Jahiliyah Abad 20

Sebenarnya, ‘Amr bin Hisyam atau kita menyebutnya dengan Abu Jahal, lebih dikenal oleh orang-orang Quraisy dengan panggilan kuniyahnya, Abul Hakam. Jika dilihat dari kebiasan bangsa Arab dalam memberikan kuniyah, maka al-Hakam, kemungkinan adalah nama anak lelakinya. Tetapi itu juga menjadi isyarat betapa ia masuk dalam lingkaran utama hukumah (pemerintahan) kota Mekah. Juga bahwa dia adalah seorang yang hakim, memiliki banyak hikmah kebijakan. Dan sekaligus hakim, yang berarti memiliki kewenangan legislasi dan yudikasi karena kecerdasan dan ilmunya. Nyatanya memang, ‘Amr adalah satu di antara sedikit penduduk Mekah yang pandai baca tulis, fasih dalam sastra, banyak harta, hidup elegan, dan cerdas.

Kemudian, menggelayut sebuah pertanyaan, “Kenapa ia lebih terkenal di kalangan orang beriman sebagai Abu Jahal?” Tak mungkin dia menamai anaknya sebagai Jahl, yang artinya si bodoh. Jahl. Kata ini begitu identik dengan buta huruf, tidak kenal etika, biadab, dan terbelakang secara materi. Hal-hal yang justru sama sekali tidak ada pada diri ‘Amr bin Hisyam. Tetapi dia adalah Abu Jahl, si dedengkot kejahiliahan.

Ternyata memang, definisi jahiliyah yang menjadi sasaran dakwah para Rosul untuk diangkat dari kegelapan menuju cahaya tidak terkait langsung dengan buta huruf, tidak kenal etika –menurut definisi kita-kita yang mengaku beradab-, kemiskinan, dan keterbelakangan. Bukan itu.

Dalam sejarah perjalanan dakwah Rosul dan orang-orang yang mengikuti mereka, jahiliah telah menemukan jati dirinya sebagai penyakit yang menjangkiti keyakinan. Ia adalah rabun yang mengacaukan pandangan terhadap hakikat kehidupan, kemanusiaan dan peribadahan.

Bicara soal ekspresi jahiliah, ini bisa macam-macam. Ia bisa berbentuk kecurangan ekonomi sebagaimana terjadi pada kaum Syu’aib, penduduk Aikah. Atau mungkin penyimpangan seksual kaum Luth, penduduk Sodom. Bisa juga bermegah-megahan yang melahirkan penzholiman seperti terjadi pada kaum ‘Aad, kaum Nabi Huud. Dan mungkin berbentuk penyalahgunaan otoritas kekuasaan, Fir’aun misalnya. Atau pemerintahan, seperti Haman contohnya. Atau keulamaan seperti Bal’am bin Ba’uro. Atau keterampilan seperti Samiri pembuat patung sapi. Atau kekayaan seperti Qorun.

Jahiliyah datang dalam bentuk dan rupa yang kadang menjijikkan, di saat lain tampak wajar-wajar saja, atau malahan dalam dandanan yang mempesona. Tetapi semuanya sama: jahiliyah.

Mata rantai jahiliyah yang membentang sepanjang sejarah ini, sebenarnya hanya  dihubungkan oleh satu benang merah: Syirik. Wujudnya berupa penyekutuan atau bahkan penggantian terhadap haq Alloh  sebagai Ilah, yaitu sesembahan Yang Maha Esa. Yang ditaati dalam semua pengaturannya di tiap hirup nafas dan noktah hidup. Inilah ancaman terburuk bagi eksistensi manusia sebagai makhluk yang mendapat tugas ibadah dan tugas khilafah.

Meloncat ke zaman kita berpijak saat ini, jahiliyah ternyata telah berkecupak sedemikian dahsyatnya dalam kehidupan kita. Menjadi irama yang mengiringi setiap detak nafas kehidupan. Dari gua-gua di puncak gunung sampai ke sudut lift-lift pencakar langit, kejahiliyah senantiasa hadir untuk menggerogoti peradaban zaman anak Adam. Maka teramat wajar jika ada ulama yang menyematkan zaman kita ini dengan gelar “Jahiliyah abad 20”.

Bahkan dengan peran media yang begitu cepat pemasarannya, serta dukungan yang berbentuk kekuasaan pemerintahan, maka sudah sepatutnya istilah tersebut dipermanenkan, bukan malah diperdebatkan, agar setiap kita mengerti akan bahaya sesungguhnya yang sedang mengancam eksistensi kehidupan kita, keluarga kita, orang-orang yang kita cintai dan manusia seluruhnya di zaman kita ini.

Ya, kini kejahiliyahan bukan lagi hanya mengintai, ia bahkan telah dipasarkan oleh media, sehingga dengan bebas dan cepat menerkam mangsanya di rumah-rumah mereka sendiri. Dan tak hanya media, kejahiliyahan juga dengan gencarnya diekspor ke berbagai belahan dunia dengan komando negara-negara sekuler, komunis, ateis, serta negara-negara yang berpijak pada kesyirikan dan kekufuran lainnya. Meski negara-negara tersebut tersohor dengan teknologinya, namun bisa kita lihat, bahwa teknologi tersebut tak mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi, karena yang mereka tawarkan tak lebih hanya berupa: “Syahwat, syubhat, dan kelalaian”

Dengan segala perangkat pembantunya, tentu menjadikan kejahiliyahan ini semakin mengerikan. Ini tentunya bukanlah satu kengerian yang mampu dilawan hanya oleh dua atau tiga lembar kertas yang menghiasi media ini yang sebenarnya hanya sekedar tulisan penghantar pada 2 pilihan yang harus kita pilih sebagai langkah selanjutnya: Pertama, bergerak sebagaimana Rosululloh  dan para sahabatnya dengan sabar, ulet dan istiqomah bergerak dalam menghancurkan mata rantai kejahiliyahan sampai akhir hayatnya. Atau kedua, berdiam di depan layar kaca sambil “menikmati” suguhan jahiliyah dengan tanpa rasa takut sampai ajal menjemput dari dalam dada. Dan yaah…, “moga-moga”, kita beruntung jika tidak sampai seperti Abu Jahal yang mengaku sebagai ‘aziizul kariim, orang yang merasa perkasa lagi mulia dalam kejahiliyahannya, tetapi Alloh [swt] menyerahkan kematiannya justru pada dua bocah Anshor “ingusan” dan ‘Abdulloh ibn Mas’ud [ranhu], seorang yang dulu sering dihajarnya. Seperti juga telah Ia serahkan kebinasaan pasukan gajah Abrahah, justru pada burung-burung kecil. Lalu Alloh [swt] menjamu Abu Jahal dengan hidangan zaqqum dalam gelagak jahannam, dan memfirman ejekan padanya:

“Rasakanlah, sesungguhnya kamu ini orang yang ‘perkasa’ lagi ‘mulia’.” (QS. ad-Dukhon [44]: 49)

 (Red-HASMI)

Check Also

Ketika Galau Melanda, Kemanakah Diri Menambal Luka

Ketika Galau Melanda Kemanakah Diri Menambal Luka Tanpa perlu banyak penelitian, sungguh pasti bahwa di …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *