.:: Organisasi Pro Isu Gender dan Transeksual.

Isu gender awalnya lahir akibat rasa ‘frustasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah barat yang di anggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalisme (Eropa hingga abad ke-18), dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung sarat dengan pelecehan perempuan, secara struktur dan kultural telah menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rendah; sumber godaan dan kejahatan, tak memiliki hak dan terpinggirkan.

Ketika semangat pemberontakan terhadap dominasi gereja yang dikenal dengan revolusi ilmu pengetahuan (Renaissance) terjadi, sistem feodalisme yang di gantikan oleh sistem kapitalisme ikut menginspirasi bangkitnya kesadaran kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Namun hal ini tidak serta merta mengubah kondisi kaum perempuan. Disaat kapitalisme menjadikan industrialisasi sebagai penyangga eksistensinya, nasib perempuan makin terpuruk karena kebijakan pembangunan kapitalistik memberikan peluang terhadap kelompok minoritas (borjuis) menguasai aset ekonomi untuk menindas kaum buruh dan memeras masyarakat kelas bawah sebagai kelompok mayoritas dan menjadikan kaum perempuan lebih menderita akibat terjadinya kemiskinan struktural karena mengharuskan perempuan terpaksa ikut berperan menopang ekonomi keluarga, sementara pada saat yang sama mereka harus ikut berperan dalam sektor domestiknya. Sebenarnya istilah ini dilontarkan pertama kalinya  pada konferensi Beijing.

Pada waktu itu banyak negara dan utusan yang menolak istilah tersebut, karena tidak ada kejelasan. Ternyata dikemudian hari ditemukan bahwa “Gender”, secara umum di-gunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, “sex” secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempun  dari segi anatomi biologi.

DR. ‘Ishom Basyir,  menteri pene-rangan dan  wakaf Sudan, mengang-gap bahwa sosialisasi istilah “gender” merupakan langkah-langkah yang bertujuan untuk menghapus jati diri umat Islam melalui jalur per-undang-undangan. Menurut beliau, bahwa konsekuensi logis dari defenisi gender di atas, adalah seorang perempuan berubah menjadi laki-laki, dan seorang perempuan bisa  menjadi seorang suami dan  meni-kah dengan perempuan lain.

Dari kenyataan tersebut, maka tidak aneh kalau DR. Fuad Abdul Karim memandang bahwa sosialisasi istilah gender ini  bertujuan untuk melegitimasi  praktek homosex, yaitu hubungan sex yang dilakukan antara sesama laki-laki (gay) ataupun sesama perempuan (lesbian).

Sementara al-Qur’an sejak abad 6 M secara umum dan dalam banyak  ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki-laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al-Qur’an yang di-turunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. an-Nisa’ [4]:1-34, yang memandang perem-puan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.

Kesetaraan yang telah di akui oleh al-Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Untuk menjaga keseimbangan alam, harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.

Oleh karenanya, sebagai hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini membawa efek kepada perbedaan dalam tugas, kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimba-ngan hidup dan kehidupan, sebagai-mana anggota tubuh manusia yang berbeda-beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu kebodohan, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Batasan ide kesetaraan gender sebenarnya hingga saat ini masih menjadi perbincangan, baik di kalangan kaum feminisme maupun masyarakat umum.

Apa sebenarnya definisi dari konsep kesetaraan gender yang kaum feminis maksudkan; adanya ketidak jelasan ini akan berdampak pada tataran praktis. Sikap ambivalen (mendua) akan muncul ketika kaum feminisme menolak mengakui bahwa perbedaan seks akan berdampak pada perbedaan prilaku dan peran sosial. Akan tetapi pada saat yang sama mereka sering menuntut perlakuan yang berbeda dengan mendasarkan pada perbedaan jenis seksual mereka.

Contoh: Menuntut adanya peng-hapusan diskriminasi antara pekerja laki-laki dan perempuan dengan status mereka yang sama sebagai ‘pekerja’  namun pada saat yang sama mereka juga menuntut adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan seperti cuti hamil, shif kerja, dan lain-lain.

Pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination  Againts Woment , yang di singkat  CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Secara aklamasi , para peserta konferensi menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang  bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut.

Ada tiga point besar yang sangat membahayakan umat dari hasil konvensi tersebut, diantaranya:

Pertama:  anggapan bahwa agama (Islam) merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Kedua: mengusung hak-hak perem-puan yang berlandaskan dua hal: kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak.

