Romadhon adalah bulan yang kedatangannya paling dirindukan oleh seluruh kaum muslimin. Romadhon merupakan bulan dimana segala amal ibadah mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat ganda dan hanya di bulan Romadhon sajalah kita dapat menemui malam yang keutamaannya lebih dari seribu bulan, yang apabila seseorang melakukan amal sholih pada saat itu, maka pahala yang didapatkan lebih baik dari yang dilakukan selama seribu bulan.
Maka sudah sepantasnya, banyak kaum muslimin yang semakin bersemangat untuk beramal sholih pada bulan yang mulia ini.
Setiap kaum muslimin pastinya begitu semangat untuk menabung pahala di bulan Romadhon ini. Akan tetapi tidak dipungkiri lagi bahwa sebagian kaum muslimin mengalami beberapa situasi yang akhirnya harus meninggalkan puasanya.
Orang yang memiliki udzur seperti sakit berat, bepergian jauh, wanita hamil, dan wanita menyusui mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa Romadhon. Hari-hari di mana mereka tidak berpuasa Romadhon dihitung sebagai hutang puasa Romadhon dan wajib melunasi hutang tersebut pada saat udzur mereka telah tiada.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara sakit atau bepergian jauh, hendaklah ia mengganti shaum pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Pelunasan hutang (qadha’) puasa Romadhon dikerjakan pada hari-hari yang diperbolehkan berpuasa, yaitu selain hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah).
Para ulama fiqih sepakat bahwa qadha’ tersebut paling lambat harus dikerjakan pada bulan Sya’ban, sebelum masuknya Romadhon di tahun berikutnya.
Dari Aisyah rodhiyallohu’anha,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dahulu saya memiliki hutang shaum Romadhon, namun saya tidak bisa membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban, karena kesibukan saya mengurus Rosululloh.”
(HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dari kesungguhan Aisyah rodhiyallohu’anha untuk melunasi hutang puasa Romadhon pada bulan Sya’ban ini bisa disimpulkan bahwasanya tidak boleh menunda qadha’ puasa Romadhon sampai datangnya Romadhon tahun berikutnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/239)
Jika seorang muslim atau muslimah menunda pelunasan hutang puasa Romadhon sampai datang Romadhon tahun berikutnya, maka hal itu tidak terlepas dari dua kondisi; menunda karena ada udzur syar’i dan menunda tanpa adanya udzur syar’i.
Kondisi Pertama: Menunda Qadha’ Puasa Romadhon karena Udzur
Misalnya, bulan Romadhon 1438 H telah datang, namun seorang ibu belum mampu melunasi hutang puasa Romadhon 1437 H, karena ia harus menyusui bayinya selama dua tahun penuh.
Dalam kondisi tersebut, para ulama sepakat bahwa ia harus mengerjakan puasa Romadhon tahun 1438 H. Adapun hutang puasa Romadhon 1437 H harus ia lunasi setelah udzurnya hilang, yaitu setelah masa dua tahun menyusui selesai. Ia tidak berdosa dalam menunda qadha’ shaum Romadhon 1437 H, sebab ia melakukan hal itu karena udzur syar’i.
An-Nawawi asy-Syafi’i berkata, “Jika ia memiliki udzur dalam menunda qadha’ karena terus-menerus safar, sakit, atau semisalnya; ia boleh menunda qadha’ selama masih memiliki udzur. Meskipun hal itu berlanjut beberapa tahun. Atas penundaan qadha’ tersebut, ia tidak wajib membayar fidyah, meskipun berulang kali datang beberapa bulan Romadhon.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/385)
Kondisi Kedua: Menunda Qadha’ Puasa Romadhon tanpa Udzur
Misalnya, ia tidak melunasi hutang puasa Romadhon 1437 H sampai datang Romadhon 1438 H, karena ia malas atau meremehkan perkara qadha’ puasa. Penundaan qadha’ puasa tanpa adanya udzur syar’i adalah sebuah dosa besar, sehingga pelakunya wajib bertaubat.
