalnya.
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.