Ketiga: Konferensi tersebut, merupakan satu-satunya  kesepakatan yang mengikat kepada seluruh negara yang ikut menandatanginya, dan harus melaksanakan segala isinya, tanpa boleh mengritik pasal-pasal  yang ada di dalamnya.

Bagai virus mematikan maka aura konvensi itu pun menyebar dan menular serta mematikan akal sehat pengusungnya. Sehingga di bentuklah lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang turut meng-gaungkan isu kesetaraan gender dan transeksual. Sebut saja LSM Our Voice yang berdiri September 2007 di Jakarta bergerak mendorong hak asasi manusia dan hak ke-beragaman seksualitas.

Ardhanary Institute adalah sebuah lembaga pusat kajian, penerbitan dan advokasi hak-hak lesbian, bi-seksual dan transgender (LBT) pe-rempuan di Indonesia, lembaga ini didirikan pada tanggal 14 Novem-ber 2005 di Jakarta sebagai bentuk kerja sama dari sejumlah kelompok kepentingan lesbian, biseksual, trans-gender perempuan dalam Koalisi Perempuan Indonesia.

LSM Arus Pelangi dibentuk pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta dengan kantor sekretariat di jalan Tebet dalam 4 no 3 Jakarta Selatan. Arus Pelangi, adalah LSM tempat mangkalnya kaum lesbian dan homoseks.

LSM Sanggar Waria Remaja (Swara) di Jakarta Timur merupakan organisasi sosial masyarakat yang didirikan oleh kelompok trangender dan transeksual sendiri dan bekerja untuk hak-hak kelompok transgender dan transeksual di Jakarta. LSM ini mengorganisasi kegiatan transchool yaitu pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga Swara dikhususkan bagi kelompok transgender/tran-seksual muda (17-24 tahun) wilayah Jakarta, Indonesia.

Selama sepuluh kali pertemuan para peserta diberikan pengetahuan tentang seksualitas, keadilan gender, hak asasi manusia, kesehatan (khusus-nya HIV dan AIDS) dan membangun kreatifitas diri.  Pelatihan dimulai sejak tanggal 18 November 2011 dengan melibatkan fasilitator dan narasumber dari berbagai kalangan seperti aktivis HAM dan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Transchool kali ini merupa-kan kegiatan kedua, sebelumnya dilaksanakan tahun 2010. Jauh sebelumnya pada tanggal 16 Mei 2008 tepat pada peringatan Hari Internasional Melawan Homophobia 2008 (menurut mereka) telah di-luncurkan buku oleh institute Pelangi Perempuan (kumpulan puisi dan cerpen lesbian muda Indonesia), lem-baga ini juga merupakan pusat ke-giatan dan informasi perempuan LBT (lesbian, bisexual dan transeksual).

Dan tentu masih puluhan lem-baga–lambaga sejenis yang ikut mengusung ide kelinger dan rancu semisalnya. Pemikiran rancu itu pun di perparah dengan munculnya orang-orang aneh seperti Siti Musdah Mulia guru besar UIN Jakarta yang mendapat penghargaan dari Condoleezza rice di Kemen-trian Luar negri AS atas jasanya membuat Kompilasi Hukum Islam diantara teks-teks krusial yang terdapat didalamnya adalah bahwa pernikahan bukan ibadah, wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, ijab qobul bukan rukun, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak.

Aktivis wanita “Islam” liberal itu juga pernah mengatakan, lesbian dan homosekstual diakui dalam Islam. Homoseks-homoseks dan homosek-sualitas bersifat alami (wajar) yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti itu diizinkan dalam Islam, dan bahwa pelarangan homoseks dan homosek-sualitas hanya merupakan tendensi para ulama.

Pemikirannya tidak bisa dikata-kan orisinil karena sebagian besar ide-idenya mengadopsi dari pemikiran tokoh liberal Mesir Qosim Amin (1863M). Selain itu ada tokoh fe-minism lain berada dalam rom-bongan kereta penggiat gender adalah Nursyah Bani Katjasungkana, Maria Pakpahan, Tentu  tidak asing bagi kita bahwa lembaga-lembaga atau tokoh-tokoh tersebut di sokong oleh NGO kelas dunia seperti Asia Foundation, Global Fund For Women dan lain-lain.

Tidak seharusnya umat termakan dengan isu keblinger gender dan transeksual kemudia latah ikut menggaungkan dan mempropagan-dakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Menciptakan, Maha Tahu akan  tugas dan peran masing–masing ham-banya laki-laki dan perempuan. (Admin-HASMI).

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.

Check Also

ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH / Orang Kepercayaan Umat

ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH Orang Kepercayaan Umat Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah ﷺ …

slot
situs slot