Alloh [swt] berfirman:
“Katakanlah (wahai muhamad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh [swt], ikutilah aku, niscaya Alloh [swt] mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-‘Imron[3]: 31)
Saudara-saudariku kaum Musli-min Muslimah yang berbahagia..!!
Hasan al-Bashri [rahimahu] mengatakan: “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Alloh [swt]. Sebab itu, Alloh [swt] hendak menjadikan bukti kebenaran pengakuan mereka itu dengan fakta amal, sehingga Alloh [swt] menurunkan ayat ini”. (HR. Ibnu Abi Hatim, Fathul Bari: 10/558)
Ya…, cinta kepada Alloh [swt] yang merupakan wujud keislaman akan sah dan benar dengan syarat ittiba’ kepada Rosululloh [saw]. Demikian pula sejarah kebangkitan atau keterpurukan umat manusia berporos di pusaran berittiba atau sebaliknya.
Lihatlah terpuruknya umat Nabi Nuh [alayhis]! Terpuruk karena rasa kagum dan ta’zhim kepada para tokoh-tokoh mereka diungkapkan bukan dalam bingkai ittiba’, tapi murni rasa dan keinginan manusia. Ungkapan rasa kagum dan ta’zhim yang dirasa dan di pikir manusia adalah sah dan benar, tapi ternyata batal dan syi-rik menurut bingkai ittiba’.
Begitu juga tegaknya kebangkitan umat, kemuliaan di akhirat kelak dan benteng dari berbagai fitnah yang menerpa serta meraih ampunan dari Alloh Yang Maha Ghofur terwujud dengan ittiba`. Alloh berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.(QS. an-Nur [24]: 63)
Wujud Ittiba’
Wujud Ittiba’ dalam ruang lingkup aqidah, ibadah, akhlak dan pensucian jiwa serta pendekatan diri kepada Alloh [swt] harus dilakukan dalam bingkai-bingkai kaidah berikut:
1) Abdulloh bin Mas’ud [ranhu] berkata : “Kami diperintah untuk iqtida’ (menaulada-ni), bukan ibtida’ (meng-konsep baru), ittiba’ (me-napaktilasi), bukan ibtida’ (menjalani cara baru)”. (Sya-rah Ushul al-I’tiqod, al-Lalikai: 1/86)
2) Pondasi bangunan Islam dibentuk di atas wahyu dan penukilan sumber yang shohih (benar), bukan hanya rasionalitas dan hasil analisa. Perintah dan larangan apa saja yang datang dari Alloh [swt] dan Rosul-Nya wajib segera diterima dan dijalankan untuk dilakukan atau ditinggalkan. Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib [ranhu] berkata:
“Seandainya agama murni rasionalitas, niscaya mengusap bagian bawah sepatu khuf lebih pantas daripada bagian atasnya”. (HR. Ah-mad: 1267 dan Abu Daud: 162, para tokoh pembawa sanadnya tsi–qot (terpercaya).
3) Seorang Muslim wajib mengkaji dan meneliti hukum syara’ sebelum mela-kukan suatu amal dalam setiap sisi kehidupannya. Rosululloh [saw] mengingatkan dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan syari`at tanpa ada satuan aturannya dari Kami (Rosululloh ), niscaya amal itu ditolak.” (HR. Muslim: 1718)
4) Arti Ittiba’ kepada Rosululloh [saw] berarti mengamalkan semua sisi kandungan wahyu yang ada dalam al-Qur`an al-Karim dan Hadits-hadits shohihnya yang mulia. Beliau mengingatkan:
“Ketahuilah! Sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan yang semisa bersamanya”. (HR. Ahmad: 4/131)
5) Jenis ibadah yang beliau tinggalkan, tidak diamalkan. Padahal tak ada situasi kondisi yang menghalangi untuk diamalkan. Melakukan hal itu berarti bid’ah. Imam Malik [rahimahu] berkata:
“Apa saja yang di saat Beliau hidup bukan bagian dari agama, maka saat ini pun tak mungkin jadi ba-gian agama”. (al-I’tishom, asy-Syathibi: 1/49)
6) Setiap masalah ushuluddin dan berbagai cabang agama, baik berkaitan tentang ibadah dan muamalah, maupun di situasi tempur dan aman, baik dalam bidang politik maupun ekonomi telah dijelaskan oleh syari’at dengan terang dan jelas.
7) Sikap ittiba’ dalam setiap amal peribadatan tak dapat terwujud kecuali setelah sesuai dengan syari`at dalam keenam komponennya: sebab dilakukannya, jenisnya, kadar atau ukurannya, cara atau metodenya, waktu pelaksanaannya, serta tempat dilaksanakannya.
8) Dasar pelaksanaan ibadah bagi seorang mukallaf adalah ta`abbudi (sikap pengabdian) dan imtitsal (sikap menjunjung tinggi perintah Alloh [swt]), bukan karena memiliki hikmah dan kandungan manfaatnya.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukminah, apabila Alloh dan rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) ten-tang urusan mereka. Dan ba-rangsiapa mendurhakai Alloh dan rosul-Nya maka sungguh-lah dia telah sesat, dengan ke-sesatan yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Meniti Islam hanya bisa benar dan shohih jika melalui jalur dan bingkai ittiba’ (mengikuti) cara beragama dan menerapkan Islam Rosululloh [saw] dan para sohabatnya [ranhum]. Jika tidak, maka akan terjadi keterpurukan, ketergelinciran, penyelewengan pengabdian dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat.
(Red-HASMI)