Santun, ramah, dan tidak pernah merusak lingkungan… mendengar kata-kata seperti itu disematkan pada seseorang, tentu kita semua akan cekat menyanggah jika ada yang mempertanyakan keabsahan kebaikannya, “Baik, kok bisa-bisanya Anda sesatkan…?”
Karena alasan seperti itu pulalah, sebagian di antara kita dengan tanpa mempertimbangkan kesempurnaan syari’at Islam memutuskan untuk memberi penghargaan setinggi langit kepada sosok penjaga merapi yang terkenal itu, “Mbah Marijan”. Tanpa pernah mencoba mengerti akan arti dibalik sujud saat kematiannya, tanpa pernah menilik atas laku-laku “ritual anehnya”, dan tanpa pernah menggali lebih dalam tentang arti abdi dalem itu sendiri, kita semua lantang meneriakkan, “Dialah sosok pejuang sejati, setia mengabdi sampai mati…”
Inilah kebaikan dan keburukan yang hanya terukur oleh lintasan akal
Ya, ketika kebaikan dan keburukan hanya terukur oleh lintasan akal, maka kebaikan dan keburukan itu pun menjadi suatu yang biasa, tersamarkan, bahkan cenderung mudah dimanipulasi. Karena, semua orang tentu akan mudah berkata, “ini kan baik menurut saya…” Dan sang manipulator akan lebih canggih mempresentasikan hasil racikan akalnya, “Ini kan seni dan tidak melanggar hak asasi manusia…”
Ya, “ini kan baik menurut saya…” memang bisa benar seperti itu, tapi tidak seharusnya kita lupa untuk membubuhkan kalimat tanya setelahnya, “namun, bagaimana dengan orang lain…?” karena kita hidup tak sendiri, bukan? Dan karena orang lain, belum tentu setingkat pengolahan akalnya dengan kita, bukan? Atau, dan bahkan kalau mau selaras dengan identitas Islam yang tertera di KTP kita, kalimat tanya berikut seharusnya lebih tepat untuk kita persuntingkan, “namun, bagaimana dengan Alloh …?”
“Tetapi, boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Alloh mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Baqoroh[2]: 216)
Alloh [swt] Yang Maha Tahu, Alloh [swt] Yang Maha Adil, semoga kita senantiasa berada dalam penjagaan-Nya…
Inilah KEJAWEN yang sebenarnya menjadi penggerak dari setiap laku seorang Mbah Marijan dan juga orang-orang yang seiman dengannya. Kejawen yang asalnya bermuara dari pengalaman hidup orang Jawa yang sebagian besar merupakan hasil interaksi dan observasi orang Jawa dengan alam semesta dan ditambah juga dengan adanya leburan falsafah-falsafah lainnya yang menyambangi ranah jawa pada akhirnya menjadi satu ajaranbatin yang turun temurun diwariskan hingga saat ini. Walaupun ada fakta lain yang berbisik, yang menurutnya bahwa sebenarnya kejawen lahir di keraton, sengaja dibuat oleh sang raja yang duduk di singgasana untuk melestarikan otoritas kerajaannya. Maka dibuatlah simbol-simbol budaya bernuansa mistis yang kemudian dikenal dengan istilah kejawen ini.
Bagaimana pun sejarahnya, yang jelas ajaran ini bukanlah berasal dari Islam, meskipun seringkali dilekatkan kata Islam di depannya. Bolehlah kita menilai 9 atau 10 atas dzohir keramahan, kesantunan, kewelas asihannya terhadap sesama manusia, dengan tanpa harus kita pertanyakan terlebih dahulu untuk siapa semua amal tersebut, namun bagaimana dengan contoh fakta lainnya berikut ini yang sering diklaim sebagai ritual kejawen: Garebeg, Sekaten, Malam satu syuro’, dan lainnya. Di mana di setiap ritual itu, mesti saja ditampilkan hal-hal yang mistik , atau penyucian benda-benda yang dianggap keramat yang sama sekali tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam, bahkan justru dilarang.
Ah, kalau saja dahulu Rosululloh [swt] mengajarkan hal seperti itu, atau menawarkan ritual seperti itu kepada Abu Jahal, mungkinlah ia akan menyambutnya dengan wajah bercerahan, “Aha, ini baru yang saya suka…”
Maka, menjadi salah besar jika ada yang menggebyah uyah bahwa kejawen adalah Islam dan Islam adalah kejawen.
