Adab-Adab Dalam Membaca Al-Qur’an
Membaca Al Qur’an adalah suatu ibadah yang agung dan mulia, dengannya juga bertujuan untuk mengharap wajah Alloh subhanahu wata’ala, maka setiap amal ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata’ala tanpa disertai dua syarat diterimanya amal – yaitu ikhlas dan ittiba’- niscaya amalan tersebut akan tertolak.
Oleh karena itu, membaca Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang mesti dijaga adab-adabnya, agar amalan tersebut benar-benar murni tertuju kepada Alloh subhanau wata’ala. Maka diantara adab-adab tersebut adalah:
- Niat yang Ikhlas Karena Alloh
Imam Nawawi mengatakan, “yang pertama kali diperintahkan kepada seorang qari’ (pembaca) Al-Qur’an adalah keikhlasan dalam membacanya, dan hanya menginginkan wajah Alloh subhanahu wata’ala dari bacaan Al-Qur’an tersebut, serta tidak menginginkan sesuatu selainnya.
Niat yang ikhlas sangat dibutuhkan, karena hal ini berkaitan erat dengan masalah aqidah. Oleh karena itu, perkara ini sangat penting untuk diperhatikan.
- Tidak Menyentuh Al-Qur’an Kecuali dalam Keadaan Suci
Alloh subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Waqi’ah: 79, yang artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
(QS. Al-Waqi’ah: 79)
Larangan ini juga dipertegas dalam sebuah hadits,
“Dan janganlah seseorang menyentuh Al-Qur’an kecuali ia dalam keadaan bersih (suci).
(HR. Malik)
- Membaca Isti’adzah
Salah satu yang juga menjadi adab dalam membaca Al-Qur’an adalah dimulai dengan membaca isti’adzah. Karena Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
“Maka apabila engkau (Muhammad) membaca al-Qur’an maka mohonlah perlindungan dari Syaithon yang terkutuk.”
(QS. An-Nahl: 98)
- Disunnahkan Membaca secara Tartil dan Dimakruhkan Membaca Al-Qur’an dengan Cepat.
Alloh subhanahu wata’ala berfiman;
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (tartil).”
(QS. Al-Muzzammil: 4)
Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam bacaan adalah membaca dengan teratur dan pelan-pelan serta dengan suara yang jelas tanpa kesalahan.
Abu Ishaq mengatakan, “Bacaan yang jelas tidak mungkin terwujud dengan cara tergesa-gesa ketika membaca, adapun untuk mewujudkannya adalah dengan cara mencermati setiap huruf yang dibaca dan memenuhi hak-haknya (ketentuan-ketentuan qira’ah). (Lisanul ‘Arab karya Ibnul Mundzir)
- Berusaha Menangis Ketika Membaca Al-Qur’an atau Ketika Mendengarnya
Kedua hal ini telah disebutkan dalam Sunnah. Yang pertama sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syukhair bahwa ia berkata,
“Aku mendatangi Nabi shollallohu’alaihi wasallam dan beliau tengah mengerjakan shalat. Dari tenggorokan beliau terdengar suara bergemuruh seperti bergemuruhnya periuk. Ternyata beliau sedang menangis.”
(HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasa’i)
- Disunnahkan Melakukan Sujud (Tilawah) ketika Membaca Ayat-ayat Sajdah
Dalam Al-Qur’an terdapat lima belas ayat sajdah. Disunnahkan bagi seseorang yang membaca Al-Qur’an, apabila ia melewati ayat-ayat sajdah tersebut untuk sujud dan berdzikir sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shollallohu’alaihi wasallam tentangnya. Dan, hendaklah ketika sujud ini ia membaca
اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ
“Ya Alloh, hanya kepada-Mu aku sujud dan hanya kepada-Mu aku beriman serta hanya kepada-Mu aku memohon keselamatan. Wajahku sujud kepada Robb yang telah menciptakan bentuknya, memberikan pendengaran serta penglihatan, Mahasuci Alloh Robb sebaik-baik Pencipta.
(HR. Muslim dan Ahmad)
Akan tetapi ini, bukanlah perkara wajib, namun sekedar sunnah saja. Jadi, jika sujud ini dilakukan maka akan mendapat pahala dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
- Mengamalkan Kandungan Al-Qur’an
Al Qur’an merupakan petunjuk dalam kehidupan kita. sebuah ungkapan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah ibarat “rumus canggih”, yang semua potensi kehidupan ada semuanya dalam Al-Qur’an.
Sesuatu yang halal dan haram dalam syariah semuanya terkandung dalam Al-Qur’an. Tinggal kita mau dan berusaha untuk menjalankan dan mengaplikasikan. Ketika kita mau, maka ketenangan dan kenyamanan dalam hidup akan diraih.
- Dimakruhkan Mencium Mush-haf dan Menempelkannya di Antara Dua Mata (Dahi)
Orang yang tidak memiliki ilmu akan mengatakan, “Mengapa mencium mushaf dan menempelkannya di antara dua mata di makruhkan, padahal hal itu dalam rangka mengagungkan dan mensucikan Kalamulloh?
Maka kita jawab, bahwa mencium mushaf dan meletakkannya di antara dua mata atau semisalnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata’ala (haruslah memiliki dalil) – sedangkan cara mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata’ala haruslah ditunjukkan oleh shahihnya suatu dalil dan tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya.
- Dimakruhkan Menggantungkan Kaligrafi Ayat-Ayat Al-Qur’an di Dinding dan Selainnya
Telah tersebar di banyak rumah, sebagian orang menggantungan gambar surat-surat atau ayat-ayat Al-Qur’an, baik di dinding maupun ruangan di lorong-lorong rumah. Di antara mereka ada yang menggantungkannya untuk mencari berkah, dan ada pula yang hanya sekedar menjadikannya hiasan. Sebagian mereka pun memperindah tempat perdagangan mereka dengan ayat-ayat yang berisi perdagangan. Ada juga mereka yang menggantungkannya di kendaraan mereka, baik untuk digunakan sebagai penangkal ataupun untuk mencari berkah, dan ada pula sebagian mereka yang menggantungkan untuk mengingat dan menghafalnya.
Lajnah Da’imah telah mengeluarkan sebuah fatwa yang sangat panjang tentang perkara ini, yang intinya mereka menyatakan larangan menggantungkan ayat-ayat Al-Qur’an di dinding, tembok, di tempat-tempat perdagangan dan tempat-tempat lainnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari fatwa yang panjang tersebut adalah:
- Bahwa menggantungkan ayat-ayat Al-Qur’an di dinding atau selainnya merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk, nasihat yang baik, serta dari penjagaan dengan membacanya.
- Bahwa hal itu merupakan penyelisihan terhadap Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin.
- Bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca, bukan untuk di ambil sebagai pencari keuntungan dalam perdagangan.
Kemudian Lajnah Da’imah berfatwa, “Secara umum, hendaklah kita menutup pintu-pintu keburukan dan ikutilah para Imam yang telah diberi petunjuk dari generasi pertama yang mana mereka mengikuti Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam dengan kebaikan dan menyelamatkan seluruh agama mereka dari perbuatan bid’ah yang tidak diketahui akhir keburukannya.
Wallohua’lam