Testimoni sebagai sebuah pengakuan atau kesaksian yang tampil di media sosial sering tidak dikritisi derajat keshohihan–nya: benar, sedikit benarnya, atau tidak benar sama sekali. Atau tidak pula dinilai sebagai sesuatu yang perlu didukung atau ditentang. Kecuali saat persidangan, seorang saksi yang memberikan testimoni pastilah “disumpah” hanya untuk mengatakan hal yang benar dan mengungkap kebenaran. Adapun di dunia bisnis, testimoni biasanya digunakan sebagai bagian strategi dalam memasarkan produk atau jasa agar meyakinkan atau mempengaruhi calon konsumen. Tentunya secara psikologis, siapa pun akan tertarik dengan suatu produk atau jasa apabila ada orang lain yang mengatakan bahwa produk atau jasa tersebut bagus. Sementara di dunia politik dan ideologi, banyak testimoni mengandung implikasi “serius” bagi pengomentar sekaligus yang dikomentari bahkan pihak lain yang turut disebut dalam komentar tersebut.
Sebagai suatu komentar, testimoni biasanya bernada pujian. Pujian ini mewakili kepuasan atau penghargaan seseorang atau lembaga terhadap orang, atau produk, atau jasa, atau perusahaan, atau organisasi, atau pihak lainnya. Namun testimoni pun dapat berupa pengungkapan fakta yang sebelumnya tidak diketahui publik.
Testimoni banyak dijumpai di sejumlah media dan situs, baik yang bersifat audio, visual, maupun audio-visual bahkan live dalam tayangan wawancara (dialog dan diskusi).
Ada testimoni yang “biasa-biasa saja” karena cenderung bukan hal baru, ada juga testimoni yang “mencengangkan” karena mengandung unsur “keanehan dan keheranan” yang mengungkap fakta yang sebelumnya tidak diduga publik.
Semuanya tetap dalam ranah derajat kepercayaan: benar, sedikit benarnya, atau tidak benar sama sekali, dan ranah dukungan atau penentangan. Persoalannya: bagaimana kita menilai testimoni yang benar, sedikit benarnya, atau tidak benar sama sekali? Juga, perlukah kita mendukung atau menentang suatu testimoni?
Memang, akan sulit menilai antara suatu testimoni asli dan rekayasa. Bukankah ada testimoni palsu yang sengaja dibuat untuk meng-imbangi fakta, atau memuji diri sendiri? Lantas, bagaimana mem-bedakan antara testimoni asli dan palsu?
Satu hal yang dapat dianalisis, apabila identitas testimonier tersebut jelas bahkan tampil secara audio-visual, setidaknya masyarakat berani langsung menilai yang bersangkutan pada testimoninya. Apalagi jika ia mengomentari sebuah hal yang pernah dialaminya sendiri, maka masyarakat akan cenderung percaya terhadap testimoninya.
Selanjutnya, mengapa suatu testimoni perlu disuguhkan kepada masyarakat? Apa yang diharapkan dari masyarakat setelah menyimak suatu testimoni? Bagaimana jika kita cuplikan suatu wawancara detik.com 27/4/2011 dengan mantan pentolan Darul Islam/NII Al Chaidar untuk menjawab pertanyaan tersebut?
Anda pernah masuk lingkaran dalam Ponpes Al Zaytun? Dan apakah benar ada doktrinasi NII dalam Al Zaytun? – Iya, seperti misalnya mendoktrin orang di luar itu adalah kafir, menipu boleh, mencuri.
Jadi sebenarnya, tujuannya itu mengumpulkan harta atau benar-benar untuk mendirikan negara Islam? – Ya mengumpul–kan harta, tidak berniat untuk mendirikan (negara Islam).
Jadi analoginya seperti virus begitu, dilemahkan untuk dibentuk vaksin dan disuntikkan kembali agar timbul antibodi terhadap NII? – Iya, supaya NII yang sebenarnya tidak berdiri dan supaya citra NII jadi jelek, iya betul seperti itu.
Apa imbauan Anda terhadap masyarakat dan pemerintah agar kasus-kasus NII KW 9 ini berhenti? – Harusnya memang dihentikan program defeksi palsu ini karena sangat merugikan masyarakat.
Bagaimana dengan NII Crisis Center yang dibentuk di berbagai kampus? – Iya sebenarnya itu suatu antisipasi yang cukup bagus, cuma saja perlu lebih dikenalkan bahwa ini bukan NII, ini adalah NII palsu karena NII asli nggak menghalalkan segala cara. Yang paling penting adalah pemerintah membuat program yang lain untuk antisipasi maraknya rekrutmen NII ini ketimbang melakukan defeksi, mengor-bankan banyak orang. Sebaiknya pemerintah memfasilitasi diskusi-diskusi ilmiah di kampus-kampus, mengenai politik Islam, negara madinah itu seperti apa, nomokrasi (pemerintahan teokrasi berdasarkan syariat) seperti apa, itu nanti dengan sendirinya terproteksi, memfilter dengan sendirinya.
Wawancara di atas bukanlah testimoni pujian melainkan sebaliknya, mewaspadakan orang lain terhadap suatu bahaya.
Secara positif, kita berasumsi bahwa testimoni di atas merupakan wujud kepedulian, baik secara individu maupun kelompok terhadap permasalahan yang ada di antara sesama muslim, termasuk persoalan dengan musuh-musuh kaum muslimin. Harapan berikutnya dapat berwujud jalinan ukhuwah dalam mengantisipasi dan mencegah kemudharatan yang mungkin terjadi di kalangan umat Islam. Alloh berfirman:
“…sebab itu bertakwalah kepada Alloh dan perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian …” (QS. Al-Anfal: 1).
Terlebih lagi dengan label Islam, banyak kalangan munafik menggerus nilai-nilai dan pribadi muslim dengan menghalalkan segala cara. Kita diingatkan oleh firman Alloh [swt]:
“(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada diri kalian (hai orang-orang mu’min). Maka jika terjadi bagi kalian kemenangan dari Alloh mereka berkata: “Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?” dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (keme-nangan) mereka berkata: “Bukankah kami turut memenang-kan kalian, dan membela kalian dari orang-orang mu’min?” Maka Alloh akan memberi keputusan di antara kalian di hari Kiamat dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141).
Alloh [swt] menjelaskan bahwa sikap kaum munafik terhadap permasalahan umat Islam adalah pasif, menunggu dan menonton siapa yang menang akan menjadi kawan. Adapun mu’min yang benar selalu memiliki karakter nasihat, baik dalam ucapannya, amalnya dan kiprahnya dalam masyarakatnya.
Rosululloh [saw] bersabda, “Agama itu adalah nasihat.”Beliau mengucapkan tiga kali. Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rosululloh?” Beliau menjawab, “Untuk Alloh, untuk Rosul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya” (HR. Muslim).