Para sahabat merupakan orang-orang yang telah dipilih Alloh [swt] untuk menemani, membantu dan menyokong perjuangan Nabi-Nya [saw] menyebarkan Islam ke seantero penjuru dunia. Mereka adalah para teladan bagi generasi berikutnya. Sebut satu saja kebaikan yang diperintahkan oleh Alloh [swt], maka akan kita dapati bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi pembukti dan pelaksana kebaikan tersebut. Jika ada yang menanyakan tentang loyalitas, maka ambillah pelajarannya dari seorang pahlawan besar, Sa’ad bin Mu’adz [ranhu].
Ia adalah pemimpin besar, Abu Amru Sa’ad bin Mu’adz bin Al-Nu’man Al-Anshori Al-Ausi al-Asyhali [ranhu]. Seorang pemimpin yang amat dicintai dan dihormati oleh kaumnya. Dia seorang lelaki dengan kulit putih, bertubuh tinggi, gagah, berwajah rupawan dan berjenggot indah.
Ia masuk Islam melalui duta pertama yang diutus Rosululloh [saw] ke Madinah, yaitu Mush’ab bin Umair [ranhu]. Setelah keislamannya ini, ia pun menyeru kaumnya untuk memeluk Islam, maka tidak ada seorang pun dari kaumnya baik laki-laki maupun perempuan melainkan menjadi Muslim dan Muslimah.
Sa’ad merupakan pahlawan dalam medan laga. Ia telah membuktikan ketangkasan dan loyalitasnya yang paripurna terhadap Alloh [swt] dan Rosul-Nya. Perang Badar, Uhud, Khondaq serta perang terhadap Yahudi Bani Quraizhoh menjadi saksi atas loyalitasnya yang tinggi dan kepahlawanan yang mengagumkan setiap insan.
Di medan Badar. Ketika telah diketahui bahwa pasukan musuh berjumlah tiga kali lipatnya dari pasukan kaum Muslimin, Rosululloh [saw] dapat memastikan bahwa tidak ada lagi celah untuk menghindari pertempuran beradarah. Digelarlah rapat majelis militer tingkat tinggi oleh Rosululloh [saw]. Setelah mendengar pendapat dari kalangan Muhajirin, Rosululloh [saw] ingin melihat pendapat para komandan dari kaum Anshar yang merupakan pihak mayoritas dalam pasukan. Beliau berkata, “Wahai manusia, berikan pendapat kalian kepadaku.” Sebenarnya yang beliau bidik adalah kaum Anshar. Maka tampillah seorang pemimpin Anshar yang dengan cerdas mampu memahami isyarat beliau dan berkata, “Demi Alloh, seakan engkau menginginkan kami, wahai Rosululloh.” Beliau menjawab, “Benar.”
Maka berkatalah Sa’ad: “Sungguh kami telah beriman kepadamu, lalu membenarkanmu. Kami juga telah bersaksi bahwa wahyu yang engkau bawa adalah hak dan untuk itu kami telah memberikan janji-janji setia dan kesepakatan-kesepakatan kami tersebut untuk senantiasa mendengar dan taat kepadamu. Karena itu, teruskan langkahmu sesuai dengan apa yang engkau inginkan, wahai Rosululloh! Demi Dzat Yang mengutusmu dengan hak, seandainya engkau menawarkan laut ini kepada kami, lalu engkau mengarunginya, niscaya kami pun akan mengarunginya bersamamu, tidak ada seorang pun dari kami yang ketinggalan dan kami tidak akan merasa segan jika engkau mengajak kami bertemu musuh esok hari. Sesungguhnya kami adalah orang yang tegar di dalam peperangan dan tangguh di dalam pertempuran. Semoga saja, Alloh [swt] menampakkan kepadamu dari kami hal yang membuatmu senang. Maka, berangkatlah bersama kami dengan keberkahan Alloh.”
Ucapan Sa’ad ini membuat senang Rosululloh [saw] dan menjadikannya bertambah semangat. Kemudian beliau berkata, “Berjalanlah kalian dan bergembiralah karena sesungguhnya Alloh [swt] telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Alloh, seakan-akan aku tengah menyaksikan kematian musuh.” Dengan pertolongan Alloh, kaum Muslimin meraih kemenangan.
Datanglah saatnya perang Khondaq, yang dengan jelas membuktikan kegagahan dan kepahlawanan Sa’ad. Dalam perang ini, kaum Muslimin membuat parit mengelilingi kota Madinah. Sehingga kaum musyrikin tidak bisa langsung menyerang kaum Muslimin secara terbuka melainkan harus menyeberangi parit terlebih dahulu. Usaha kaum musyrikin untuk menyeberangi parit itu berhari-hari, begitu juga halnya dengan usaha kaum Muslimin dalam mempertahankannya agar parit tersebut tidak diseberangi. Dikarenakan adanya parit yang menghalangi kedua kubu, sehingga tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka, melainkan hanya saling memanah saja.
Dalam perang saling memanah ini, Sa’ad terkena panah sehingga memutuskan urat lengannya. Maka Sa’ad berdoa, “Ya Alloh, sesungguh-nya Engkau Maha Mengetahui bahwa tidak ada yang paling aku cintai melainkan memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya dari kampung halamannya. Ya Alloh, aku kira Engkau telah menghentikan perang antara kami dengan mereka, namun jika perang masih berlangsung, maka panjangkanlah umurku sehingga aku berkesempatan berperang melawan mereka. Tapi jika Engkau telah menghentikan perang ini, maka matikanlah aku di dalam perang ini.” Kemudian ia berkata di akhir doanya, “Jangan matikan aku sehingga aku merasa senang bisa memerangi Bani Quraizhoh.”
Setelah perang Khondaq berakhir, maka Rosululloh [saw] memerintah-kan kaum Muslimin untuk segera berangkat menuju perkampungan Yahudi Bani Quraizhoh. Karena selama perang Khondaq berlangsung mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian mereka dengan Rosululloh [saw] dan hendak memerangi kaum Muslimin. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil menembus benteng mereka dan langsung menangkap seluruh kaum lelaki serta memborgol tangan mereka. Sedangkan anak-anak dan wanita ditempatkan terpisah jauh dari kaum lelaki. Kemudian Rosululloh memilih Sa’ad bin Mu’adz untuk mengadili Bani Quraizhoh. Karena pada masa jahiliyah, Sa’ad merupakan sekutu bagi Bani Quraizhoh.
Pada saat itulah, nampak jelas dengan terang benderang loyalitas Sa’ad kepada Islam dan antiloyalitasnya kepada setiap musuh-musuh Islam meskipun mereka adalah orang-orang terdekatnya.
Sa’ad pun dipanggil dari Madinah untuk memutuskan perkara terhadap Bani Quraizah. Orang-orang dari Bani Aus yang juga merupakan sekutu Bani Quraizhoh, memohon agar Sa’ad berbuat baik terhadap mereka dalam menentukan putusan hukuman. Namun Sa’ad berkata, “Sekarang tibalah saatnya bagi Sa’ad untuk mengambil keputusan yang tidaka akan terpengaruh oleh celaan orang yang mencela.” Lalu dia berkata, “Sesungguhnya keputusanku adalah bahwasanya kaum lelaki mereka harus dibunuh, anak-anak ditawan, dan harta dibagi-bagikan.”
Maka Rosululloh [saw] bersabda, “Sungguh, engkau telah memberi putusan yang sesuai dengan keputusan Alloh yang diturunkan-Nya dari atas tujuh lapis langit.”
Ketika perkara dengan orang Yahudi Quraizhoh selesai, akhirnya doa yang dipanjatkan oleh hamba yang sholih Sa’ad bin Mu’adz dikabulkan oleh Alloh [swt]. Ia dirawat di sebuah kemah dalam masjid agar Rosul mudah menjenguknya. Namun, luka yang dideritanya akibat perang Khondaq melebar dan tidak bisa diobati lagi. Ketika orang-orang menjenguknya, maka mereka mendapati Sa’ad sedang berlumuran darah dan akhirnya ia meninggal karenanya.
Ketika Sa’ad bin Mu’adz wafat, Rosululloh [saw] bersabda, “Arsy Alloh yang Maha Penyayang bergetar karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.”
Sa’d bin Mu’adz [ranhu] wafat pada tahun kelima hijriyah, dalam usia muda belia, pada umur 37 tahun. Rosululloh [saw] dan kaum Muslimin amat terpukul atas kepergian Sa’ad. Mereka telah kehilangan seorang pahlawan dan juga pemimpin yang amat memahami untuk apa dan bagi siapa ia harus memberikan loyalitas tanpa batas. Sebuah loyalitas yang tidak lagi mempedulikan celaan orang-orang yang mencela.
Semoga Alloh [swt] meridhoi Sa’ad dan memberikan balasan baginya dengan balasan yang lebih baik serta membangkitkannya pada derajat yang tinggi lagi mulia. Amin.
(Red-HASMI)