Semua paham dan aliran sesat memiliki landasan yang sama dalam beragama. Prof. Dr. Nashir ibn ‘Abdul Karim al-‘Aql dalam bukunya Dirasat fi al-Ahwa wa al-Firaq wa al-Bida’ wa Mauqif al-Salaf Minha menyebutkan berbagai sebab terjadinya kesesatan firqah dhâllah (golongan sesat) dan landasan utama mereka.
Sebab-sebab tersebut diantaranya yang paling pokok adalah dalam mashdar talaqqi (sumber pengambilan ilmu/ agama), dimana mereka mengambil agama yang bersumber selain dari al-Qur’an, al-Sunnah (al-hadits) dan pemahaman salafus shalih. Mereka mengambil aqidah, tata cara ibadah, hukum, dan pendapat bukan dari jalan wahyu. Artinya mereka beragama dengan cara dan jalan yang bukan sebagaimana Allah dan Rasul-Nya syariatkan. Sumber-sumber tersebut diantaranya adalah :
a. Pendapat pribadi yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
b. Mendahulukan akal dari nash dan menjadikannya penentu hukum.
c. Mengikuti hawa nafsu dan kecenderungan jiwa.
d. Bersandar pada pendapat tokoh-tokoh mereka.
e. Pengakuan bahwa diantara mereka ada orang-orang yang maksum selain Nabi dan Rasul.
f. Bersandar kepada mimpi, kasyaf (penerawangan) dan perasaan, walaupun bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah Wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan sumber rujukan pertama dalam memahami Islam. Keimanan kepada al-Qur’an merupakan salah satu rukun dari rukun iman yang enam. Semua ayat yang ada dalam al-Qur’an adalah kalamullah, wahyu yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala turunkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wa Sallam, yang terpelihara dari perubahan, penambahan atau pengurangan. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr:9).
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam, dimana umat Islam sejak zaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam sampai sekarang tidak pernah berbeda pendapat tentang hal ini. Tidak ada yang meragukan tentang hal ini. Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur’an dan al-hadits kedua-duanya adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Bedanya adalah, al-Qur’an wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala secara makna dan lafaz (kata-katanya), sedangkan al-hadits adalah wahyu dari Alloh secara makna (kandungan)nya saja. Adapun lafaznya maka dari susunan Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam. Alloh Subhanahu wa Ta'ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya :
“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”(QS.Al-Najm:3-4).
Ini adalah nash yang tegas bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam tidak membawa sesuatu semata-mata dari dirinya. Apa saja yang beliau ucapkan yang berkaitan dengan tasyri’ (syari’at) adalah wahyu dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta'ala, baik wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an ataupun wahyu yang maknanya dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta'ala sedangkan kata-katanya dari susunan Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam (al-hadits). Hal ini sebagaimana Rasulullah tegaskan dalam hadits beliau :
(( إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ))
“Sesungguhnya aku diberikan al-Qur’an dan yang semisalnya (al-hadits) bersamanya”.(HR. Hakim dalam al-Mustadrak 2/4 dan al-Syafi’i dalam al-Risalah hal.93.).
Kedudukan al-Sunnah dalam Islam sangat mulia. Komitmen ketaatan seorang muslim kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam adalah hal yang mutlak sebagai konsekwensi dari syahadahnya. Di dalam al-Qur’an tak terhitung banyaknya ayat yang memerintahkan kita untuk taat dan mengikuti Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam. Ada yang mengaitkan ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, dan dalam ayat lain ketaatan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam disebutkan tersendiri.
Diantaranya adalah dalam firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Alloh dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagikalian) dan lebih baik akibatnya”. (QS. Al-Nisa:59).
Juga firman-Nya :
“Tidaklah pantas bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. al-Ahzab:36).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda :
(( تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ ))
“Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, dengan berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabinya.” (HR. Malik no. 1395, dan al-Hakim no 290).
