Hari esok adalah hari yang berada di depan perjalanan hidup seseorang. Hari esok terkadang menjanjikan kebahagiaan dan harapan atau malah mengancam dengan ketakutan dan duka cita nestapa. Hari esok bagi seorang muslim bukan sekedar hidup masa depan di dunia, tetapi juga hidup masa depan di akhirat kelak.
Salah satu bisikan pada diri kita yang menakut-nakuti kita adalah bisikan-bisikan pada hati kita tentang ketakutan akan kefakiran dan kemiskinan. Alloh [saw] berfirman dalam al-Qur`an:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedang Alloh menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 268)
Pada diri kita akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:
Bagaimana kehidupan saya di esok hari ?
Bagaimana bila setelah lulus aku tidak dapat kerja?
Bagaimana jika aku sakit, sedangkan aku tidak punya uang untuk berobat?
Bagaimana kalau nanti aku tua kemudian lemah dan tidak mampu bekerja?
Ketika muda, kita selalu dibayangi dengan kemiskinan di waktu dewasa. Ketika dewasa, kita terus dibayangi kesengsaraan di waktu tua. Dan ketika tua masih juga dirisaukan oleh pikiran bagaimana dengan nasib anak cucu saya nanti ?
Saat sebelum bekerja, kita takut dengan nasib kita ke depan. Dan sesudah dapat kerja, kita pun terus was-was kalau-kalau kena PHK. Begitulah bermacam bentuk kecemasan dan kekhawatiran menghadapi masa depan terus menggelayuti pikiran kita.
Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana nanti, seandainya begini atau begitu, jikalau nanti…? Sesungguhnya adalah pekerjaan setan agar kita menjadi resah, gelisah, sedih, takut dan cemas, yang pada gilirannya tujuan yang diinginkan setan adalah supaya hati kita terpaut pada dunia, bergantung pada materi dan ujungnya kita rela menghalalkan segala cara untuk menggapai apa saja yang kita inginkan.
Bukankah karena alasan takut lapar, saudara kita bersedia menghalalkan segala cara mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kwitansi atau menerima komisi tak sah jutaan rupiah ? Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan, membuat sebagian saudara kita pergi ke “orang pintar” agar bertahan pada posisinya atau supaya meningkat ke “kursi yang lebih empuk”? Bukankah karena takut akan kehabisan harta, sebagian kita jadi enggan mengeluarkan zakat dan sedekah?
Mereka itu sebenarnya adalah korban pemiskinan yang dibuat oleh setan. Setan telah berhasil mengelabui mereka dengan menghunjamkan rasa takut dan khawatir di pikiran mereka, sehingga mereka selalu merasa cemas dan takut dengan masa depan yang hendak dilaluinya. Mereka takut miskin, takut sengsara dan takut hidup menderita.
Untuk itu Alloh [swt] mengajarkan bahwa tataplah masa depan dengan tawakal. Alloh [swt] berfirman:
“.. dan bertakwalah kepada Alloh, dan hanya kepada Alloh sajalah orang-orang mu`min itu harus bertawakal”. (QS. Al-Maidah [5]: 11)
Alloh [swt] berfirman:
“… dan Barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Alloh telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu“. (Qs. At-Tholaq [65]:3)
Tawakal merupakan pekerjaan ruhani atau qolbu. Menurut al-Qur`an, perintah tawakal ditujukan kepada jiwa atau qolbu manusia. Segala perintah Alloh [swt] diorientasikan kepada jiwa dengan tujuan mendidik, dan memperbaiki kualitasnya. Jiwa yang semakin berkualitas akan menampilkan perilaku lahiriah yang semakin berkualitas pula. Tindakan lahir sangat bergantung pada kerja batin atau jiwanya.
Kata tawakal berasal dari tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan, yakni tawakkul. Sebutan yang benar seharusnya tawakkul, bukannya tawakal. Akan tetapi, bangsa Indonesia tampaknya lebih familiar dengan kata tawakal. Tempat kita bertawakal yang diajarkan Islam adalah al-Wakil yaitu Alloh [swt]. Tidak ada sesuatupun selain Dia yang pantas dijadikan tempat menyandarkan segala urusan, menyangkut segala aspek kehidupan manusia.
Sikap tawakal membuahkan keberuntungan duniawi dan ukhrowi, itu pasti. Seseorang yang dicintai Alloh , akan beruntung dunia dan akhirat. Oleh karena itu, jangan salah mempraktekkan tawakal. Rosululloh memberi contoh praktek tawakal, laksana tawakalnya burung-burung yang berterbangan secara dinamis mencari rezekinya, ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tidurnya.
Sebuah riwayat dari Umar bin Khothob menyebutkan secara marfu’,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرِ، تَغْدُوْا خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Sekiranya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, orang yang berjiwa tawakal, bukan orang yang serba menunggu dengan pasif, tetapi berjiwa aktif dan dinamis, seperti aktif dan dinamisnya burung-burung dalam mencari rezeki. Burung-burung patut dijadikan contoh yang nyata, dalam hal bertawakal, utamanya dalam usaha mencari rezeki dari Alloh . Wallohu ta’ala a’lam…
(Red-HASMI)