Di suatu pagi yang cerah, terjadi perbincangan antara dua sahabat (Ali dan Ade) di sebuah warung tegal:
‘Ali: “Assalamu’alaikum, hai Ade apa kabar? datang yah bulan depan di acara pesta pernikahanku!”
Ade:“Wa’alaikum salam, Alhamdulillah baik kang, Tapi… bulan depankan Safar? Kamu tahu kan tentang bulan keramat tersebut? Sst… baiknya jangan kawin di bulan safar, nanti rumah tangganya bisa berantakan lho. Kata Pak Kyai…, di bulan tersebut turun beribu-ribu musibah dan bala ke bumi ini, jangan sampai kamu menyesal nantinya…?!”
Saudaraku…
Memang bukan dialog sungguhan, alias hanya karangan belaka, tetapi sesungguhnya, dialog di atas adalah rekaman yang bisa kita putar dari cuplikan realita di masyarakat kita pada umumnya, yaitu terdapatnya keyakinan diantara mereka tentang adanya hari-hari sial atau keberuntungan.
Walaupun mayoritas kita sudah bersyahadat La Ilaha IllaAlloh, yang mana termasuk konsekwensi di dalamnya adalah meyakini bahwa segala manfaat dan mudharat hanyalah berasal dari Alloh, akan tetapi keyakinan-keyakinan yang nyeleneh serta khurofat-khurofat yang berasal dari aliran Animisme, Hindu dan Budha masih tetap diadopsi dan dilestarikan.
Aneh…, data dari KUA daerah Cianjur dan sekitarnya menyebutkan bahwa persentase akad pernikahan di bulan safar mengalami penurunan drastis, bahkan di daerah Cirebon, mayoritas masyarakatnya mengenal bulan Safar dengan bulan larangan untuk menikah.
Sudah jelas merupakan keyakinan yang berasal dari agama kufur, akan tetapi keyakinan ini pun malah mendapat sokongan dari orang-orang yang dianggap berilmu, padahal sejatinya jauh pemahamannya dari sumber agama yang benar. Salah satu contohnya, bisa kita lihat dalam sebuah buku berjudul “Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-Azmina wasy-Syuhaar” karangan Abdul Hamid Quds. Dalam buku tersebut diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi), “Bahwa setiap hari Rabu di akhir bulan Safar diturunkan ke bumi sebanyak 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana. Bagi orang yang melaksanakan sholat Rebo Wekasan atau sholat tolak bala pada hari tersebut sebanyak 4 raka’at (dengan tata cara yang telah ditentukan), maka orang tersebut terbebas dari semua malapetaka dan bencana yang sangat dahsyat tersebut.
Pernah ada ungkapan nyeleneh dari seorang ibu yang baru melahirkan di bulan safar, “Jika saya mampu untuk menahan agar bayi tidak lahir di bulan safar ini, niscaya saya akan lakukan hal itu. Karena saya khawatir masa depan bayi ini penuh dengan bencana dan musibah”.
La haula wa la quwwata illa billah… ucapan yang tidak berdasar dan sangat jauh dari ajaran Islam yang murni.
Wafaq-wafaq tolak bala’ pun laku keras di bulan safar, dimana wafaq tersebut biasanya dimasukan ke dalam sumur dengan tujuan untuk menetralisir air sumur dari berbagai penyakit dan bencana.
Itu salah satu contoh tentang keyakinan waktu keramat yang ada di masyarakat kita. Lain lagi dengan apa yang dilakukan masyarakat di daerah pesisir Lampung Barat, mereka biasanya menggunting rambut dan membuangnya ke laut di setiap hari dimana tanggal dan bulannya yang kembar/sama sebagai syarat untuk membuang sial dan membersihkan diri dari marabahaya.
Adapun di daerah Jawa Tengah, diantara bulan yang dianggap keramat adalah bulan Syura atau bulan Muharram. Sehingga di bulan ini, kegiatan muamalah sepi karena mayoritas masyarakat tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan, khawatir menimbulkan petaka dan kesengsaraan. Dan untuk menangkalnya, mereka melakukan suatu acara ritual dengan mempersembahkan tumpeng disertai kepala kerbau ke laut untuk penguasa laut selatan.
Kemudian yang tak kalah ramainya adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di Keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh ribuan warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang berkilo-kilo rumahnya jauh pun rela berpayah-payah dengan berjalan kaki datang hanya untuk ngalap berkah dari tahi sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya… Allohu musta’an…
Begitupun kita dapati keyakinan dan khurofat pada sebagian masyarakat Bugis Makassar yang tidak mau melakukan perjalanan jauh pada hari jatuhnya tanggal 1 Muharram. Misalnya jika tahun ini tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Selasa maka sepanjang tahun ini mereka tidak mau bepergian pada hari Selasa.
Sungguh keyakinan-keyakinan khurofat di atas, yang pada kenyataannya baru sebagian kecil kita sebutkan sama sekali tidak ada dasarnya dari Islam. Kalaulah ada, tentu Rosululloh Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sudah mengabarkannya terlebih dahulu agar kita bisa berhati-hati terhadapnya. Bahkan yang ada, keyakinan tersebut menjurus pada kesyirikan, yaitu menjadikan waktu sebagai sebab dari bala’ dan musibah, padahal Alloh-lah yang mengatur semuanya.
Dalam sebuah hadits Qudsi Alloh Subhanahu Wa Ta’alaberfirman: “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur) masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rhm berkata: “Mencela masa yang disertai dengan keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu perkara menjadi baik atau jelek, ini adalah syirik besar. Karena orang tadi berkeyakinan adanya pencipta selain Alloh dan menyandarkan peristiwa-peristiwa kepada selain-Nya. Jika tidak demikian (tidak meyakini secara dzatnya kepada waktu sebagai penentu musibah), maka pada hakekatnya pencelaan itu tertuju kepada Alloh, karena Alloh-lah yang mengatur masa tersebut, menjadi baik atau jelek. Maka ini pun diharamkan.” (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid).
Adapun mengenai bulan Safar, Rosululloh Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sejak dini sudah membantah keyakinan dan mitos syirik tentang safar sebagai bulan musibah atau bulan sial, dengan sabdanya, “Tidak ada penyakit menular (yang berlaku tanpa izin Alloh), tidak ada buruk sangka pada sesuatu kejadian, tidak ada malang pada burung hantu, dan tidak ada bala (bencana) pada bulan Safar (seperti yang dipercayai).”
Dalam riwayat lain Rosululloh Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan di bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) dari penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa” (HR. Bukhari).
Pertentangan yang sangat jelas, Rosululloh Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyatakan tidak ada waktu sial (khususnya safar), sedangkan tradisi dan mitos mengatakan safar dan waktu-waktu tertentu sebagai pembawa sial dan bencana. Nas’alullaha al-hidayah…