Semua dalil tersebut menegaskan tentang wajibnya menerima semua yang datang dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam berupa hadits-hadits yang shohih. Jika sebuah hadits telah terbukti secara ilmiah sebagai hadits yang shahih, baik hadits ahad maupun mutawatir, maka tidak halal bagi seorang muslim untuk menolaknya.
Keyakinan paham dan aliran sesat tentang sumber dalam beragama sangat beragam. Diantara mereka ada yang kesesatannya pada pengingkaran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, dan ada yang meyakini adanya sumber lain selain keduanya.
Salah satunya adalah Syiah. Firqah yang oleh para ulama telah dianggap keluar dari Islam ini berkeyakinan bahwa tidak ada yang mengumpulkan al-Qur’an dengan lengkap selain Ali ibn Abi Thalib Radhiallohu anhu dan para imam sesudahnya. Ini artinya menurut mereka al-Qur’an yang beredar di kalangan kaum muslimin tidak lengkap. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang bukanlah al-Qur’an yang diturunkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam , ia telah dirubah dan dikurangi. Mereka meyakini adanya mushaf (kitab suci) yang disebut Mushaf Fatimah. Mushaf ini adalah al-Qur’an yang asli (belum mengalami perubahan), yang ukurannya tiga kali lebih tebal daripada al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin saat ini. Mereka meyakini mushaf tersebut akan kembali hadir ke dunia dengan dibawa oleh imam yang ke-12, yaitu Imam Mahdi al-Muntazhar.
Selain Mushaf Fathimah, Syi’ah juga memiliki beberapa kitab suci, yaitu; al-Jami’ah, Shahifah al-Namus, Shahifah al-‘Abithah, Shahifah Dzu’abah al-Saif, Shahifah Ali, dan al-Jafr. Disamping itu mereka juga membaca Injil, Taurat dan Zabur dengan bahasa Suryani.
Terkait keyakinan tentang kitab suci, ternyata tidak hanya Syiah yang tersesat dan menyimpang. Demikian pula halnya dengan Ahmadiyah, dimana mereka meyakini mempunyai kitab suci sendiri yaitu Tadzkirah. Kitab ini adalah kumpulan wahyu yang diturunkan ‘Tuhan’ kepada Mirza Ghulam Ahmad, yang mereka yakini kesuciannya sama dengan Al Qur’an dan kitab suci lainnya. Mirza mengaku bahwa ayat-ayat dalam Tadzkirah adalah wahyu yang dia terima di India. Padahal ayat-ayat tersebut hanyalah bajakan (penodaan) dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kesesatan yang sama juga terjadi pada berbagai aliran sesat. Di Indonesia munculnya aliran sesat ini seperti tak ada habisnya, selalu ada sesuatu yang baru. Sebut saja, Lia Aminuddin. Sekitar tahun 1997 ia mengaku mendapatkan wahyu dari malaikat jibril, dan setahun kemudian yaitu pada tahun 1998 Lia membai'at dirinya sebagai Imam Mahdi. Bahkan ia menyebutkan bahwa anaknya Ahmad Mukti sebagai Nabi Isa. Lia bermaksud bukan hanya ingin menyelamatkan bangsa Indonesia saja, tapi juga umat manusia di seluruh dunia. Para pengikut setianya yang berjumlah puluhan orang dinamai jamaah salamullah.
Kemudian sesuai dengan (seperti pengakuannya) perintah Malaikat Jibril yang disebutnya Syeh, Lia menyuruh semua anggota kelompoknya untuk menggunduli rambut dan mencukur jenggot untuk menyucikan noda dan dosa. Dan sejak itu Lia dan pengikutnya selalu mengenakan kain putih tanpa penutup kepala. Kemudian ia mengaku sebagai Jibril Roh Kudus. Sedangkan jabatannya sebagai Imam Mahdi diberikan kepada salah seorang pengikut terdekatnya yang bernama Abdurrohman. Tak lama kemudian Lia mengubah nama kumpulan jamaahnya menjadi kelompok Eden yang mengklaim sebagai penguasa "Kerajaan Tuhan".
