Mereka “Mendamba” Keruntuhan Kaum Muslimin

1 Dec 2017Redaksi Aqidah

Mereka “Mendamba” Keruntuhan Kaum Muslimin

Salah satu karakter pribadi (khashaa’ish dzaatiyyah) fundamental dan sikap mental asasi kaum munafikin sejati adalah “Mendambakan dan mengidamkan keruntuhan kaum Muslimin”. Dalam hal ini, Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalangan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya. Beginilah kalian, kalian menyukai mereka, walau mereka tidak menyukai kalian, padahal kalian beriman kepada semua Kitab. Apabila mereka menjumpai kalian, mereka berkata “Kami beriman!”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kalian. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kalian karena kemarahan kalian tersebut!”. Sesungguhnya Alloh mengetahui segala isi hati. Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kalian mendapat bencana, mereka justru bergembira karenanya. Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepada kalian. Sesungguhnya Alloh mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 118-200)

Dua Macam Dambaan Munafik
Ayat tersebut di atas menuntun kita kepada lentera hidayah yang sangat terang dan gamblang, bahwa kaum munafikin begitu “mengidolakan kaum Muslimin”. Namun jangan salah sangka dahulu, bukan dambaan positif atau baik, melainkan sebaliknya, yaitu dambaan negatif. Yaitu mereka begitu mendamba agar “keruntuhan” dialami dan menimpa kaum Muslimin dengan sepedih-pedihnya dan sangat perih.

Secara tegas, dalam ayat Alloh subhanahu wata’ala mendeskripsikan dua macam “dambaan keruntuhan” tersebut, yaitu:

1. Mendambakan dan mengidamkan (euforia) mudharat atau kesengsaraan menimpa kaum Bila tidak, maka kaum munafikin akan menampakkan penyesalan mendalamnya atas luputnya idamannya tersebut (ta-mannii adh-dharar wa al-masyaqqah li al-Mu’-miniin wa at-tahassur idzaa lam yajiduu sabiilan li at-tasyaffii).

Hal ini tercermin dalam firman Alloh subhanahu wata’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalangan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian….”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 118)

Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:

“Dalam ayat ini Alloh melarang keras kaum Mukminin untuk menjadikan kaum munafikin sebagai teman kepercayaan (bithaanah) yang bebas berkeliaran mengamati rahasia-rahasia (strategi) mereka, khususnya data akurat tentang musuh-musuh mereka. Karena dengan sekuat tenaga kaum munafikin tidak sedikitpun pernah ber-henti untuk memudharatkan kaum Mukminin. Munafikin justru begitu antusias untuk menye-lisihi kaum Mukminin dan sangat jeli memanfaat-kan segala kemungkinan untuk memudharatkan. Karenanya, mereka sangat lihai memainkan tipu daya (makar) dan begitu piawai bermuslihat (kho-dii’ah), untuk kemudian mencari timing yang tepat guna menyusahkan kaum Muslimin.”

Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:

(( مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ ))

“Tidaklah Alloh mengutus seorang Nabi atau menggantikannya dengan seorang kholifah, melainkan Dia mempersiapkan pula baginya dua tipologi teman kepercayaannya. Yaitu: (1) teman kepercayaan (baik) yang memerintahkan dan memotivasinya dalam kebajikan; dan (2) teman kepercayaan (jelek) yang memerintahkan dan memotivasinya dalam keburukan. Maka, orang yang Alloh lindungi adalah yang dilindungi-Nya dari yang kedua!”
(HR. al-Bukhori)

Konsekuensi logisnya, menjadikan kaum munafikin sebagai tangan kanan kepercayaan memberikan indikasi rusaknya suatu urusan, rapuhnya barisan dan berdampak instabilitas kehidupan.

Mengapa demikian?
Karena munafikin tidak akan mampu menasehati orang yang mempercayainya (pemimpin) dan tidak akan memotivasinya kecuali dalam keburukan dan kerusakan, serta hanya berujung kepada berkobarnya api fitnah di kalangan kaum Muslimin sendiri.

2. Berduka cita (utopia) manakala melihat kaum Muslimin beroleh kebajikan, seperti kemenangan, dan bersuka cita ketika kaum Muslimin ditimpa keburukan (al-huzn li maa yu-shiibu al-Muslimiin min al-khair wa al-farah li maa yasuu’uhum).

Tentang hal ini, Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

“…Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kalian mendapat bencana, mereka justru bergembira karenanya….”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 119)

al-Fakrur Rozi rohimahulloh berkata:

“Ayat ini mendeskripsikan sifat penyempurna bagi kaum munafikin. Alloh memaparkan bahwa dengan beragam sifat buruk dan pelbagai perbuatan keji mereka, munafikin pun senantiasa meneropong kaum Mukminin, apa sajakah musibah dan bencana yang menimpa mereka!”

Realitas “Dambaan”
Pelajaran berharga dari realitas yang pernah dialami kaum Muslimin yang mengindikasikan “dambaan” kaum munafikin adalah: (1) penak-lukan Baghdad disertai pembantaian massal 1 juta Muslimin di tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H, adalah  karena idaman dan andil dari seorang munafik Syi’ah yang menjabat sebagai perdana menteri, yaitu Muhammad bin al-‘Alqami yang membantu Hulagu dan membocorkan ra-hasia Khilafah ‘Abbasiyah yang saat itu dipimpin oleh al-Mu’tashim Billah; dan (2) penaklukan Khi-lafah ‘Utsmaniyah tahun 1924 M di tangan mu-nafik zindik Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, Mushthafa Kemal dan “cecunguk” busuknya dari kalangan Yahudi Daunamah (atau Dunmah).

Itu hanya sebuah contoh (sample), bukan batasan, yang terakhir, yaitu runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah malah belum begitu jauh waktu terjadinya dan masih begitu terngiang di telinga kita.

Renungkanlah Wahai Kaum Muslimin!
Jangankan kepada kaum Muslimin, terhadap Rosululloh shollallohu’alahi wasallam pun kaum munafikin juga berlaku seperti itu.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:

“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi  prang).” Dan mereka berpaling dengan rasa gembira.”
(QS. at-Taubah [9]: 50)

Asy-Syaukani rohimahulloh berkata:
“Sungguh, utopia terhadap pihak yang me-nerima kebaikan dan euforia manakala pihak ter-sebut beroleh bencana, adalah indikasi sangat nyata yang memperlihatkan puncak permusuhan.”

Inilah di antara “topeng kemunafikan”, bahwa kaum munafikin begitu “mendamba” dan “mengidam-idamkan dan mengidolakan” keruntuhan kaum Muslimin, tentunya dalam multi aspeknya, baik ukhrawi maupun duniawi, baik dalam masalah keagamaan, politik, ekonomi, sosial ataupun aspek-aspek lainnya.

Oleh karena itu, selain topeng kemunafikan tersebut harus disingkap, juga harus diyakini oleh seluruh kaum Muslimin, dimanapun dan kapanpun mereka berada serta sebesar apapun kesulitan mendera mereka, “jangan sampai menjad-kan kaum munafikin sebagai orang-orang keper-cayaan!”. Setelah itu, kumandangkan kepada mereka:

“…Matilah kalian karena kemarahan kalian tersebut!…”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 119)