Bagaimana mungkin kejawen adalah Islam, sementara ada yang tertanam dalam jiwa pemeluknya, bahwa ada penguasa lain selain Alloh di dunia ini. Seperti halnya gunung merapi yang diyakini memiliki penguasa yang bernama Mbah Petruk. Hingga drama gunung merapi yang sampai menewaskan beberapa orang yang tidak ikut lari itu pun adalah akibat ulah mereka mempertahankan keyakinan bahwa sang penguasa gunung pasti akan menyelematkan mereka. Tersebutlah kemudian sang abdi dalem kuncen merapi itu mati dalam keadaan sujud menghadap gunung.
Setan. Ia lah yang sangat kita yakini menjadi kreator di balik semua ajaran ini. Betapapun indahnya ajaran ini yang dibungkus tebal-tebal dengan prinsip keseimbangan hidup yang mengharuskan manusia berlaku ramah dan welas asih terhadap sesama manusia dan bahkan lingkungan, namun busuknya tetaplah begitu tercium menyengat dari dalam.
Inilah SETAN yang telah menyuntikkan DNA sinkretesme dalam tubuh KEJAWEN. Maka, syari’at-syari’atnya pun menjadi ala setan. Kesaksian terhadap Sapu Jagat, Petruk, Nyi Roro Kidul rabbuna siwAlloh adalah bagian syahadatnya, sujud terhadap kerbau bule adalah sholatnya dan ziarah ke makam-makam para wali adalah hajinya.
Inilah SETAN yang telah memberi wahyu pada para pemeluk Kejawen untuk tidak perlu menjalankan sholat lima waktu sesuai syari’at Alloh , namun cukup dengan eling, sadar, yakin bahwa manusia bisa melebur dengan Alloh . Manunggaling kawula gusti. Cukup.
La haula wa la quwwata illa billah…
Sungguh, terlalu suci sebenarnya jika kata Islam harus disandingkan dengan kejawen. Namun begitulah setan, usahanya telah berhasil membuat manusia tidak lagi peka terhadap bau yang menyengat itu. Bahkan permasalahannya, sebenarnya bukan hanya soal peka atau tidak peka terhadap kebusukan ini, tetapi sesungguhnyalah kejawen ini telah menjadi senjata yang dipergunakan setan untuk menghancurkan Islam itu sendiri.
Maka, inilah setan. Mengemudi di atas pundak tunggangan yang bernama kejawen. Dzohir yang baik, santun, ramah, bahkan tidak hanya terhadap sesama manusia, namun juga terhadap alam sering ditafsirkan oleh akal sebagai sebuah kebaikan yang pasti diridhoi Alloh . Al-Hasil, semua mata terpana, tersihir dengan tunggangan setan tersebut yang seolah- olah adalah ajaran Islam itu sendiri, atau minimalnya sama dengan ajaran Islam.
Begitulah setan, ia tak hanya menyebarkan kalimat kekufuran melalui personal orang per orang, membisikkan kata-kata, hingga menjadikan orang itu meyakini bahwa ada kekuatan lain di balik sebongkah pohon yang telah mengakar bumi ratusan tahun. Namun, ia juga dengan tahap mentahap, tahun menahun mampu membuat jaringan sindikat terorganisir yang dibungkus dengan aneka hal yang menarik hati, sehingga terjaring-lah orang-orang yang bodoh terhadap syari’at Alloh . Dan memang, sindikat semacam ini sebenarnya telah lama di jalankan oleh setan, semenjak di jaman Nuh [alayhis] hingga saat ini, yang telah mengkali lipat jumlahnya dan yang seterusnya menjelma menjadi musuh Islam yang nyata.
Inilah Mbah Marijan, Keraton dan Kejawen dengan laku-laku ritual ala setannya, maka, jika dikatakan bahwa kejawen adalah Mbah Marijan dan Mbah Marijan adalah kejawen, bolehlah itu kita terima. Tetapi maaf, jika dikatan Kejawen adalah Islam, atau minimalnya bagian dari Islam, meskipun peci hitam selalu melekat di atas kepala, meskipun ramah-tamah membuat hati tertambat suka, namun sungguhlah itu belum cukup untuk membuat deklarasi berikut terhenti terucap untuk menjadi penutup kesepakatan antara kita dan mereka:
Hai… Ahli Kejawen..!!
Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah...
Dan kalian bukan penyembah Robb yang aku sembah...
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah…
Dan kalian tidak pernah menjadi penyembah Robb yang aku sembah...
Untuk kalian agama kalian, dan untukkulah, agamaku
(Red-HASMI)