Kedudukan Sahabat di dalam Islam
Yang dimaksud dengan sahabat adalah siapa saja yang pernah bertemu dengan Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam dalam keadaan beriman dan meninggal diatas keimannya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah memuliakan dan mengakui keutamaan-keutamaan para sahabat Nabi , mencintai mereka, membersihkan hati dan lidah dari caci maki terhadap para sahabat, dan meyakini bahwa mereka adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka adalah orang-orang yang ‘udûl (adil, tidak diragukan integritasnya). Ini merupakan suatu aqidah yang prinsip dalam Islam, dan suatu perkara yang telah diketahui secara pasti dalam Islam oleh seluruh kaum muslimin. Dalil-dalil tentang ‘adâlah al-shahâbah (integritas para sahabat) sangat banyak, diantaranya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah:100).
Juga firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. al-Fath:18).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda :
((خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ))
“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka (tabi’in). Kemudian generasi yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in)”. (HR. Bukhari, no.3650, dan Muslim, no. 6635).
Demikian tingginya kedudukan sahabat Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam sehingga Alloh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan keimanan mereka sebagai satu-satunya standar keimanan yang benar. Artinya, siapa saja yang keimanannya menyelisihi keimanan para sahabat, maka dia berada dalam kesesatan.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah:137).
Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan keimanan para sahabat sebagai standar keimanan yang benar. Barangsiapa yang cara berimannya mengikuti cara beriman para sahabat, maka keimanannya benar. Sedangkan mereka yang cara berimannya tidak mengikuti cara berimannya para sahabat , maka keimanannya menyimpang lagi sesat.
Kedudukan al-Sunnah sebagai sumber hukum di dalam Islam telah sangat jelas dengan berbagai dalil diatas. Seluruh hadits yang telah memenuhi kriteria keshahihan untuk dapat dijadikan sandaran dalam beragama telah dikumpulkan oleh para perawi hadits. Mereka menggunakan metodologi yang sangat kuat dalam penerimaan periwayatan hadits. Umat Islam telah ijma’ bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian disusul oleh kitab-kitab Sunan seperti: Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Kaum muslimin senantiasa menjadikan kitab-kitab hadits tersebut sebagai rujukan setelah al-Qur’an.
Dalam masalah ini, banyak firqah dhallah yang telah menyimpang dengan melakukan penolakan terhadap hadits, meragukan, atau melakukan penafsiran yang tidak sesuai dengan pemahaman para sahabat. Diantaranya yang paling jelas adalah Syiah. Mereka tidak mau menerima hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam yang telah jelas keshahihannya. Mereka menolak mentah-mentah semua kitab hadits tersebut, karena mereka tidak menerima ‘adalah para sahabat yang mulia. Syi’ah berkata : “Adapun semacam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Marwan bin Hakam, Amran bin Haththan, ‘Amr bin ‘Ash, maka disisi Syi’ah mereka itu tidak memiliki sedikitpun nilai walau senilai lalat sekalipun.
Karena itu tidak mengherankan jika Syi’ah tidak mengakui dan tidak menerima Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab Sunan yang lainnya, karena para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits di dalam kitab-kitab tersebut tidak mereka percayai, bahkan mereka kafirkan. Agama Syi’ah dipenuhi dengan caci maki terhadap para sahabat. Mereka melontarkan berbagai tuduhan keji kepada para sahabat berdasarkan dugaan-dugaan yang buruk. Sebagian sahabat yang mereka caci itu justru termasuk dalam sepuluh sahabat yang telah dijamin masuk surga, yaitu: Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam radhiallahu ‘anhum.
Kesesatan lain terkait penolakan terhadap hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam juga dilakukan oleh aliran Inkar Sunnah. Mereka mengingkari semua yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam. Mereka mengatakan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa Sallam tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, dengan dalih ‘karena tugas Nabi hanya untuk menyampaikan’. Dengan dasar aqidah sesat inilah mereka meramu dan membuat beragam syariah yang tidak pernah disyariahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.