Seluruh Shahabat Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam mengetahui benar tingginya kedudukan Khadijah Radiyallahu A’nha di hati beliau. Ketika Khadijah meninggal dunia, mereka sangat berharap Allah Subhanahu Wata’ala memberinya anugerah yang dapat meringankan kesedihan dan kepiluannya. Namun, tak ada seorangpun yang berani berbicara kepada Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam tentang masalah pernikahan. Namun kemudian, Allah Subhanahu Wata’ala menghendaki seorang shahabiyah terkemuka berani membicarakan masalah ini. Wanita itu adalah Khaulah binti Hakim. Ia datang kepada Rasulullaha Shallallahu A’laihi Wasallam dan membicarakan masalah pernikahan dengan harapan dapat menyenagkan hati beliau yang masih berbalut duka.
Aisyah Radiyallahu A’nha menceritakan bagaimana Khaulah binti Hakim Radiyallahu A’nha berhasil membicarakan masalah ini dengan Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam. Aisyah Radiyallahu A’nha berkata, “Ketika Khadijah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim bin Al-Auqash, istri Utsman bin Mazh’un, berkata kepada Rasulullah Shallallahu A’alaihi Wasallam (saat itu masih di Makkah), ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak ingin lagi…? Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam balik bertanya, ‘Dengan siapa?’ Khaulah menjawab, ‘Terserah kepadamu, apakah engkau mau menikah dengan seorang gadis atau janda ?’ Beliau bertanya lebih jauh, ‘jika gadis, siapa orangnya ?’ Khaulah menjawab, ‘Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar’. Beliau bertanya lagi, ‘Jika Janda, siapa orangnya ?’. Khaulah menjawab, ‘Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti ajaran agamamu.’ Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam berkata, ‘Kalau begitu, pergilah dan sampaikan pinanganku kepada mereka berdua.’”
Dalam riwayat Ahmad (dengan sedikit perubahan) dinyatakan bahwa Khaulah berkata, “Aku segera menemui Saudah dan ayahnya, Zam’ah. Saat itu, Zam’ah sudah lanjut usia, dan tidak dapat beraktifitas di musim haji. Aku berkata, ‘kebaikan dan kebahagiaan macam apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kalian ?’. Saudah berkata heran, ‘Apa maksud ucapanmu, wahai Khaulah ?’ Aku menjawab, ‘Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam mengirimku untuk menemuimu dan menyampaikan lamarannya kepadamu.’”
Hati Saudah berbunga-bunga. Ia tak kuasa menahan air mata bahagia yang bercucuran membasahi pipi dan menyejukkan jiwanya. Ia teringat mimpi yang belum lama dialaminya. Ternyata, kini mimpi itu menjelma menjadi kenyataan. Walaupun sebenarnya ia tidak pernah berharap menjadi istri Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam setelah usianya cukup lanjut. Suatu kebahagiaan yang sunnguh luar biasa, ketika kemudian ia menjadi Ummul Mu’minin.
Saudah Radiyallahu A’nha kembali menghadap kepada Khaulah seraya berkata dengan penuh rasa bahagia, “Tentu aku menerimanya. Tapi, temuilah ayahku dan bicarakan hal ini dengannya.”
Khaulah melanjutkan, “Aku langsung menemui ayah Saudah. Aku menyapanya dengan sapaan orang-orang Jahiliyah. ‘Selamat pagi’. Ayah Saudah bertanya, ‘Siapa engkau ?’ Aku menjawab, ‘Khaulah binti Hakim bin Umayyah As-Sulami, istri Ustman bin Madzh’un Al-Jumahi.’ Ayah Saudah mempersilahkanku masuk dan kami terlibat perbincangan yang panjang lebar. Ia mengetahui bahwa aku telah meninggalkan agama Quraisy dan beriman kepada Muhammad serta pernah hijrah ke Habasyah dan kembali ke Makkah. Setelah itu, ia baru bertanya tentang keperluanku menemuinya. Ia berkata, ‘Apa keperluanmu datang ke mari ?’.
Aku menjawab, ‘Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib mengirimku untuk menyampaikan maksudnya meminang putrimu, Saudah Ummul Aswad.’ Ayah Saudah berkata, ‘Muhammad adalah pasangan yang pantas dan mulia. Tapi, apa komentar sahabatmu, Saudah ?’Aku menjawab, ‘Ia bersedia menerimanya.’ Ayah Saudah berkata lagi, ‘Kalau begitu, panggil Saudah ke sini.’
Aku pergi dan memanggil Saudah. Setelah datang, ayahnya berkata, ‘Putriku, sesungguhnya, Khaulah binti Hakim mengatakan kepadaku bahwa Muhammad bin Abdullah mengutusnya untuk meminangmu. Muhammad adalah pasangan yang serasi dan mulia bagimu. Apakah engkau bersedia jika kau ku nikahkan dengannya ?’, Saudah menjawab dengan jelas, ‘Tentu, jika engkau setuju.’ Ayah Saudah, Zam’ah, melirik kearah Khaulah seraya berkata, ‘Sampaikan kepada Muhammad agar datang kepada kami.’’’
Khaulah melanjutkan, “Kemudian, Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam-pun datang dan melangsungkan akad nikah dengan Saudah. Beliau memberinya mahar sebesar 400 dirham.”
Saat itu, Saudah Radiyallahu A’nha mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abdullah bin Zam’ah yang masih menganut kepercayaan Quraisy dan kebetulan sedang berada di luar Makkah. Ketika tiba di Makkah dan tahu saudara perempuannya menikah dengan Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam ia sangat marah karena fanatisme Jahiliyah menguasai dirinya. Ia menaburkan debu di kapalanya karena menyesal dan kecewa dengan pernikahan tersebut. Lalu ia menemui ayahnya dan mengecam keputusannya menerima lamaran Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam kepada Saudah Radiyallahu A’nha.
Namun, setelah Allah Subhanahu Wata’ala membuka mata batin dan mata lahirnya, ia-pun mau menerima pesona cahaya Islam dan beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi-Nya. Abdullah mengenang peristiwa tersebut seraya berkata, “Aku benar-benar bodoh, ketika aku menaburkan debu di kepalaku karena Nabi Shallallahu A’laihi Wasallam menikahi Saudah.”[] Redaksi.
..:: WALLAHU A’LAM ::..