Para ulama fiqih bersepakat bahwa ia wajib melakukan puasa Romadhon 1438 H dan kemudian melunasi hutang shaum Romadhon 1437 H pada rentang waktu antara bulan Syawwal 1438 hingga Sya’ban 1439 H.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah selain terkena kewajiban qadha’, ia juga terkena fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:
- Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’) dan membayar fidyah.
- Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’), dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. (Badai’ush Shanai’ wa Tartibus Syarai’, 2/657-658, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/174, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/385-387, dan Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 4/400-401)
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
- Qadha’ dan Fidyah
Imam Ad-Daraquthni, Abdurrazzaq, Sa’id bin Manshur, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Khathab, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas RA bahwa mereka memfatwakan selain qadha’, ia juga harus membayar fidyah. Fidyah di sini adalah setiap hari ia memberi makan kepada satu orang miskin.
Pendapat ini diikuti oleh para ulama tabi’in seperti Atha’ bin Abi Rabbah, Qatadah, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Mujahid, Maimun bin Mihran, Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Adapun ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Ath-Thahawi al-Hanafi meriwayatkan dari ulama tabi’in, Yahya bin Aktsam, ia berkata, “Saya mendapati pendapat ini dari enam ulama sahabat, dan saya tidak mendapati seorang pun pada generasi sahabat yang menyelisihi pendapat ini.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/238)
Argumentasi mereka adalah:
- Fatwa para ulama sahabat, yang tiada seorang sahabat pun menyelisihi fatwa tersebut.
- Qiyas dalam masalah kafarat (denda). Orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Romadhon dikenai fidyah sebagai kafarat, diqiyaskan kepada orang yang secara sengaja makan di siang hari Romadhon tanpa ada udzur. Kesamaan ‘illah (alasan yang melatar belakangi sebuah hukum syar’i) antara kedua kasus tersebut adalah meremehkan shaum Romadhon.
- Qadha’ tanpa Fidyah
Ulama tabi’in Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i berpendapat orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Romadhon sampai datang Romadhon tahun berikutnya, tanpa adanya udzur, maka ia “hanya” terkena kewajiban qadha’. Namun ia tidak terkena kewajiban fidyah.
Ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah dan Daud azh-Zhahiri.
Mereka berdalil dengan:
- Firman Alloh, “…hendaklah ia mengganti shaum pada beberapa hari yang lain (di luar Romadhon).” (QS. Al-Baqarah [2]: 184) Dalam ayat ini, Alloh hanya memerintahkan qadha’, tanpa memerintahkan fidyah.
- Tidak ada hadits shahih yang memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat mengqadha’ hutang shaum Romadhon.
- Kajian dan Tarjih Pendapat
Apabila kedua pendapat di atas dikaji dan diperbandingkan, maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Ayat Al-Qur’an tidak secara tegas memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat membayar hutang puasa Romadhon.
- Al-Bukhari dan Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa tidak ada hadits marfu’ yang memerintahkan fidyah atas orang yang terlambat menqadha’ shaum Romadhon.
- Maka orang yang terlambat menqadha’ puasa Romadhon tanpa adanya udzur “hanya”lah terkena kewajiban menqadha’, tanpa wajib membayar fidyah.
- Adapun fatwa para ulama sahabat yang memerintahkan fidyah hendaknya dibawa kepada pengertian anjuran, bukan perintah wajib. Demikian penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dan Muhammad Shalih Al-Utsaimin saat mendudukkan fatwa para ulama sahabat tersebut.
- Sebagai langkah kehati-hatian, adalah lebih baik apabila ia melakukan qadha’ disertai membayar fidyah. Hal itu sebagai bentuk mengkompromikan dua pendapat dan keluar dari perbedaan pendapat mereka.
Wallohu a’lam bish-shawab.